Rumah sakit Aquarion di hari ketiga Mercy dirawat.
Rencana Mercy untuk tidak terlalu lama ada di rumah sakit secara mengejutkan berujung kegagalan. Reaksi alergi yang terjadi di tubuhnya sedikit demi sedikit memang beranjak semakin baik. Namun ia masih belum bisa meninggalkan rumah sakit karena penyakitnya yang satu lagi. Penyakit yang membuatnya harus mendekam di rumah sakit selama dua belas tahun.
Selama di rumah sakit, dokter meminta Mercy untuk istirahat total. Tak bisa melakukan kegiatan apa pun merupakan siksaan mental untuk pemuda sepertinya. Namun ia terpaksa patuh setelah sempat mendengar pikiran dokter yang merawatnya.
Ia berkata seperti ini, “Penyakit kurang darah kamu itu kondisinya sendiri lumayan bikin khawatir, ya. Kalau dibiarkan tanpa penanganan bisa bisa setiap satu minggu nanti kamu harus transfusi darah.”
Yang benar saja itu semua.
“Apa saya nggak bisa nggak seterlalu lelah itu, Dok? Apa saya harus jadi patung lilin yang nggak bisa melakukan apa pun kalau tidak mau pingsan atau tumbang?” tanya Mercy berusaha suarakan apa yang sebenarnya saat ini sedang ia pikirkan. Habis memang rasanya aneh sekali saat harus jadi orang yang tak bisa melakukan apa pun dengan normal padahal memiliki kondisi fisik tubuh luar yang sama saja dengan orang lain. Tentu cara pandang orang padanya bisa jdi tidak sama.
“Kamu sendiri yang paham seperti apa itu kebutuhan tubuh kamu. Kapan terakhir kali kamu kumat sampai seperti ini?” tanya sang dokter meminta Mercy juga turut ambil bagian dalam progres penyembuhannya sendiri.
Sambil memutar ingatan Mercy menjawab, “Sudah cukup lama. Selama bersekolah di sekolah menengah atas saya sudah berusaha untuk tidak selelah mungkin. Itu kenapa banyak orang Lalu saya berpikir, saya tidak bisa jadi seperti ini terus. Saya pun mulai memaksakan diri untuk coba masuk dalam aktifitas remaja normal seperti yang ada di sekitar saya.”
“Dan hal inilah yang terjadi,” simpul dokter singkat. “Kamu harus benar-benar memahami kondisi tubuh kamu sendiri.”
“Saya akan berusaha agar tidak terlalu lelah lagi,” ucap Mercy separuh berjanji.
“Fasilitas di rumah sakit ini tidak terlalu lengkap. Kalau kamu ke rumah sakit Aquarion yang ada di Jakarta saya yakin kamu akan mendapat pelayanan yang jauh lebih baik dan terpercaya. Bukan hanya itu, tapi akan saya buatkan juga surat rujukannya,” tawar sang dokter dengan wajah ramah itu.
“Anda tidak perlu repot-repot lakukan semua hal itu, Dokter. Dokter tau kan saya hidup hanya seorang diri. Saya nggak mau bayangin berapa uang yang harus saya keluarkan untuk itu semua,” tolak Mercy halus sambil menundukkan wajah. Ia memang tak ingin menambah buruk kondisinya dengan harus memikirkan sesuatu yang sangat sulit seperti itu.
“Tapi orang tua kamu harus tau tentang semua hal ini, Mercy. Dan lagi yang namanya kesehatan itu nomor satu yang harus paling dijaga oleh setiap manusia,” ucap sang dokter menasihati.
“Saya hanya harus cepat sembuh, ‘kan? Saya akan segera sembuh,” putus Mercy tanpa melihat dokter itu. Dokter itu pun keluar dari ruangan tempat Mercy dirawat.
Karena keputusannya sendiri, ia harus mengkondisikan tubuhnya agar tak selelah mungkin. Karena ia tak mau kembali ke RS. Aquarion Pusat. Untuknya, rumah sakit itu persis neraka.
Tiba-tiba telpon pintarnya bergetar. Mercy melihat kontak pemanggil atas nama Raison d’ Etre. Pria bartender itu memang punya perhatian yang sangat besar dan cukup mengharuskan padanya. Ia tebak sendiri setelah ini Raison d’ Etre akan mengabari ingin menjenguk dan menanyakan ingin dibawakan apa.
“Hallohha, Juvenile!” sapanya riang.
“Haloha, Raison,” balas Mercy berusaha agar terdengar lebih baik dan tidak lemas. Ia tidak mau sampai pemuda yang kadang
“Rasanya Aintzane jadi sedikit berbeda karena nggak ada kamu. Belakangan ini aku juga sering cuti, sih. By the way anyway busway, kamu sakit apaan lama banget nggak masuk?” tanya Raison d' Etre penasaran.
“Bukan sesuatu yang sangat serius. Hanya penyakit kurang darah biasa,” ia menjawab lebih lemas. Ia memang sudah tak bisa terlalu lama berpura-pura lagi. Rasanya seperti orang yang akan mati.
“Sayang banget. Aku turut berduka cita atas hal buruk yang sedang menimpa kamu saat ini.” Raison d’ Etre terdengar mengulur-ulur pembicaraan mereka.
“Sebenernya apa yang mau kamu bicarakan sama aku?” tanya mercy mulai merasa tak nyaman pada bagaimana Raison d' Etre tampak mulai kebingungan saat harus memperpanjang topik pembicaraan di antara mereka.
“Aku minta maaf karena mungkin nggak akan sempat jenguk kamu. Sebagai gantinya, akan aku kirimi doa aja ya,” ucap Raison d' Etre pada akhirnya. Mengeluarkan apa uneg-uneg yang ada dalam jiwa.
“Ooh, emangnya kenapa?” tanya Mercy ikut penasaran juga.
“Kegiatan kuliahku belakangan waktu ini sibuk banget. Sedang ada praktik juga. Aku cuma bisa kerja kalau dapat shift pagi. Pokoknyaa… sibuuk… bangeet…” jawab Raison d' Etre jujur. Dasarnya juga kan ia orang yang tidak begitu mudah ucapkan kebohongan atau mengarang bebas.
Mercy merespon, “Iya, iya. Terus Gazette gimana?” ia bertanya.
Raison d' Etre menjawab, “Karena kamu nggak masuk, yang gantiin kamu dia, dong. Dia bilang juga tugas sekolahnya menumpuk. Maafin kita ya, Juvenile. Kita janji bakal terus doain kamu biar cepet sembuh,” pohonnya.
Teman yang sangat baik.
“Aku juga nggak mau ngerepotin kalian, kok. Terima kasih atas niat baiknya.”
“Byeeeee!!!”
“Bye.”
Mercy mengakhiri telponnya dengan cowok slengekan yang selalu menata rambutnya dengan model meruncing atau terkadang dibiarkan berantakan itu.
Ł
Hari kelima Mercy dirawat.
Sudah berkali-kali Kharisma meminta izin Mercy untuk menjenguknya. Namun semua ditolak. Mercy selalu beralasan tak ingin merepotkan siapa pun. Keadaannya sudah cukup membaik dan tak ada yang perlu dikhawatirkan. Ia bahkan juga menolak kunjungan dari Bu Citra.
Kharisma dan teman-temannya sudah merasa. Ada yang Mercy sembunyikan. Katanya keadaannya sudah cukup membaik. Tapi lima hari belum boleh pulang. Apa namanya?
Itu membuat Sera mengusulkan penundaan launching klub mereka di muka umum. Sampai Mercy sembuh saja. Klub penyelesaian bukan klub penyelesaian jika anggotanya tak lengkap.
Di hari kelima ini ketiganya sepakat bertemu di ruang klub. Mereka berencana berkunjung ke rumah sakit sekalipun Mercy tak mengizinkan. Mereka khawatir Mercy hanya menyembunyikan keadaannya yang sesungguhnya.
“Kita nggak usah nemuin Mercy. Cukup nanya sama dokter atau perawatnya aja,” usul Feng mempertimbangkan alasan Mercy segitunya tak mau dijenguk.
Akhirnya mereka sepakat untuk pergi ke rumah sakit. Di sepanjang perjalanan yang menggunakan bus, Kharisma tersadar akan sesuatu.
Kharisma berkata, “Aku baru inget. Rumah Sakit Aquarion itu yang punya sama kayak yang punya sekolah kita.”
“Oh, gitu ya? Terus kenapa?” tanya Sera.
“Aku denger dari Bu Citra, kalau nunjukin Student Card Apocalypse High School, bakal dapet potongan gitu,” beritahu Kharisma.
“Wah, berarti keputusan kita nganter Mercy ke sana tepat!” lonjak Feng girang.
Sesampainya di rumah sakit, ketiganya langsung menuju meja resepsionis.
“Mbak, kami boleh tanya keadaannya pasien bernama Mercy Adiratna Martaka?” tanya Kharisma tanpa basa-basi.
Kedua petugas resepsionis itu malah saling lihat dengan wajah tak mengerti. Untung Sera segera menyadari kesalahan prosedur yang Kharisma lakukan.
“Maksud kami… eumm, gimana cara kami bisa mengetahui keadaan pasien bernama Mercy Adiratna Martaka?”
Feng hanya geleng-geleng kepala menghadapi sikap dua orang temannya. Ditanya seperti itu jelas saja mereka tidak mengerti. Maka ia memutuskan mengambil alih.
“Bisa nggak kami mengetahui keadaan Mercy Adiratna Martaka tanpa diketahui olehnya?”
Pertanyaannya malah makin ngawur. Maka kedua petugas resepsionis itu memutuskan untuk berkata, “Kalian mau jenguk dia?”
“Nah, itu lah yang kammi maksud!” kata ketiganya bersamaan.
Capek, deh.
Akhirnya, tak ada jalan lain untuk menjenguk Mercy tanpa menemui orangnya. Melesatlah mereka ke kamar bernomor 07 di ruangan Astrella.