Ł
Mercy bukanlah seorang anak yang pemalas. Tapi harus diakui juga kalau ia akan selalu berusaha untuk hidup dengan cara sepraktis mungkin. menempuh pendidikan di sekolah dengan lahan seluas Apocalypse High School tak pernah ia pikirkan, bayangkan atau inginkan kalau boleh jujur. Namun karena suatu kendala, akhirnya ia memutuskan untuk sekolah di sekolah ini saja.
Alasan Mercy sampai harus bersekolah di Apocalypse High School sendiri sama sekali tak sama dengan alasan yang Kharisma punya. Kharisma, seorang pemuda normal, memiliki alasan yang cukup normal serta masuk akal mengapa memutuskan bersekolah di Apocalypse High School. Orang tuanya mensyaratkan pendidikan yang mampu menempanya lebih mandiri setelah lulus SMP. Daripada dimasukkan ke pesantren, lebih baik Apocalypse High School. Walau untuk beberapa alasan, ada yang membuat hidup di sekolah ini jauh lebih berat dan menantang timbang di pesantren.
Mercy memutuskan bersekolah di Apocalypse High School karena ia adalah seorang pohon. Dan sekolah ini sendiri merupakan hutan belantara. Ada beberapa alasan yang membuat Apocalypse High School merupakan tempat persembunyian terbaik. Menghindari sesuatu yang sangat ia khawatir akan terjadi.
Sejak kelas satu Mercy memutuskan tak akan pernah ikuti kegiatan sekolah yang tidak wajib. Seperti bergabung dengan klub maupun menjadi anggota komite. Alasannya karena pekerjaannya sudah cukup buat lelah. Di pagi hari ia bertugas sebagai salah satu koordinator kebersihan taman kota. Di malam hari ia bekerja di kabaret. Semua ia lakukan demi memenuhi kebutuhan hidup di dunia masa ini yang mana itu cukup tinggi.
Ia memutuskan tinggal di apartemen yang biaya sewanya cukup mahal sendiri bukan sepenuhnya karena ia mampu. Tepatnya terpaksa. Apartemen itu berada di lokasi yang benar-benar sesuai dengan kebutuhannya.
Apartemen semakin dekat dengan sekolah akan semakin mahal. Apartemen Mercy letaknya cukup jauh dari sekolah. Itu lumayan berguna untuk menghemat pengeluaran walau harus memakan waktu lebih panjang untuk digunakan perjalanan.
Ia tak bisa hidup seperti Kharisma yang setiap bulan tinggal menunggu kiriman dari orang tua. Ia dan Kharisma benar-benar dua entitas yang tak sama.
*
“Aku nggak mau,” jawab Mercy tegas tanpa melihat ke wajah anak itu, Kharisma.
“Katanya kamu mau ngikutin cara apa pun yang aku pakai untuk nyembuhin penyakit asosialmu itu,” tanya Kharisma tak puas dengan respon anak remaja di depannya.
“Tapi nggak gini juga kali!” Mercy membanting peta sekolah mereka. Kharisma baru saja menunjukkan denah tempat yang akan mereka tuju sepulang dari sana.
“Emangnya kenapa?” tanya Kharisma hanya bisa menatap peta di tangannya tak mengerti. Setelah berpikir beberapa lama, akhirnya ia paham juga. “Ah, aku ngerti. Pasti karena tempatnya jauh, ya? Mau gimana lagi? Ruangan deket sini udah kepake semua.”
Mercy langsung membalas, “Aku nggak mungkin menoleransi efisiensiku sama waktu dan ruang buat hal nggak jelas. Aku mau langsung pulang dan kerja saja. Lupain aja perjanjian kita tempo hari.”
Belum sempat Mercy melangkah menjauh, Kharisma sudah menarik kerah lehernya kembali. “Kamu nggak boleh kabur,” cegah Kharisma sebelum anak pendiam asosial itu menghilang ditelan batas sudut pandang.
“Sebenernya kamu tuh mau ngapain sih?!!” Mercy merajuk melepaskan diri. Namun pegangan tangan Kharisma begitu kuat. Menahan ia di tempat.
“Udah aku bilang, ini rencana buat nyembuhin penyakit asosial kamu,” jawab Kharisma rada memaksa.
FGS. For a God sake!
Ł
“Jadi kamu berhasil ngobrol sama Mercy. Hebat kamu,” puji Sera tanpa nada memuji di sela obrolan mereka. “Rasanya seperti apa?” tanyanya penasaran.
Kharisma langsung menjawab, “Aku sendiri nggak percaya bakal ngomong kayak gini. Tapi ngobrol sama dia ternyata rasanya ya biasa saja.”
“Yosh, berarti kita sudah menemukan satu poin pertemanan. Sebenernya kalau kita mau saling memahami, semua orang tuh bakal jadi biasa,” ucap gadis itu memancarkan aua positif.
“Kamu sok ngomong gitu kayak udah pernah temenan sama dia aja,” ledek Kharisma balik.
Gadis itu membalas, “Sejauh ini mungkin memang belum sih. Tapi ada beberapa hal yang mendasari itu. Terus sekarang masalah kamu apa?” tanyanya.
“Kamu inget kan sama rencana kamu? Kamu bilang satu-satunya cara menyembuhkan Mercy dari penyakit asosialnya adalah dengan memasukkan dia ke dalam lingkup sosial. Dalam konteks ini, sebuah klub. Kamu tau mendirikan sebuah klub itu nggak gampang,” jawab Kharisma.
“Belum juga dicoba, udah bilang nggak gampang aja. Susahnya apa coba?” jawab Sera santai balik tanya.
“Kamu harus punya landas kegiatan yang jelas. Anggota lebih dari tiga orang. Fasilitas pendukung yang memadai. Dan yang paling penting, aku mau buat klub macam apa dengan anggota seperti DIA??!!” tanya Kharisma tampak frustasi.
“Kenapa nggak coba masukin dia ke klub yang udah ada aja?” tanya Sera balik.
Kharisma membalas, “Nggak bisa, nggak bisa. Dalam lingkup sosial, dia kayak bayi yang baru lahir. Aku harus selalu ada buat mantau perkembangannya. Nggak semua orang bisa nerima dia.”
“Masuk akal juga. Gimana kalau kamu suruh dia memperhatikan pola interaksi orang lain dulu?” tanya Sera.
“Kamu punya saran yang lebih useable nggak?” tanya Kharisma balik bertampang kesal.
“Kamu kan dimintai tolong sama Bu Citra. Kenapa kamu nggak coba negosiasi sama beliau? Kayaknya dia cukup mengenal Mercy. Pasti beliau punya saran yang lebih useable,” jawab gadis itu memberi saran.
Ł
“Jadi kamu punya niat mendirikan klub bersama Mercy,” simpul Bu Citra dari semua yang baru saja Kharisma ucapkan.
Klub berbeda dengan komite yang bertugas mengurusi suatu bagian maupun suatu sub-bidang. Klub berdiri di bawah kedudukan komite. Tugas klub hanya membawahi suatu bagian yang orientasi kegiatannya kecil. Seperti klub melukis dibawahi komite seni. Klub berkuda dibawahi komite olah raga. Klub memasak dan klub menjahit dibawahi komite rumah tangga. Dan yang sebagainya.
Yang jadi pikiran Kharisma kalaupun mereka harus mendirikan suatu klub, klub yang mereka dirikan akan dibawahi oleh komite apa. Komite cukup pemilih ketika menyeleksi klub baru yang akan lulus ACC.
Tanpa dibawahi suatu komite dan menyodorkan proposal meyakinkan pada pembimbing, pendirian suatu klub ialah mustahil.
Mendirikan klub di sekolah ini tak semudah di film. Karena menjadi landas kegiatan dan kemandirian siswa, orientasi suatu klub harus benar-benar bisa dipertanggung jawabkan.
“Ide kamu bagus juga. Ibu aja nggak kepikiran,” puji Bu Citra.
“Itu bukan ide saya. Itu idenya Sera,” bantah Kharisma tak tertarik dipuji karena sesuatu yang bukan benar-benar berasal dari dirinya.
Bu Citra membalas, “Jadi kamu dibantuin sama dia. Bagus deh, tugas kamu jadi semakin ringan.”
“Terus saya harus bagaimana lagi?” tanya Kharisma.
“Kamu tau yang disebut dengan komite psikologi cinta dan perasaan pelajar?” tanya Bu Citra.
“Nama yang terdengar sangat mencurigakan. Saya belum pernah tau,” jawab Kharisma jujur.
“Komite itu memang kurang populer di antara pelajar sekolah kita. Kalau ada yang mau mendirikan klub di bawah mereka, niscaya akan diterima. Kamu siapkan saja proposal pendirian klub dan serahkan sama Ben, ketua komite itu,” saran Bu Citra.
“Be, bentar Bu! Saya harus buat klub macam apa di bawah komite bernama lebay begitu?” tanya Kharisma kalut.
“Klub apa saja yang nyambung dengan nama komitenya lah, Ris,” jawab Bu Citra enteng.
“Nama komite? Itu komite apaan sih Bu Citra sebenernya?” tanya Kharisma bingung.
Wanita itu menjawab, “Kamu temui saja Ben. Dia pasti bisa beri kamu jawaban.”
“Jangan-jangan Ibu Citra sendiri nggak tau,” tuding Kharisma.
Bu Citra langsung ngeloyor meninggalkan anak remaja laki-laki itu.
Ya Tuhan, klub alay macam apa yang harus aku dirikan coba, tanya Kharisma dalam hati.