“Nigel adalah anak yang kuat," ujar Lumina, mencoba untuk menghibur Jadynn. "Dia akan baik-baik saja, asalkan dia tahu bahwa ada orang yang mencintainya. Aku mengerti posisimu tapi tidak bisakah kau setidaknya menganggapnya ada? Dianggap tak ada adalah hal yang paling menyakitkan. Dan Nigel akan selalu memendam trauma itu sampai dewasa.”
Jadynn menatap Lumina lagi, matanya penuh dengan pertanyaan. "Jika kau ada diposisiku, apakah kau bisa mencintainya?" tanyanya, suaranya terdengar serius.
Lumina terkejut dengan pertanyaan itu. Dia tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya.
Dia merenung, dia menyadari bahwa dia memang mencintai Nigel. Bocah itu telah menjadi bagian penting dalam hidupnya, meskipun mereka baru mengenal satu sama lain dalam waktu yang singkat.
Tapi bagaimana jika dia ada di posisi Jadynn? Apakah dia bisa mencintai anak yang bahkan bukan darah dagingnya sendiri? Terlebih itu adalah anak dari hasil perselingkuhan yang licik.
Aku tak tahu harus menjawab apa. Aku belum pernah mengalami hal seperti itu, dan tak pernah ingin mengalaminya. Tapi untuk saat ini, aku sangat menyayangi Nigel,” jawab Lumina.
Jadynn tersenyum kecil, senyum yang jarang terlihat di wajahnya. "Aku senang Nigel memiliki seseorang seperti dirimu."
Mereka kembali terdiam, tapi kali ini keheningan itu terasa lebih nyaman.
Lumina merasa bahwa ada dinding yang mulai runtuh antara dirinya dan Jadynn.
Pria itu tidak lagi terlihat begitu dingin dan jauh. Ada sisi lain dari dirinya yang mulai terlihat, sisi yang lembut namun penuh dengan kerapuhan.
"Kau tahu, Lumina," ujar Jadynn tiba-tiba, memecah keheningan. "Aku tidak pernah benar-benar memperhatikan orang-orang di sekitarku. Tapi bagiku kau ... berbeda."
Lumina merasa jantungnya berdegup kencang lagi. Dia tidak tahu bagaimana harus merespons kata-kata itu. "Aku ... tidak mengerti," ucapnya, suaranya hampir berbisik.
Jadynn menatapnya dengan intens, matanya seolah mencoba untuk menembus jiwa Lumina.
Lumina merasa dirinya terseret dalam emosi yang tidak bisa dia kendalikan. Dia tidak pernah membayangkan bahwa pria seperti Jadynn bisa merasakan sesuatu padanya.
Tapi di saat yang sama, dia tahu bahwa ini adalah situasi yang berbahaya. Jadynn adalah pria yang sudah menikah, meskipun pernikahannya tidak bahagia.
"Apa rencanamu setelah lulus kuliah?” tanya Jadynn mengalihkan pembicaraan.
“Aku … sudah direkrut oleh sebuah perusahaan.”
“Aku punya penawaran untukmu. Aku tahu nilai akademismu sangat sempurna. Bagaimana jika kau bekerja di perusahaanku? Jenjang karirmu akan bagus,” kata Jadynn dengan sikap tenangnya.
“Aku … akan memikirkannya. Ini tawaran yang sangat bagus. Terima kasih.” Lumina mengangguk sopan.
“Maaf, aku akan kembali ke kamarku,” kata Lumina.
Jadynn mengangguk. “Terima kasih sudah menemaniku mengobrol.”
Lumina tersenyum. “Aku juga suka mengobrol denganmu. Permisi.” Lalu Lumina beranjak dan pergi dari ruangan itu.
Jadynn menatapnya hingga punggungnya menghilang di balik pintu.
*
*
Lumina menutup pintu kamarnya dengan gemetar. Dadanya berdegup kencang, seolah jantungnya ingin melompat keluar.
Napasnya tersengal, dan tangannya yang dingin menekan d**a, mencoba menenangkan diri.
‘Aku melihatmu berbeda, Lumina.’
Kalimat itu terus bergema di kepalanya. Suara Jadynn yang dalam, serak, penuh dengan sesuatu yang seharusnya tidak ada.
Sesuatu yang berbahaya.
Dia meremas ujung bajunya. “Tidak. Ini salah. Jadynn sudah menikah. Dan aku tak boleh memikirkan hal gila tentangnya.”
Meskipun pernikahannya dengan Annie jauh dari bahagia, tetaplah—Jadynn bukan pria bebas.
Dan Lumina? Dia hanyalah seorang pengajar Nigel yang dipekerjakan untuk mengajari anak laki-laki Annie.
Tapi kenapa ... kenapa perasaannya tidak mau mendengarkan logika?
Lumina duduk di tepi tempat tidurnya, wajahnya tertanam di telapak tangan.
Lumina bukan orang yang bisa membenarkan perasaannya hanya karena pernikahan Jadynn dan Annie tidak bahagia.
“Aku tak boleh lagi menerima ajakannya untuk mengobrol. Ini akan semakin berbahaya. Aku harus fokus dengan pekerjaanku di sini dan juga pada kuliahku yang hampir selesai.
Tapi bisikan lain di hatinya lebih keras.
‘Apa salahnya menyukai Jadynn?’
Lumina menggelengkan kepalanya. “Aaah … ini membuatku gila. Semoga Annie segera pulang secepatnya dan aku tak akan bertemu lagi dengannya.”
*
*
Matahari pagi menyinari ruang makan megah melalui jendela-jendela tinggi yang dihiasi tirai sutra.
Meja panjang dari kayu mahoni dipenuhi hidangan sarapan mewah—croissant hangat, buah-buahan segar, telur dadar dengan truffle, dan teh Earl Grey yang baru diseduh.
Suasana yang biasanya sepi, pagi ini terasa berbeda.
Nigel dengan rambut cokelat ikal yang selalu rapi, duduk di kursinya dengan mata berbinar-binar.
Ini jarang terjadi—sang ayah, Jadynn, duduk di ujung meja, sambil menyeduh kopinya.
"Daddy akhirnya sarapan bersamaku!" seru Nigel gembira, kaki kecilnya mengayun-ayun tak sabar.
Jadynn mengangkat kepalanya, memberikan senyum kecil yang jarang ditunjukkannya. "Aku punya waktu hari ini."
Tapi mata tajamnya tidak melihat ke arah putranya.
Mata itu menatap Lumina.
Lumina duduk di sebelah bocah itu dengan postur kaku. Dia berusaha fokus pada piringnya—sepotong croissant yang nyaris tidak tersentuh—tapi dia bisa merasakan tatapan itu.
Tatapan Jadynn.
Hangat.
Intens.
Terlalu jujur.
"Miss Lumina, lihat! Daddy makan bersama kita!” Nigel tiba-tiba memegang lengannya, wajahnya berseri.
Lumina tersentak, memaksakan senyum. "I-Itu bagus, Nigel."
Dia tidak berani mengangkat kepala. Takut akan terjebak dalam pesona pria itu semakin dalam.
"Kau tidak lapar?"
Suara itu—dalam, serak, hanya ditujukan padanya—membuat Lumina nyaris menjatuhkan garpu.
Dia akhirnya mengangkat wajah.
Jadynn bersandar di kursinya, dasi longgar di lehernya, lengan terlipat yang membuat otot-ototnya terlihat di baliknya.
Matanya, matanya seperti laut sebelum badai bagi Lumina.
"Tidak, aku—"
"Miss Lumina suka pancake, Daddy!" Nigel tiba-tiba menyela, mengacungkan sendoknya. "Dia bilang kemarin!"
Jadynn mengangkat alis. "Benarkah?"
Lumina ingin tanah menelannya. "Hanya ... kadang-kadang."
Tanpa kata-kata, Jadynn mengangkat bel kecil di sampingnya. Pelayan segera muncul.
“Katakan apa yang dia suka, Nigel?” tanya Jadynn.
Nigel tersenyum lebar karena ayahnya berbicara dan bertanya padanya.
"Pancake dengan maple syrup. Dan stroberi segar," sahutnya dengan semangat.
Persis seperti yang Lumina suka.
Lumina menggigit bibir bawahnya, merasa sedikit tak nyaman. Namun, ada rasa berdesir di hatinya karena Jadynn mau berinteraksi dengan Nigel.
*
*
Sarapan berlanjut dengan Nigel yang terus bercerita tentang pelajarannya. Lumina berusaha fokus pada bocah itu—menanggapi, tersenyum, menjadi pengajar yang baik—tapi dia bisa merasakan panasnya tatapan Jadynn di setiap detik.
Sampai akhirnya—
"Daddy, hari ini ada pertemuan sekolahku!" Nigel tiba-tiba berseru.
Jadynn terdiam sejenak.
“Bisakah kau datang?” tanya Lumina.
“Maaf, tidak bisa. Aku sibuk hari ini.”
Jawaban Jadynn membuat senyum Nigel memudar. Lalu Lumina memegang tangan Nigel.
“Jangan khawatir. Kan ada Miss Lumi yang akan menemanimu, hmm?” Lumina tersenyum pada Nigel.
Nigel kembali tersenyum meskipun masih ada kekecewaan di matanya.
"Baiklah, aku juga akan hadir,” sahut Jadynn tiba-tiba.
Udara di ruangan itu seolah menghilang.
Nigel melompat kegirangan. "Benarkah, Daddy? Benarkah?"
Jadynn tidak menjawab putranya. Dia menatap Lumina.
"Tentu. Meskipun mungkin aku akan datang sedikit terlambat.”
Kalimat itu diucapkan dengan nada datar.
Tapi Lumina tahu bahwa itu ditujukan untuk Lumina, bukan Nigel.
*
*