Prolog

1137 Words
Kalya menatap sendu adik-adiknya, wajah riang terpampang jelas saat mereka melayani pengunjung yang hendak membeli aneka kue yang dikemas dalam bentuk box. Bazar yang diadakan oleh Panti Asuhan Gemintang sukses menarik perhatian pengunjung taman kota. Bagaimana tidak, sambil disuguhi aneka macam kue, mereka juga bisa menyaksikan penampilan anak-anak panti yang sangat berbakat. Ada yang menari, bernyanyi, memainkan alat musik, bermain lakon, ada pula yang memamerkan lukisan yang menggambarkan keseharian anak-anak selama di panti. Mereka saudara meski tak sedarah. Mereka tumbuh dari luka yang sama. Kehilangan orang tua tentu menjadi pilu ketika melihat anak-anak lain bisa bersenda gurau dengan keluarga mereka yang sesungguhnya. Berkumpul dengan orang tua, kakak, adik, nenek dan kakek. Kebanyakan di antara anak-anak itu dibuang oleh jiwa-jiwa tak punya hati. Mereka diasingkan oleh keadaan. Namun, sebuah syukur sebab Tuhan mempertemukan mereka dengan Ibu Bintang yang bersedia membesarkan anak-anak istimewa. Karena Tuhan tak memberkatinya seorang anak dari rahimnya sendiri, maka dia beserta sang suami memutuskan mendirikan Panti Asuhan Gemintang. Kalya dibesarkan oleh sepasang dermawan itu, dia berterima kasih atas keikhlasan dan kebaikan yang telah pasangan itu berikan. "Kak Kalya nggak coba kuenya? Enak lho ini." Eisha mengulurkan kue bolu. "Buat kamu aja. Kakak kenyang, kok." "Ya udah, aku habisin deh." Kalya tersenyum, mengelus rambut Eisha sebelum anak itu beranjak lari. "Kenapa nggak nyicip kuenya?" Kalya tersentak. "Kak Nevan? Mmm ... Aku lagi kenyang aja." Nevan mengangguk-angguk. "Nak Nevan." Ibu Bintang berjalan mendekat. "Ucapkan terima kasih untuk Pak Surya, ya. Ibu tahu, dana untuk bazar ini nggak sedikit, belum lagi donasi yang baru diberikan bulan kemarin. Sekali lagi terima kasih, Nak. Kami sangat bersyukur atas keikhlasan kalian." "Iya, Bu. Sama-sama. Kami lebih-lebih bersyukur lagi karena bisa membantu adik-adik yang membutuhkan. Kami harap, yang kami berikan itu bisa sedikit membantu kebutuhan anak-anak panti." "Sekali lagi terima kasih, Nak. Semoga selalu diberikan kesehatan dan dilancarkan rezekinya." "Amiin. Jika ada rezeki, kami akan terus membantu Panti Asuhan Gemintang. Kebahagiaan mereka juga ikut memberikan kesenangan untuk kami." Kalya sangat kagum dengan Surya Wirabuana. Sebagian hartanya ia relakan untuk didonasikan kepada Panti tempatnya tinggal. "Karena penjualan kuenya sudah memenuhi target, jadi sisanya untuk kalian." "Serius?!" teriak Restu gembira, bocah laki-laki berumur 10 tahun. "Iya, ayo semuanya ngumpul, jangan mencar. Setelah itu Kakak antar kalian pulang." Nevan tersenyum tulus. Anak-anak panti pun bersorak ramai. "Nak Nevan, ini hasil bazarnya." Nevan menggeleng. "Dari awal sebelum bazar ini diselenggarakan, hasil bazar ini memang kami niatkan untuk adik-adik semua. Jadi Ibu pegang aja." Mata Ibu Bintang melebar dan mulai berkaca-kaca. Balasan apalagi yang setara dengan kebaikan mereka? "Kami nggak tahu harus balas apa kebaikan kalian," tuturnya terharu. Nevan langsung memeluk bahu Ibu Bintang. Sosok tangguh inilah yang sangat ia apresiasi karena telah membesarkan banyak anak yang bukan darah dagingnya sendiri. Ah, Nevan jadi ingin memeluk mamanya di rumah. Di atas bus, Kalya duduk diam menunggu kendaraan itu bergerak. Ia menoleh saat seseorang duduk di bangku kosong sampingnya. "Kak Nevan?" Kalya bertanya hati-hati. Tadi pria itu datang menggunakan mobilnya sendiri. Sekarang kenapa pulang naik bus? "Nggak boleh ya duduk di samping kamu?" Nevan hendak beranjak, tetapi dengan sigap Kalya memegang lengannya. "Duduk aja di situ." *** "Kamu bercanda, kan?" Kalya menunduk. "Aku serius, Bu." "Tapi kenapa? Ibu masih bisa kasih kamu makan kalau itu yang kamu khawatirin." "Aku cuma mau lebih mandiri, Bu. Adik-adik aku, usia mereka makin beranjak. Dela, Ilham, Naura, Lia, Dina ... sebentar lagi masuk SD. Sita, Fadil, Nabila, Nadia, Ian ... sebentar lagi masuk SMP. Terus Nila, Reza, Farah, Aisyah ... mereka juga udah mau masuk SMA. Aku udah lulus SMA, Bu. Ijazah yang aku dapat bisa aku pergunakan untuk cari kerja. Kalau aku keluar dari panti, beban Ibu nggak akan seberat itu kalau aku masih di sini. Aku sayang adik-adikku, mereka harus dapat pendidikan yang layak." "Bukan berarti kamu harus keluar dari panti ini, kan? Kamu tetap bisa kerja dan kita tinggal sama-sama." "Maaf, Bu. Itu udah keputusan aku." Sepulang dari acara bazar, Kalya langsung menemui Ibu Bintang untuk mengutarakan keinginan yang sebulan ini sudah menghantui pikirannya. Usianya sudah 19 tahun lebih. Kalya merasa di usia seperti itu dia sudah pantas untuk mandiri. Waktu berjalan cepat, kelak kebutuhan adik-adiknya akan terus bertambah. Itu sebabnya pula dia ingin keluar dari panti lalu memulai mencari kerja. Setelah terdiam beberapa saat, Ibu Bintang menghela napas. "Ya udah, kalau itu yang kamu mau. Di mana pun Kalya tinggal, harus tetap ingat Ibu. Kamu akan tetap jadi anak Ibu." Senyum gadis itu mulai terbit. "Makasih Bu, udah mau rawat Kalya selama ini. Kalau nggak ada Ibu, mungkin Kalya udah luntang-lantung nggak jelas-nggak tahu harus ke mana, atau kemungkinan paling buruk bisa jadi jiwa raga Kalya nggak bisa bertahan sampai hari ini." Air mata tak bisa Kalya bendung, Ibu Bintang memeluknya erat. Sembilan belas tahun yang lalu, seorang wanita paruh baya datang membawa Kalya ke panti dengan memberitahukan suatu hal yang membuat batinnya perih. Seperti apa pun jalan Tuhan mempertemukan mereka, Kalya tetaplah putri tersayangnya. "Ibu sayang Kalya. Selalu ingat Ibu, ya?" Masih bersimbah air mata, Kalya mengangguk cepat. Tanpa diminta, sudah jelas akan ia lakukan. *** Kalya kaget saat menemukan Nevan masih di teras panti bermain ular tangga dengan Eisha, Dela, Restu, dan Ilham. "Kak Kalya ikutan main, yuk!" ajak Dela memperlihatkan gigi ompongnya. "Kak Kalya mah nggak ngerti main ginian." "Masa, sih?" tanya Nevan sok penasaran. Masa iya, Kalya tidak pandai memainkan permainan lazim yang cukup dengan mengocok dadu. Fadil mengangguk. "Kak Kalya kan mainnya di dapur sama Ibu." Gelak tawa mereka mengundang cairan bening di sudut mata Kalya. Apa dia siap tanpa tawa mereka? "Nangis?" tebak Nevan. "Nggak." "Mata kamu berair, agak merah tuh." Kalya buru-buru memutar tubuh, tak ingin Nevan melihat wajahnya. "Kak Nevan kok belum pergi?" "Ngusir, nih?" "Cuma nanya doang." Tanpa sadar Nevan menyentuh puncak kepala Kalya. "Aku juga mau nanya. Ayo kita ke samping." Nevan membawa Kalya ke pekarangan samping panti. "Kamu mau keluar dari panti?" Kalya terpaku. "Kak Nevan ... tahu dari mana?" "Sori, tadi nggak sengaja denger. Jadi bener?" "Iya, tapi Ibu kayak nggak rela ngasih izin." "Kakak ngerti kenapa Ibu nggak rela. Lagian, setelah keluar dari panti kamu mau tinggal di mana?" "Ngekos mungkin? Aku mau mandiri." Kalya begitu kukuh. "Yakin?" Kalya tak menjawab. "Ragu-ragu? Pikirin matang-matang sebelum melangkah. Yang bakal kamu rugikan diri kamu sendiri." "Aku udah pikirin. Cuma berat. Terbiasa sama-sama pasti agak aneh kalau mendadak sendirian." "Kalau kamu serius mau mandiri, Kakak bisa bantu kamu." Nevan berdiri dari duduknya sambil menatap ponsel yang Kalya tak tahu sedang menampikan apa. "Kakak mau ke kampus dulu." Setelah menjauh dari Kalya, sebuah panggilan muncul di ponsel Nevan, membuat senyum bahagianya terbit karena akan mendengar suara dari gadis yang dicintainya. "Halo? Iya, Sayang. Ini aku baru mau berangkat," sela Nevan, membuka pintu mobil. "Aku jemput di rumah kamu, ya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD