PROLOG

1572 Words
Aletha tak pernah melihat rumah sebesar yang ada di hadapannya sekarang. Rumah dua lantai itu menjulang tinggi di atasnya, ada beberapa lampu kristal di sekelilingnya. Di sampingnya ada taman dengan banyak bunga bermekaran dan ayunan kecil yang tampak indah, seperti rumah dalam negeri dongeng yang sering ia baca. Puluhan mobil berjejer di garasi di samping taman yang sangat besar. Sebelumnya, Aletha belum pernah melihat mobil sebanyak itu. "Kau akan tinggal di sini, Aletha. Kau harus bersikap baik sampai Ibu menjemputmu lagi," kata Elana dengan mata berkaca-kaca. Seorang pelayan wanita paruh baya berseragam putih keluar ketika melihat dua orang berdiri di depan rumah Bastiaan. "Anda mencari siapa?" tanya pelayan itu dengan hati-hati. "Apa Edward Bastiaan ada di rumah?" Pelayan itu memicingkan matanya dengan curiga, Aletha mengeratkan genggamannya pada tangan ibunya. "Siapa Anda? Apa Anda sudah membuat janji dengan Tuan Edward?" "Belum - Bilang saja Elana datang. Dia pasti akan datang menemuiku," kata Elana dengan yakin. Seorang pria berbadan besar keluar dari pintu utama rumah itu. Aletha menyembunyikan dirinya di belakang tubuh ibunya ketika melihat tatapan tajam pria paruh baya itu. Pria itu mengisyaratkan agar pelayannya pergi lalu menghampiri Elana dan menariknya menuju belakang taman. Aletha bisa tahu bahwa kehadirannya dan ibunya tidak diharapkan laki-laki itu. Aletha memang senang karena akhirnya ia bertemu dengan ayahnya, tapi melihat tatapan kejam ayahnya, Aletha tidak ingin tinggal di rumah besar itu lagi. "Apa yang kau lakukan di sini? Kau pikir bisa masuk ke rumahku dengan bebas? Jangan berani menampakkan diri di depan istriku, Elana." Elana menarik tangan Aletha keluar dari belakang tubuhnya, "Aku ingin menitipkan anak kita kepadamu. Ibuku sedang sakit di desa, aku tidak mungkin membawa Aletha menemui keluargaku. Bisakah kau menjaga Aletha untuk sementara?" Edward menatap Aletha dengan teliti. Aletha anak perempuan yang tinggi, rambutnya pendek sebahu, dia memiliki tulang wajah dan rahang yang kuat. Tatapan matanya sangat tegas dan wajahnya mirip sekali dengan Edward. Aletha yang melihat tatapan menyelidik ayahnya itu segera menyembunyikan wajahnya di pelukan ibunya. Tiba-tiba, seorang wanita bergaun merah muncul dari dalam garasi. Wanita itu memakai kacamata hitam. Rambutnya disanggul rapi, dengan anting-anting panjang yang hampir menyentuh lehernya. Wanita itu membuka kacamatanya dan dengan histeris berteriak di depan tiga orang itu. Aletha semakin tidak suka dengan orang-orang di rumah itu. Ibunya berkata akan meninggalkannya di rumah itu selama satu bulan. Ibunya berkata bahwa Aletha bisa mendapatkan apapun yang ia mau di rumah itu asalkan ia bersikap baik. Ayahnya adalah orang kaya, jadi Aletha bisa meminta apapun pada ayahnya. Tapi, saat melihat pertama kali ayahnya sepuluh menit yang lalu, Aletha tahu pria itu bukan orang baik. "Siapa anak ini? Kau mempunyai anak dari perempuan lain? Sudah kubilang kau boleh berhubungan dengan berapa pun wanita ja-lang, tapi aku tidak mau kau memiliki anak dari mereka. Sekarang, kau akan membawa anak ini tinggal bersama kita? Langkahi dulu mayatku, Edward Bastiaan," kata Maria - istri sah Edward - dengan teriakan keras hingga para pelayan diam-diam melihat mereka. Edward menatap tajam istrinya yang melihat Aletha dengan rendah. "Diamlah!" "Diam? Kau menyuruhku diam di saat seperti ini? Aku memang wanita bodoh karena tahan menikah denganmu, tapi aku masih memiliki perasaan, Edward. Usir mereka dari rumahku sekarang!" "Bisakah kau menggunakan otakmu sekali saja, Mar?" Edward menarik tangan dengan kasar. "Ikut aku sekarang!" Mereka menjauh beberapa langkah dari Aletha dan Elana. Mereka tampak membicarakan sesuatu. Seperti sedang berdebat apakah Aletha boleh tinggal di rumah itu atau tidak. Aletha tidak suka dengan rumah itu, jadi ia berdoa agar suami istri itu menolaknya. Tapi ibunya dengan senyuman tulus menenangkan Aletha bahwa ayahnya pasti menerimanya. "Ayahmu tidak mungkin sejahat itu untuk menolak darah dagingnya sendiri, Aletha." Nyatanya, Aletha meragukan penilaian ibunya itu. Apalagi ketika ayahnya itu berbalik dan melihat Aletha dengan senyum liciknya yang tampak mengerikan. Aletha memegang tangan ibunya dengan kuat, tidak ingin ibunya meninggalkannya di rumah itu sendirian. "Baiklah, aku akan menjaga Aletha untuk sementara." Edward mendekati Aletha dan menjulurkan tangannya ke arah anak perempuan itu. "Kemarilah! Mulai sekarang, panggil aku Ayah." Aletha belum sempat meraih tangan itu ketika Elana melepas tangannya dengan cepat dari tubuh Aletha. Setelah mencium wajah Aletha beberapa kali, Elana berlari keluar dari rumah itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Elana pergi dengan menahan tangis, takut jika ia tidak segera pergi, ia tidak akan sanggup meninggalkan Aletha. Keluarga Elana tidak tahu bahwa ia adalah simpanan Edward, mereka akan kecewa jika Elana membawa anak perempuan berumur 7 tahun ke rumahnya. Sebab itulah ia harus meninggalkan Aletha di rumah itu dan setelah ibunya sembuh, Elana akan mengambil kembali Aletha. "Apa yang akan kau lakukan? Lihatlah! Dia begitu kurus dan kotor. Pesta akan dimulai tiga jam lagi, kita harus menyembunyikan anak ini dari rumah," kata Maria sambil menunjuk Aletha dengan jemarinya yang tertutup sarung tangan sutra yang terlihat mahal, membuat Aletha bertanya-tanya apa yang mereka bicarakan. "Kau bodoh? Kita harus menunjukkan anak ini di pesta nanti malam. Agar berita bahwa Arie jatuh dari tangga itu bisa kita bantah. Kau tak tahu berapa wartawan yang aku undang ke pesta nanti?" Edward menarik tangan Aletha dengan kuat, lalu membawanya masuk ke rumah. Aletha terpukau dengan isi rumah itu yang sudah dipenuhi dengan berbagai makanan dan dekorasi pesta. Keluarga Bastiaan akan mengadakan pesta ulang tahun pernikahan sekaligus pembukaan cabang Bastiaan Law Firm yang ke enam. Tiga jam lagi pesta dimulai. Pelayan sudah bersiap menata seluruh ruangan, para koki sedang menyiapkan makanan di dapur, dan penata rias sedang sibuk menyiap gaun untuk Maria dan adik perempuan Edward. Edward memanggil pelayan yang tadi membuka pintu untuk Aletha dan ibunya lalu berkata, "Potong rambut anak ini, mandikan dia, dan suruh dia memakai celana dan jas milik Arie! Cepat!" Pelayan itu mengangguk lalu menarik tangan Aletha memasuki sebuah kamar. Kamar berwarna biru itu penuh dengan mainan laki-laki, mulai dari mobil mainan, robot, dan beberapa bola yang tergeletak di ujung kamar. Pelayan bernama Mona itu membawa Aletha duduk di depan kaca dan mengambil gunting yang ada di laci. Aletha hanya bisa menahan air matanya agar tidak turun. Semua orang di rumah itu tampak mencurigakan baginya. "Apa yang akan kau lakukan?" tanya Aletha hati-hati. "Tuan Edward menyuruh saya memotong rambut Anda dan itulah yang sedang saya lakukan." Aletha ingin pergi tapi Mona menahan tubuhnya dengan kuat. Pelayan itu memotong rambutnya dengan hati-hati sampai hampir botak. Rambut Aletha yang dulu sepanjang bahu kini hanya seukuran ujung kukunya. Setelah