Ł
Suatu hari, suatu kebohongan dan dusta yang cukup besar terungkap mengambang ke
permukaan. Para anak yang selama ini menjalin pertemanan dengan aku entah
kenapa mulai lakukan hal yang cukup menggangguku. Oke, oke, mungkin mereka
menganggap hal itu hanya sebagai candaan yang menyenangkan karena itu lucu
untuk mreka melihat anak dengan tubuh yang kurang sempurna seperti aku. Mereka
mengaku punya alasan untuk jadikan kondisi buntung kakiku sebagai pelipur lara
untuk diriku sendiri. Mereka dengan sengaja dan seenaknya membuat berbagai
macam guyonan yang ada hubungannya dengan orang yang hanya punya kaki satu.
Tak ayal diam jadi satu-satunya cara dan solusi paling baik yang bisa aku pikirkan
untnuk menghadapi sikap menyebalkan mereka semua. Memang kalaupun aku sampai
melawan juga apa artinya? Apa yang akan aku dapat? Bisa-bisa mereka malah jadi
makin menggila dan tidak waras atau malah bersikap makin tak mausk akal.
Kejadian itu tak hanya terjadi satu kali. Namun berulang kali. Dan sekali lagi,
alasan yang mereka gunakan adalah bercanda, tidak serius, jangan kebawa
peerasaan, dan alasan penggampangan lainnya untuk semua jenis tindak perbuatan
tidak benar yang kalian lakukan pada orang lain di luar sana.
Baiklah,
aku sedikit demi sedikit mulai paham. Aku rasa mungkin lain kali aku harus
memotong telinga kalian dengan alasan bercanda atau yang semacam itu. Alasan
yang kalian pikir bisa kalian benarkan. Seperti itu, bukan?
*
Aku curahkan semua yang aku alami pada Ayah. Mengharapkan dukungan atau paling
tidak pembelaan bahwa aku tidak habis melakukan sesuatu yang salah. Awalnya ia
terdiam cukup lama usai mendengar apa yang aku katakan. Entah, aku tak tau saat
itu ia merasa simpati atau bahkan hanya mengkasihani nasib malang salah satu
keturunannya ini.
Setelah
beberapa lama aku mengatupkan bibir, ia mulai berkata, “Dokter bilang tak ada
faktor apa pun yang salah dengan diri maupun tubuhmu. Tapi kamu bilang kalau
kamu merasakan rasa sakit yang luar biasa yang sampai buat kamu lakukan hal
mengerikan itu. Apa kamu yakin bahwa kamu tidak sedang mengalami halusinasi
atau yang semacam itu?” tanyanya dengan sorotan mata datar. Seolah sebenarnya
tak tertarik dengan apa yang baru saja aku alami, tapi terpaksa bicara seperti
itu agar tetap terlihat punya tanggung jawab saja sebagai kepala keluarga. Huh,
aku tau betul apa yang kamu pikirkan, Ayah. Aku rasa sebenarnya kamu sama seja
dengan semua orang yang alik merisak aku karena kondisi yang tanpa aku inginkan
haru aku alami saat ini.
Aku
mulai merasa ayahku sama saja dengan semua anak di sekolah atau bahkan siapa
saja orang lain yang akan aku temui di dunia luar sana nanti.
“Halusinasi
macam apa yang sampai bisa buat seseorang nekat memotong kaki mereka sendiri,
Ayah?” tanyaku dengan nada suara yang sedikit menukik untuk menunjukkan
perasaan emosi. Ayah sama sekali tak membantu. Semua cerita yang aku harap bisa
dapatkan respon sesuai harapan yang ada malah kebalikannya saja. sama sekali
tidak berguna. Aku sangat benci pada situasi yang tak sengaja aku ciptakan ini.
Kalau bisa aku ingin kembali ke masa lalu dan tidak pernah berharap bahwa aku
pernah berpikir untuk menginginkan sesuatu seperti ini.
“Kamu
seorang masokis mungkin,” balas pria itu ringan bahkan tanpa melihat ke arahku
sedikit pun.
Tanpa sadar aku langsung bertanya balik, “Hah? Masokis Ayah bilang? Aku ini anak yang
sangat normal, Yah. Setidaknya sebelum aku merasakan sakit yang misterius itu.
Kenapa Ayah nggak mau dukung aku? Kenapa Ayah menyangkal aku? Kenapa Ayah sama
aja kayak mereka…”
“Saat ini Ayah itu sangat bingung, Noru! Sedang ada proyek penelitian besar di tempat
Ayah bekerja. Ayah pasti akan jadi sangat jarang pulang ke rumah. Bagaimana
kamu pikir perasaan Ayah harus meninggalkan satu-satunya anak Ayah yang
sekarang kondisi tubuhnya jadi seperti ini?!” tanya Ayah balik ikut meninggikan
oktaf suara juga.
"Mungkin aku memang membebani Ayah. Oke, akan aku akui hal itu. Aku juga telah membebani
diriku sendiri karena masalah yang aku akibatkan dengan kedua tanganku sendiri.
Tapi yang harus Ayah tau adalah aku juga tentu saja tak ingin sedikit pun jadi
seperti itu. Ketika memutuskan mengamputasi kakiku sendiri aku sudah memikirkan
semua resiko yang akan aku hadapi. Resiko rasa sakit yang akan aku rasakan
nanti. Resiko perubahan sosial yang mungkin terjadi. Serta resiko
lainnya," balasku lebih kalem tapi dengan intonasi suara dingin.
Dengan bantuan tongkat di tangan kananku, aku memutuskan kembali ke kamar. Malam itu
aku akhiri dengan niat pembuktian ego seorang remaja yang hanya memiliki satu buah
kaki.
Hahaha.
Ł
Hari ini aku ingin menyaksikan hiburan dari para anak yang pernah mempermainkan aku. Sebuah hiburan yang akan mereka
pentaskan sesuai dengan skenario Sang Kuasa yang mereka percaya.
Sekolahku memiliki lapangan sepak bola dengan ukuran yang lumayan besar. Di lapangan itu
sendiri saat ini kelasku tengah lakukan beberapa macam praktek olah raga. Para anak
laki-laki dan para anak perempuan akan diuji dalam beberapa tes. Karena aku
hanya siswa berkebutuhan khusus dengan kaki hanya satu, guru olahraga yang bertugas
beri aku izin untuk tak perlu ikut ujiannya dan menunggu saja di dalam perpustakaan.
Di tempat yang sepi inilah aku menanti pelajaran fisik tersebut usai. Menunggu jam
pelajaran selanjutnya.
Joseph, seorang anak yang memiliki perubahan sikap padaku paling drastis tiba-tiba lakukan
sikap aneh di mana ia akan hentikan bola yang tengah ia giring. Semua orang
melihat anak itu dengan tatapan tak mengerti. Seorang anak menghampiri dir
untuk menanyakan kira-kira apa yang terjadi pada keadaannya. Apakah ia
baik-baik saja? Joseph tetap diam seribu bahasa tanpa beri jawaban apa pun juga.
Sejurus kemudian ia tertawa dengan sangat kencang sampai buat telinga beberap
anak di sana kesakitan. Mereka pun menutup telinga dengan telapak tangan dan
memalingkan muka. Tanpa seorang pun duga tiba-tiba lagi ia melancarkan bogeman
ke wajah seorang anak tak berdosa yang berusaha mendekatinya karena ingin
bertanya apa yang sebenarnya sudah terjadi.
Namun, masalah tak begitu saja berhenti di sana. Para anak lain mulai mengeluarkan sikap
yang sama aneh dengan anak pertama. Selesai satu anak berbuat kekacauan tak
lama kemudian maka akan ada anak lain di antara mereka yang akan lakukan hal sama
seolah tak peduli pada apa yang akan terjadi nanti. Kata resiko seperti tak ada
dalam kamus mereka buat mereka merasa bisa bebas lakukan apa pun sesuka hati. Mereka
terus saling menyerang sampai semua anak terjatuh tak berdaya.
Mataku tak bisa berkedip menyaksikan itu semua.
Mereka selalu berkata dan bersikap bahwa menyakiti oran lain itu hal yang sangat asyik,
‘kan?
Huh.
*
Klub penyelesaian resmi dibuka!
Awalnya Mercy sempat meragukan hal ini. Harus pergi ke klub penyelesaian sepulang sekolah bisa buat ia mengorbankan
satu pekerjaan sampingan. Biasanya sepulang sekolah masih ada jeda waktu untuk pekerjaan sampingan lain. Jika memutuskan serius di klub ini, sepulang sekolah ia harus langsung ke kabaret. Benar-benar sangat merepotkan. Ini menyalahi asas efektivitas yang selama ini ia anut dan pegang teguh. Tapi kalau dipikir lagi, ini semua untuk dirinya sendiri. Untuk menyembuhkan kelainan yang sudah buat ia susah punya teman dan menjalin hubungan sosial dengan orang lain kebanyakan. Ia merasa harus lebih serius menjalani semua ini. Walau sampai sekarang ia belum mengerti, klub macam apa yang baru saja Kharisma dan Sera dirikan ini
sebenarnya?
*
Di ruang klub. Keempat anak remaja itu duduk di setiap sisi meja dengan empat sisi. Mereka masih menunggu jawaban
dari apa yang sebenarnya Sera rencanakan dengan klub penyelesaian ini.
“Oke,” buka Sera. “Apa ada masalah yang kalian pikir harus kita selesaikan?” tanyanya
dengan raut serius.
Feng segera mengangkat satu tangannya cepat. “Klub ini akan
menyelesaikan masalah apa pun, ‘kan? Ada satu hal yang dari dulu buat aku
penasaran. Ini menyangkut Mercy,” ucapnya.
Kharisma ikut berkata, “Menurutku semua hal
tentang Mercy itu bikin penasaran. Tapi terlalu banyak. Aku jadi bingung kiranya kita harus mulai
dari yang bagian mana.”
“Kalian jangan bersikap seolah aku orang mencurigakan gitu dong. Aku punya alasan untuk
setiap tindakanku,” respon Mercy tak begitu puas dengan apa yang baru saja ia
dengar.
“Kalau gitu buat yang pertama, kenapa kamu selalu pakai masker?” tanya Feng membuka bahasan.
Coba tebak, kenapa tidak ada yang pernah melihat Mercy tersenyum? Kenapa Feng hanya
mendengar suara tawa Mercy? Kenapa? Karena wajahnya tidak pernah terlihat.
Sejak kelas satu, Mercy mendaftar dan memulai kehidupan sekolahnya dengan
mengenakan masker.