PARTE 1 - Kematian Elana

1700 Words
"Aletha, cepat kesini!" Aletha tersenyum lebar kepada teman-temannya. Dengan cemas menghubungi ibunya untuk yang sekian kalinya. Ibunya selalu mengangkat panggilannya, apalagi di saat penting seperti sekarang. Ada yang tidak beres. Sejak tadi Aletha merasa ada yang menjanggal hatinya, terutama saat Banu - asisten ibunya - juga tidak bisa dihubungi. "Sebentar," ucap Aletha kepada teman kuliahnya yang sejak tadi memanggil namanya. Aletha mendekati kerumunan yang siap berfoto itu. Hari adalah hari ulang tahunnya, sekaligus hari kelulusannya dari Fakultas Ekonomi di Yale University. Harusnya ibunya sudah datang ke tempat wisudanya satu jam yang lalu. Memberinya satu buket bunga mawar kesukaannya. Ibunya sudah berjanji akan datang, bahkan tadi pagi ibunya sudah menyiapkan pakaian yang akan ia gunakan ke wisuda Aletha. Perasaan tidak nyaman terus mengganggu pikiran Aletha. Sebelum fotografer memotret mahasiswa yang baru lulus itu, Aletha keluar dari tempat itu. Teman-temannya memanggilnya, tapi Aletha tidak menanggapinya. Aletha terus berlari, semakin ia cepat berlari, hatinya semakin tidak tenang. Dengan tangan bergetar, Aletha menghentikan taksi yang melintas di depannya. Sambil terus menghubungi dua orang yang sangat berarti dalam hidupnya. Kalau terjadi sesuatu dengan mereka, rasanya Aletha tak bisa hidup lagi. Tubuh Aletha bergetar hebat ketika menyadari gang sempit menuju rumahnya telah ramai dengan orang-orang. Ada asap mengepul dari arah rumahnya. Aletha menembus kerumunan orang-orang itu dan melihat rumahnya terbakar. Rumahnya terbakar. Aletha melihat api besar itu menghancurkan segalanya. Mengobar dengan mengerikan, membuat beberapa orang tidak berani mendekat. "Ibu!" teriak Aletha dengan suara tercekat. Aletha berlari masuk ke rumah itu, tapi petugas kebakaran melarangnya. "Lepaskan aku! Apa ibuku ada di dalam? Lepaskan aku! Aku akan menolong ibuku!" Petugas itu tidak melepaskan Aletha dan menarik Aletha menjauhi rumah itu. "Api terlalu besar, Nona. Petugas akan segera menemukan keluarga Anda." "Dimana ibuku? Tidak mungkin ibuku ada di dalam, kan? Dimana ibuku? Dimana Paman Banu? Dimana mereka? Jawab aku!" "Tenanglah, Nona. Dari kabar yang saya tahu, ada seorang wanita yang terjebak di dalam. Sepertinya itu ibu Anda. Kami tidak bisa menjamin keselamatannya, melihat api yang sangat besar ini." Aletha menangis dengan histeris, meskipun banyak petugas kebakaran yang membantu memadamkan api. Tapi api itu semakin membesar, seperti menertawai tangisan Aletha saat ini. Aletha begitu takut. Tadi pagi, ia masih melihat dan berbicara dengan ibunya. Tadi pagi ia masih memeluk ibunya dengan erat. Tidak mungkin ibunya tega meninggalkannya sendiri di dunia yang menakutkan ini. Ibunya telah berjanji akan melindungi Aletha seumur hidupnya. Petugas kebakaran itu tetap memegangi tubuh Aletha yang terus memberontak untuk masuk. Aletha jatuh ke tanah ketika melihat Banu keluar dari api dengan membawa tubuh ibunya yang sudah terbakar. Aletha menutup matanya ketika Banu membaringkan tubuh ibunya di dekat Aletha. Dadanya berdebar ketakutan, seperti ada yang memporak-porandakan tubuhnya. Aletha tidak berani membuka mata dan melihat ibunya sudah tidak bernyawa di depannya. Ketika ia mendengar suara ambulan yang pekat dan memekakkan telinganya, perempuan itu jatuh pingsan. Tepat di depan ibunya yang sudah tidak bernyawa lagi. **** Aletha terbangun dari mimpi buruk. Mimpi yang begitu nyata dimana ibunya meninggalkannya. Ibunya berjalan menjauh darinya menuju hutan yang gelap dan dingin. Sedangkan Aletha tidak bisa melangkahkan kakinya, tubuhnya membeku. Ibunya berkata bahwa Aletha harus menjadi orang yang baik dan melupakan semua masa lalunya untuk hidup bahagia. Kata-kata terakhir ibunya bahkan tidak membuat hatinya lebih baik. Aletha tidak ingin menjadi orang baik ataupun hidup bahagia, ia hanya ingin terus bersama ibunya. Aletha membuka mata dan hal