memotong rambutnya, pelayan itu membawa Aletha ke kamar mandi. Mona memanggil pelayan lain yang tampak lebih muda untuk memandikan Aletha. Pelayan muda itu menggosok tubuh kotornya dengan kasar hingga kulitnya terasa sakit. Aletha menangis kecil, tak tahu apa yang akan mereka lakukan padanya. Mona membawa sebuah celana dan jas kecil yang seukuran tubuh Aletha lalu menyuruh anak perempuan itu memakainya. Aletha menolaknya, itu adalah pakaian anak laki-laki. Aletha tidak mau memakainya. "Jangan membantah atau aku tidak akan segan untuk melukaimu, Bocah. Tuan Edward tidak menyuruhku bersikap lembut, itu artinya aku bisa melakukan apapun agar kau memakai baju ini." Dengan ketakutan, Aletha memakai pakaian yang ternyata pas dengan tubuhnya. Pelayan yang muda membawa Aletha kembali ke depan kaca, lalu menyisir rambut cepaknya dan memakaikan dasi kecil untuknya. Pintu kamar itu terbuka, dengan gerakan yang sangat cepat dua pelayan itu membungkukkan tubuhnya di hadapan Edward dan Maria. Aletha berdiri melihat ayahnya dengan menahan tangis. "Lihatlah! Dia begitu mirip dengan Arie," kata Edward kepada Maria, yang hanya dibalas anggukan singkat oleh wanita itu. Edward mendekati Aletha dan mengusap kepalanya dengan halus. "Sekarang, namamu adalah Arie. Kau adalah anak laki-laki keluarga Bastiaan." Aletha tidak mau menjadi Arie. Dia ingin pulang kembali ke rumah ibunya. Dia tidak ingin berada di rumah mengerikan itu. "Tidak mau!" ucap Aletha sambil berusaha keluar dari kamar itu. Tapi beberapa pria berseragam hitam menahan tubuh kecilnya. Edward mendekati Aletha dan menampar pipinya sampai anak perempuan itu terjatuh di lantai. "Kau tidak mau?" "Lepaskan aku! Aku ingin pulang. Aku ingin pulang..." Edward menarik tubuh Aletha untuk berdiri, "Anak laki-laki tidak boleh jatuh hanya karena sebuah tamparan. Kau adalah Arie. Putraku satu-satunya. Rumahmu ada di sini. Kau harus mengingat itu, Arie. Atau aku akan membunuh Elana, ibumu. Apa kau tidak ingin bertemu ibumu lagi?" Aletha mulai menangis dengan histeris. "Jangan menyakiti ibuku. Aku ingin pulang..." "Kalau kau tidak ingin ibumu mati, maka menurutlah dengan Ayah. Kau adalah Arie. Katakan itu dengan lancang maka Ayah akan mempertemukanmu dengan ibumu besok." Dengan ragu-ragu, karena tidak bisa menahan sakit lengannya yang ditekan Edward dengan kuat, Aletha membuka mulutnya, "A-aku... adalah A-Arie." "Bagus." Edward menarik tangan Aletha keluar dari kamar Arie. Seluruh pelayan sudah berbaris di depannya. Totalnya ada dua puluh pelayan dengan wajah tegas dan menakutkan. Aletha tak berani menatap mereka satu-persatu. "Dengar! Mulai sekarang, anak ini adalah Arie. Panggil dia Arie dan perlakukan dia seperti Arie. Jangan sampai berita tentang Arie yang koma terdengar ke telinga tamu pesta nanti malam. Atau aku akan memotong kepala kalian semua, seperti yang aku lakukan pada pelayan yang berani melaporkanku ke polisi kemarin. Kalian pasti tidak ingin berakhir seperti pelayan itu, bukan?" Semua pelayan di ruangan itu mengangguk. "Sekarang, hormatlah kepada putraku satu-satunya." Edward mendorong tubuh Aletha ke depan dan semua pelayan membungkukkan tubuhnya di hadapannya. "Selamat datang, Tuan Arie," ucap mereka serempak. Aletha tak tahu, bahwa kedatangannya di rumah itu akan menjadi bencana besar baginya. Arie, nama itu pernah menjadi milik Aletha, juga pernah menjadi milik laki-laki lain. Laki-laki bermata sedih yang nantinya akan mencintai Aletha dan melakukan apapun untuk perempuan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD