Hari pun berlalu begitu cepat, dan kehidupan rumah tangga keduanya masih tetap seperti biasanya. Sepasang suami istri itu masih terlihat hidup di dalam dunianya masing-masing. Hanya ketika di hadapannya orang lain, membuat sepasang suami istri itu bersikap hangat layaknya pasangan yang terlihat saling mencintai. Memang apa yang dilakukan oleh mereka tak lain hanya untuk membuat para orang tua bahagia.
Terkadang perhatian kecil Andra yang tanpa lelaki itu sadari membuat hati Caca pun menghangat. Namun, dengan sekuat tenaga wanita cantik dengan segala kesempurnaannya itu menekan rasa yang terkadang hendak muncul dari dalam hatinya. Caca hanya tidak ingin terjebak di dalam pernikahan yang ia sendiri tidak tahu kapan akan berakhir. Bisa saja nanti, besok, atau lusa, semuanya akan berakhir tanpa sisa.
Wanita itu harus bisa membentengi hatinya dengan baik agar nantinya tidak sampai terluka. Oleh karena itu ia terus mengingat perjanjian yang telah mereka sepakati berdua. Hanya dengan jalan itu ia dapat mengalihkan rasa yang dengan lancangnya ingin muncul ke permukaan.
Seperti sebelum-sebelumnya, kesibukan dokter itu seperti tak mengenal waktu. Bahkan, seringkali Andra tiba di apartemen terlebih dahulu sebelum dirinya pulang. Karena itu mamanya menuduh jika dirinya lebih mementingkan pekerjaannya daripada suaminya. Padahal karena ia ingin mengalihkan pikirannya mengenai pernikahannya yang tak biasa tersebut, membuat wanita itu justru memilih untuk menyibukkan dirinya di dalam pekerjaannya.
“Kak, kamu itu udah jadi istri, jadi prioritas kamu itu suami dan keluarga, bukannya pekerjaan kamu,” ucap Hanum pada suatu hari.
Wanita paruh baya itu tanpa bertanya terlebih dulu pada putrinya, tiba-tiba saja menuduhnya seperti itu. Caca yang tidak ingin memperkeruh keadaan, lebih memilih diam tidak memberikan alasan atau penjelasan apa pun mengenai sikapnya. Biarlah ia yang disalahkan oleh mamanya, daripada mamanya tahu keadaan yang sebenarnya malah akan membuat perempuan yang telah melahirkannya itu pastinya akan syok. Caca tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada orang-orang yang dia sayangi.
Memang seperti mertua pada umumnya, di mana mereka pasti akan lebih membela menantunya daripada anaknya sendiri. Seperti yang menimpa pada dirinya, mamanya seolah-olah mengerti kehidupan rumah tangga Caca. Bahkan, wanita paruh baya itu seakan sangat tahu jika memang putrinya yang bersalah.
Hanya papanya yang selalu mengerti keadaannya. Hanya pria paruh baya itu yang selalu membelanya. Bahkan, Satria dengan bijak meminta pada istrinya jangan terlalu ikut campur di dalam kehidupan rumah tangga putrinya.
“Mama jangan terlalu menyalahkan Kakak. Tugas seorang dokter itu nggak mudah, bahkan mereka juga terikat dengan sumpah loh, Ma,” ucap Satria dengan bijak.
Namun, Hanum tidak mudah menerima perkataan suaminya. Seperti yang kita semua tahu pada pasal-pasal viral mengenai perempuan. Di mana pada intinya pasal tersebut menyebutkan jika perempuan tidak pernah salah.
“Papa jangan ngajarin anak jadi istri durhaka, ya. Ingat, Pa! Tugas utama seorang istri itu mengurus suami dan anak. Perempuan harus ingat kodratnya, loh,” ucap Hanum dengan panjang lebar.
Ketika Caca ingin menenangkan diri di rumah orang tuanya sendiri, dirinya malah mendapatkan nasehat yang menurutnya tidak pada tempatnya. Akhirnya mau tidak mau, wanita itu pun hanya sebentar saja ketika berkunjung ke kediaman Atmaja.
“Kakak yang sabar, Mama memang begitu,” ucap papanya.
“Ya, Pa …,” jawab Caca singkat.
Bahkan, ketika wanita itu berpamitan, mamanya masih saja memberikan nasehat untuk dirinya. Sebenarnya ingin dia memberitahukan yang sebenarnya agar dirinya tidak terus-terusan disalahkan oleh sang mama. Namun, Caca masih cukup waras untuk membuka mulutnya dan menceritakan semuanya.
“Kamu jangan sering-sering pulang dan membiarkan suami kamu mengurus dirinya sendiri. Kamu nggak ingin posisi mu nanti ada yang menggantikannya, kan?” tanya mamanya bernada sinis.
Hanum tanpa sadar melarang putrinya untuk pulang ke rumahnya. Entah apa yang ada dikepala perempuan paruh baya itu hingga tega berkata-kata pedas pada putri kandungnya sendiri.
Caca tampak terkejut dengan ucapan yang baru saja dilontarkan oleh mamanya. Ia tidak pernah menyangka jika dirinya seolah-olah dibuang oleh keluarganya sendiri. Entah apa yang salah dengan dirinya hingga membuat mamanya seakan begitu kesal terhadap dirinya.
“Ma … istighfar!” pinta Satria bernada tegas.
Lelaki paruh baya itu terlihat terkejut. Bahkan, ia tidak pernah menduga jika istrinya akan mengeluarkan kata-kata tabu seperti itu. Entah kenapa, ucapan Hanum yang baru saja masuk ke dalam telinganya, terdengar sangat tidak nyaman bagi dirinya.
“Ucapan itu adalah doa, Ma. Jadi berucaplah yang baik-baik aja, terlebih itu untuk anak-anak kita!” lanjut Satria menasehati.
Lelaki itu hanya menginginkan yang terbaik untuk keluarganya. Sejak dulu dirinya juga merasa heran dengan sikap istrinya yang seolah-olah sulit untuk menerima kehadiran putri sulungnya. Setiap ia menanyakan tentang sikap Hanum pada Caca, maka perempuan itu akan menjawab jika semua itu hanyalah prasangka sang suami saja.
“Memang begitu kan, Pa. Kalau Kakak nggak becus ngurus suami, nanti Andra bisa melirik perempuan lain,” ucap Hanum menjelaskan.
Mungkin maksud Hanum baik. Ia ingin membuat putrinya bisa menggenggam hati Andra. Namun, dengan penyampaian yang berbeda pasti akan membuat siapa saja dapat mengartikannya berbeda.
Caca tampak terdiam sambil menundukkan kepalanya. Dokter cantik itu tampak sedang berpikir. Ia meresapi semua yang diucapkan oleh mamanya. Menurutnya, apa yang dikatakan oleh mamanya ada benarnya.
“Mungkin Mas Andra udah menemukan wanita yang dia cintai, Ma,” ucap Caca di dalam hati.
“Makanya kamu cepetan hamil, agar suami kamu nggak lari ke perempuan lain, apalagi kamu dokter masak nggak tau caranya supaya cepat hamil,” lanjut Hanum dengan lirikan yang terlihat meremehkan.
Entah apa yang ada di dalam pemikiran perempuan paruh baya itu hingga tega menyakiti hati putrinya melalui ucapannya.
Mendengar ucapan sang mama, seketika membuat hati Caca tercubit. Secara tidak langsung, mamanya seakan meragukan kesehatan putrinya sendiri. Kali ini ucapan mamanya telah berhasil menusuk tepat di jantungnya.
“Bagaimana aku akan hamil, kalau Mas Andra aja nggak pernah menyentuhku,” ucap Caca di dalam hati.
Lagi-lagi, Caca hanya bisa menjawab ucapan mamanya di dalam hati saja. Perempuan itu tidak berani bersuara karena tidak ingin salah berbicara. Ia tidak ingin apa yang terjadi di dalam rumah tangganya akan keluar dari mulutnya sendiri.
“Ma …! Mama jangan kelewatan, ya. Soal anak, rejeki, dan maut, itu hanya Tuhan yang tau, jadi Mama jangan pernah membahas ini lagi, Papa nggak mau Caca merasa tertekan dengan ucapan Mama ini,” ucap Satria memperingatkan.
Kali ini tampak ada kilat amarah di dalam tatapan mata lelaki paruh baya itu. Kali ini istrinya benar-benar telah kelewatan. Sebagai kepala keluarga, tentu dirinya harus bisa memberikan rasa nyaman bagi keluarganya.
Perempuan pemilik surai hitam itu sejak menandatangani kesepakatan perjanjian pernikahan, ia sudah pasrah dengan nasib pernikahannya. Bahkan, di saat dirinya mencoba untuk menjadi istri yang baik, tapi Andra berkali-kali malah mendorongnya untuk menjauh.
Sejak dari dulu, mamanya memang seperti tidak pernah menyukai apa yang ia lakukan. Meskipun Caca telah berusaha membuat mamanya senang, nyatanya perempuan yang telah melahirkannya itu tidak pernah puas dengan pencapaiannya. Bahkan, Hanum terkesan pilih kasih dalam mendidik anak-anaknya.
Kini Caca sudah pasrah dengan apa yang akan menimpa hidupnya. Bagi Caca yang terpenting hanya satu yaitu membuat kedua orang tuanya bahagia, meskipun dirinya tidak pernah mendapat perlakuan baik dari mamanya sendiri.
“Kakak pulang aja dulu, ucapan Mama jangan dimasukin hati, ya!” pinta Satria dengan lembut.
Pria paruh baya itu tidak sampai hati ketika melihat wajah putrinya yang tampak memendam sebuah beban. Sebagai seorang ayah dan suami, tentu dirinya harus bisa menjadi penengah yang tidak menyinggung salah satunya.
Apalagi ketika ia melihat wajah muram putrinya setelah mendengar perkataan dari istrinya, membuat lelaki itu harus bisa menjauhkan Caca dari Hanum secepatnya. Oleh karena itu, dirinya meminta putrinya untuk pulang agar tidak mendengar ucapan yang lebih menyakitkan lagi dari wanita yang telah menjadi istrinya tersebut.
“Iya, Pa. Kalau begitu Caca pamit dulu, Pa … Ma,” pamit Caca pada akhirnya.
Tampak tatapan iba terlihat dari sorot mata pria paruh baya tersebut. Bagaimanapun, Caca adalah putrinya, tentu sudah menjadi kewajibannya membuat putrinya merasa nyaman dengan dirinya.
Caca sebenarnya hanya ingin mendapatkan dukungan dari keluarganya. Apalagi dirinya tengah memiliki beban pernikahan yang dia sendiri tidak tahu kapan beban tersebut akan terangkat. Untuk berkeluh kesah pada orang tuanya tentu tidaklah mungkin. Mana mungkin dirinya tega membuat kedua orang tuanya merasa khawatir.
Melihat dirinya tidak diterima oleh mamanya sendiri, tentu membuat perempuan itu kecewa. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-apa selain menelan kembali kekecewaannya.
Tadinya perempuan itu juga ingin makan siang yang sudah sangat terlambat di kediaman orang tuanya. Ia merindukan masakan mamanya yang telah lama tidak memanjakan lidahnya. Namun, pada kenyataannya apa yang ia rencanakan tidak berjalan sesuai dengan harapannya. Perutnya juga sudah terasa nyeri akibat telat makan. Selama dalam perjalanan, wanita itu sering meringis karena menahan rasa nyeri yang timbul tenggelam.
Ia pun bergegas melajukan mobilnya untuk menuju rumah makan langganannya. Namun, rasa nyeri di perutnya semakin terasa. Karena tidak ingin memperburuk keadaan dengan mengabaikan kesehatannya, ia pun menepikan mobilnya di sebuah apotek. Ia ingin membeli obat untuk meredakan rasa nyeri di perutnya.
Lagi-lagi, Caca makan sendirian. Kali ini ia tidak ingin merepotkan sahabatnya hanya sekedar untuk menemani dirinya makan siang yang sangat terlambat ini. Apa salahnya dengan makan sendirian? Selama ini dirinya juga sering makan sendirian.
Tanpa ia duga, matanya melihat sosok pria yang sangat dia kenal juga masuk ke dalam rumah makan yang sama dengan dirinya. Karena tak ingin menarik perhatian lelaki tersebut, ia pun lebih memilih untuk pura-pura tidak melihatnya. Bahkan, Caca tampak menggeser posisi duduknya agar wajahnya tidak sampai terlihat oleh pria itu.
Namun, sepertinya apa yang ia lakukan sia-sia. Lelaki yang baru saja memasuki rumah makan itu malah tampak menghampiri dirinya ketika matanya melihat sosok perempuan yang sangat dia kenal.
“Dokter Caca?” tanya pria tersebut dari balik punggung Caca.
Deg …!