pertama yang ia lihat adalah langit-langit rumah sakit dan selang infus yang ada di tangannya. Aletha membuka infus di tangannya sambil menahan sakit. Dengan lemah, perempuan itu turun dari ranjang rumah sakit. Tiba-tiba seseorang masuk ke kamarnya. "Aletha!" panggil Banu. Banu memeluk Aletha dengan sedih. Banu sudah menganggap Aletha sebagai anaknya sendiri. Banu sudah bersama mereka selama dua belas tahun. Banu tidak punya keluarga, ia hanya anak panti yang diambil keluarga Bastiaan sebagai sopir. Banu tidak pernah menikah karena hidupnya sudah ia serahkan kepada Aletha karena menolongnya dulu. Sepuluh tahun yang lalu, Banu hampir saja dibunuh oleh Edward Bastiaan karena kehilangan Aletha. Anak perempuan itu selalu berniat kabur dari rumah Bastiaan jika ada celah. Dan waktu pulang sekolah adalah celah yang bagus untuk kabur, apalagi saat Banu telat menjemputnya. "Dasar tak becus! Sudah berapa lama kau menjadi sopir di sini? Aku bilang jangan sampai Arie hilang. Aku bilang untuk menjemputnya dan mengawasinya. Lalu apa? Kau ketiduran? Kau ketiduran dan tidak menemukan Arie di sekolah?" Edward mengarahkan tongkatnya ke kepala Banu dan memukulnya beberapa kali sampai darah tercecer di lantai rumah itu. Semua pelayan dikumpulkan di ruang kerja Edward untuk melihat penganiayaan itu. Edward sengaja melakukannya agar pelayan yang lain tidak berani menentang perintahnya lagi. "M-maafkan saya, Tuan. Saya salah. Mohon ampuni saya. Jangan bunuh saya. Saya akan mencari Aletha -" Banu membungkam mulutnya, melihat Edward menajamkan tatapannya mendengar Banu memanggil nama Aletha. "Maksud saya Tuan Arie. Saya akan mencari Tuan Arie segera dan membawanya kembali ke rumah ini." "Berani-beraninya kau mengucapkan nama Aletha di rumah itu. Kau tak tahu peraturan utama di rumah ini. Peraturan utama di rumah ini adalah tak ada yang menyebut nama Aletha di hadapanku." Banu tetap memohon meskipun ia tahu Edward tidak akan mengampuninya. Edward bisa menemukan orang lain dengan mudah untuk menggantikannya. Membunuh satu pelayan rendahan bukanlah perkara sulit bagi pria itu. "Maafkan aku, Tuan Edward. Ampuni nyawa saya kali ini saja. Tolong ampuni saya..." mohon Banu. "Dasar sampah tak tahu diri. Aku sudah mengambilmu dari panti asuhan bobrok itu dan menjadikanmu sopir kepercayaanku. Kesalahan kecil seperti ini harusnya tidak kau lakukan." Edward menarik rambut wajah Banu hingga wajahnya menghadap padanya. "Apa kau sengaja membantu Arie untuk kabur?" "Tidak. Saya tidak akan berani untuk melakukannya." "Apapun itu, aku akan membunuhmu, Sialan!" Edward terus memukuli Banu dengan tongkat golfnya. Pria itu sudah terbaring tak berdaya dengan penuh darah di lantai, tapi Edward tak berhenti. Tak ada pelayan yang berani menghentikan Edward. Hingga pintu ruang kerjanya terbuka, anak kecil dengan seragam sekolah yang terengah-engah karena kehabisan napas masuk dan membuat seiri ruangan menatapnya dengan tatapan lega. "Ayah, aku kembali. Aku tidak kabur. Jangan sakiti Paman Banu." Aletha berlari mendekati Banu dan membantunya berdiri. Edward memberikan tongkat golfnya kepada pelayan yang ada di belakangnya dan menarik Aletha mendekatkan. "Darimana saja kau?" ucapnya dengan nada menakutkan. Tubuh Aletha bergetar mendengar nada menakutkan ayahnya, "A-ada ibu temanku yang menawariku untuk pulang bersama. Aku pulang dengan mereka," ucap Aletha terbata-bata. "Kau tidak mencoba kabur lagi dari rumah ini?" tanya Edward dengan menyelidik. Aletha menggelengkan kepalanya dengan susah payah karena rambutnya ditarik oleh Edward. "Tidak mungkin, Ayah. Aku tidak mungkin berani melakukannya." "Bagus." Edward melepaskan Aletha lalu menatap Banu yang masih tergeletak di lantai. "Kau tahu bukan konsekuensi jika kau mencoba kabur? Setiap kau mencoba kabur, akan ada pelayan di rumah ini yang mati. Sudah dua orang yang mati karenamu, Arie. Apa kau mau membunuh satu orang lagi, Anak Manis?" Aletha menggelengkan kepalanya dengan lemah. Air matanya mengalis dengan deras. Para pelayan iba dengan anak perempuan itu, tapi tidak ada di antara mereka yang ingin membantunya. Edward berbalik untuk melihat para pelayannya yang masih berbaris. "Sekali lagi, lihat apa yang akan aku lakukan jika kalian membuat kesalahan di rumah ini. Jangan ada yang berani merawat sopir itu. Biarkan dia berdiri sendiri atau aku akan memenggal kepala kalian." Edward meninggalkan ruangan itu dan pelayan juga mulai bubar dengan cepat. Tidak ada yang berani membantu Banu untuk mengobati luka-lukanya bahkan tidak ada yang membantunya berdiri. Aletha meletakkan tasnya di lantai dan mendekati Banu. "Anda tidak boleh menolong saya, Tuan Arie. Tuan Edward akan sangat marah jika Anda melakukannya," kata pria itu sambil berusaha berdiri tapi jatuh kembali karena luka di kakinya akibat pukulan tongkat Edward. Wajah Banu sudah penuh darah, Edward tidak main-main ketika menghukum pelayannya. Melihat keadaan Banu yang terluka parah karena dirinya membuat Aletha menangis dengan kencang. Dengan tangan kecilnya, Aletha membantu Banu kembali ke kamarnya yang berada cukup jauh dari rumah utama. Rumah para pelayan berada di belakang rumah utama yang cukup jauh. Setelah membaringkan tubuh Banu di kamarnya, Aletha berlari mengambil obat dan perban. "Tuan Arie, kenapa Anda kembali?" tanya Banu. Aletha tersenyum kecil, "Paman tidak perlu memanggilku Arie, panggil aku Aletha, Paman. Aku lebih suka dipanggil Aletha oleh paman." "Kenapa kau kembali ke rumah ini, Aletha?" tanya Banu lagi. Aletha membalut kaki Banu dengan perban, Aletha sangat baik dalam merawat luka. Ia sudah mendapat puluhan luka di rumah itu dari ayahnya, ibu tirinya, maupun bibinya. Selama ini Aletha selalu merawat lukanya sendiri karena tidak ada pelayan yang berani mendekatinya. "Aku tidak mau Paman mengorbankan nyawa untuk kebebasanku. Aku tidak ingin kehilangan siapapun lagi." "Aletha, harusnya kau tidak kembali ke rumah ini. Harusnya kau segera pergi. Semua ini murni kesalahan Paman karena telat menjemputmu dari sekolah. Kau tidak perlu bersalah, harusnya kau pergi dan menemukan ibumu. Kau akan terus menderita jika di rumah ini, Aletha." "Aku tidak mau seseorang kehilangan nyawa untukku, Paman. Aku tidak mau. Kalau Paman mau aku bebas, pergilah bersamaku. Kita bisa pergi dari rumah ini bersama." "Sekarang kau tidak bisa kabur dengan mudah lagi, Aletha. Tuan Edward akan menyewa penjaga untuk mengawasimu." Aletha menutup kotak obatnya dan meletakkannya di atas lemari. "Aku bisa bertahan beberapa hari lagi. Kita bisa membuat rencana untuk melarikan diri dari rumah ini bersama-sama." Kilasan itu tiba-tiba memenuhi ingatan Banu. Mereka telah mencoba kabur dari rumah Bastiaan berkali-kali, tapi tak pernah berhasil. Hingga saat Aletha berumur dua belas tahun, tepat dua tahun saat Edward memukuli Banu, mereka bisa kabur dari rumah mengerikan itu. Tepat saat Edward membunuh Maria - istri sahnya sendiri - di hadapan Aletha. Semua orang di rumah Bastiaan tampak kacau dan ketakutan. Para pelayan ketakutan mengetahui Edward berani membunuh istrinya sendiri, sedangkan Edward dan Alexa kebingungan bagaimana menyembunyikan pembunuhan itu. Banu menggunakan kesempatan itu untuk mengambil uang yang tersembunyi di ruang kerja Edward dan menggunakannya untuk melarikan diri dan pindah keluar negeri bersama Aletha dan ibunya. Banu - dengan bantuan temannya dari panti asuhan - berhasil memalsukan identitas mereka dan tinggal di Inggris dengan tenang. Uang dan emas yang ia ambil dari ruang kerja Edward mampu memenuhi kebutuhan mereka beberapa tahun. Sampai dua belas tahun kemudian, yaitu tepat dua hari yang lalu saat Aletha wisuda, orang suruhan Edward berhasil menemukan mereka dan membunuh Elana, ibu Aletha. Banu tidak sempat menyelamatkan Elana dan hal itu membuatnya menyesal setengah mati. Apalagi melihat Aletha menangis histeris di depannya seperti sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD