Part 1

835 Words
Sekarang Kalya sudah benar-benar mandiri, bergantung pada diri sendiri, tetapi nyatanya dia malah merasa sendiri. Ini sudah keputusannya. Bukankah sejak awal ini yang ia inginkan? Agar mengurangi beban tanggungan Ibu Bintang, dan itu sudah terlaksana. Sejak keluar dari panti, Kalya bekerja di sebuah resto yang berlokasi tak jauh dari indekosnya. Gaji perbulan berusaha Kalya cukupkan dengan berhemat seperti yang biasa diajarkan saat masih di panti. Banyak pelajaran dan pengalaman yang Kalya terima selama di sana, dan itu tidak didapatkan oleh anak-anak lain seusianya. Kalya merasa beruntung. "Kal, kamu pulang naik apa?" Dea, teman kerja kerjanya di Skyra Resto. "Jalan kaki. Jarak ke kosan aku deket dari sini." Dea cemberut. "Yah ... padahal pengin aku antar." "Nggak usah. Liat deh tuh, kamu bareng Acel aja. Dia nungguin abang ojek kayaknya." Di depan motor matic-nya, Dea mencak-mencak dengan memandang horor Acel yang untungnya sedang menatap ponsel. "Nggak mau, nggak mau! Dih, masa gue boncengin si gendut, bisa kempes ban motor gue. Amit-amit!" Kalya menahan tawanya yang hampir menyembur. "Padahal kayaknya Acel suka sama kamu, lho. Aku sering liat  dia perhatiin kamu diem-diem. Senyum-senyum lagi." Dea menengadahkan tangan, bibirnya berkomat-kamit. "Mau jijik, takut dosa. Ya Allah, maafin Baim." "Apaan, sih." Kalya tergelak melihat tingkah receh Dea. "Aku duluan, yaa," pamitnya setelah menyampirkan tas  di bahu. Saat di panti, pukul 10 malam dia harus memeriksa satu per satu kamar adik-adiknya, apa ada yang belum tidur atau sudah nyenyak, itu peraturan yang diterapkan oleh Ibu Bintang. Mereka harus patuh. Jika ada yang bangun terlambat sudah tentu akan mendapat hukuman, bisa ditebak pasti terlelap lewat dari jam tidur. Hukumannya adalah membantu seluruh pekerjaan panti seharian. Terkecuali untuk yang masih balita, hukuman tidak berlaku. Sampai di depan pagar indekos, Kalya dibuat kaget akan kehadiran pria yang sedang bersandar pada sisi samping sebuah mobil. "Kamu udah pulang?" "Kakak kenapa di sini?" Kalya bertanya balik. "Nyari kamu." "Kok nyari aku? Terus Kakak tahu dari mana aku tinggal di sini?" "Dari Bu Bintang." Pria itu menghembuskan napasnya pelan. "Harusnya kamu kasih tahu aku sebelum keluar panti." Kenapa harus memberitahunya? Tentu saja Kalya enggan. "Maaf, aku nggak sempat kasih tahu. Aku juga nggak punya nomornya Kakak." "Lupain aja, yang penting aku udah tahu tempat kamu." Nevan melihat jam di pergelangan tangannya. "Jam segini masih bisa keluar nggak? Kakak mau tunjukin sesuatu." Kalya berpikir sebentar. "Kakak izin sama Mbak Indah aja dulu. Aku nggak enak pulang lewat dari jam malam." "Harus? Bentar aja. Habis itu aku antar ke sini lagi." *** "Selamat malam," sapa seorang security yang berdiri di pintu masuk. Pria berumur itu memamerkan senyum ramah. "Ya, malam." Nevan balas tersenyum. Di sampingnya, Kalya menatap kiri kanan seakan takjub. "Ini apartemen Kakak?" "Iya, ayo masuk. Jangan berdiri di luar." "Kamu tinggal di sini aja, mau?" Sontak saja Kalya langsung cengo. "Aku harus bayar berapa kalau tinggal di sini?" Lucu, Nevan kembali membatin. "Gratis. Kamu bisa pergunakan uang hasil kerja kamu untuk keperluan sehari-hari. Nggak perlu bayar kosan segala." Kalya berpikir keras. Jika tidak membayar sewaan tempat tinggal, ia bisa menabung untuk biaya kuliah. Kalya sadar, untuk kehidupan sehari-hari pun ia tanggung sendiri, lalu bagaimana jika berkuliah? Dapat uang tambahan dari mana? "Kakak serius? Aku pikir-pikir, uang untuk bayar kosan bisa aku sisihkan buat tabungan kuliah." "Jadi, kamu mau kuliah?" Ragu-ragu, Kalya mengangguk. Sisi hatinya sedikit tersentil oleh pertanyaan Nevan. "Kalau kamu benar-benar mau, Kakak bisa bantu kamu buat dapetin beasiswa. Tapi syaratnya kamu harus tinggal di sini, oke?" Dia ingin kuliah. Apa pun Kalya usahakan agar dapat melanjutkan pendidikan. Walau hanya besar di panti, dia juga punya mimpi yang besar. Kelak jika Tuhan merestuinya menjadi seorang ibu, dia ingin menjadi madrasah pertama untuk anak-anaknya. Cukup dirinya saja yang tak merasakan bagaimana kasih sayang nyata dari seorang ibu, anaknya jangan sampai bernasib sama. *** Pada akhirnya Kalya menyetujui ajakan Nevan agar tinggal di apartemen. Kalya senang, uang tabungan untuk kuliahnya sekarang bisa bertambah. Dia ingin cepat-cepat masuk dunia perkuliahan. Ya, Kalya dinyatakan lulus setelah mengikuti tes tulis beberapa bulan lalu. Kalya hanya sempat belajar betul-betul selama satu bulan, bertekad mempelajari materi sertai soal-soal tahun lalu dengan tekun. Tak jarang Nevan turut mengajarinya jika ada yang tak Kalya mengerti. Ya Tuhan, jika bisa, Kalya ingin mendapatkan pendamping masa depan seperti Nevan. Cerdas dan baik hati. Mungkin itu kriteria laki-laki impian semua kaum Hawa. "Kak Nevan kenapa baru mampir?" Kalya meletakkan secangkir teh untuk Nevan. "Buat Kakak." "Sibuk. Kuliah sama urusan kerjaan saling mepet. Jadi nggak ada waktu untuk santai-santai." Kalya ber-oh panjang, walau sebenarnya dia tidak tahu Nevan kerja apa. "Kerjaan kamu gimana? Nyaman?" tanya Nevan lagi. "Nyaman nggak nyaman, ya aku berusaha buat ngerasa nyaman. Awalnya sedikit kagok, biasanya kan kalau di panti cuma urus adik-adik sama bantu ibu, sekarang harus kerja setiap hari rasanya beda." "Itulah. Risiko setiap keputusan pasti ada, siap nggak siap kamu harus atasi. Sebisanya, Kakak akan bantu." Sebisanya saja? Bagi Kalya tempat ini sudah luar biasa. Manusia mana lagi di luaran sana yang merelakan tempat tinggalnya untuk orang lain? Oh, tentu saja ibu Bintang dan ayah Ridwan. Lalu sekarang Nevan, pria satu itu sangat baik. Sebenarnya Kalya juga penasaran, ada hubungan apa Nevan dengan Pak Surya? Tangan kanan yang dipercayai? Itu penafsirannya sendiri. Satu waktu jika Pak Surya berhalangan datang, Nevan yang datang mewakili di panti. Setahu Kalya, Nevan masih kuliah. Mungkin benar dia orang kepercayaan Pak Surya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD