PARTE 2 - Mata Diganti Mata

1739 Words
"Semua ini pasti ulah ba-jingan itu, bukan? Katakan padaku, Paman! Siapa yang membunuh ibuku? Ibuku tidak meninggal karena luka bakar! Ada yang menusuk perutnya dengan pisau. Dokter yang mengautopsi sudah memberitahuku. Katakan padaku siapa yang melakukannya, Paman!" "Aletha, kau tidak perlu mengetahuinya. Kita hanya perlu pergi dari negara ini segera." Aletha melempar bantal rumah sakit ke arah Banu. "Kenapa? Apa ba-jingan itu mencariku? Dimana dia? Dimana orang yang membunuh ibuku? Katakan padaku, Paman!" "Aletha, ibumu telah membuat identitas baru untuk kita. Jika kita meninggalkan negara ini dan pergi ke negara lain, orang-orang itu tidak akan menemukan kita lagi. Kita bisa hidup tenang lagi. Jangan berpikir untuk menemui ayahmu, Aletha!" "Tidak mau! Aku akan membunuh b-ajingan itu dengan tanganku sendiri. Bagaimana bisa b-ajingan itu membunuh ibuku? Apa Paman tidak tahu kalau ibuku dengan bodohnya masih mencintai ba-jingan itu? Bagaimana bisa ia membunuh ibuku? Bagaimana bisa?!" Aletha berteriak dengan keras di hadapan Banu. Perempuan itu menangis sambil mencengkeram ranjangnya. Tangisnya semakin keras dan Banu tidak tahan melihat Aletha seperti itu. Banu dengan segera memeluk Aletha dan mengusap halus punggung perempuan itu. Memberi perempuan muda itu kekuatan untuk hidup lagi. Tapi tangis Aletha tak juga mereda, perempuan itu memukul da-da Banu dengan tangannya yang lemah lalu membenturkan kepalanya sendiri di dinding belakangnya. "Ini salahku! Harusnya aku tidak meninggalkan Ibu sendirian di rumah. Ini semua salahku. Ini salahku, Paman. Ba-jingan itu membunuh Ibu karena aku. Akulah yang selalu menjadi incarannya. Kenapa Ibu yang harus mati?" teriak Aletha di tengah tangisnya. Banu membaringkan Aletha di ranjangnya lagi dan mengeluarkan amplop coklat dari tasnya. Barang yang dipertahankan Elana sampai kematiaannya. Hari itu, Banu menjemput Elana untuk datang ke wisuda Aletha. Banu menemukan Elana sudah tertusuk pisau di depan rumahnya oleh dua orang asing berbadan besar. Banu menghajar mereka sampai satu orang jatuh di tanah. Sedangkan satu orang lagi mengambil bensin yang sudah ada di halaman rumah Elana dan membakar rumah itu, lalu melarikan diri. Banu berniat mengejar mereka, tapi ia berhenti ketika melihat Elana masuk ke dalam rumah yang sudah terbakar itu. Banu mengikuti Elana untuk menariknya keluar tapi wanita itu menolak. "Aku sudah merasakannya, sebentar lagi aku akan mati. Luka tusukan di perutku terlalu besar. Aku sudah kehilangan banyak darah. Aku harus mengambil sesuatu di kamarku untuk Aletha." Elana masuk ke dalam rumah yang mulai terbakar hebat, Banu mengikuti Elana masuk mengambil tas yang penuh dengan berkas-berkas. Darah dari perutnya tercecer di sepanjang perempuan itu berjalan. Banu berniat menggendong Elana untuk mengeluarkan wanita itu, tapi Elana menolak. Sedangkan api sudah semakin besar. Elana menarik tangan Banu dan menyerahkan tas itu padanya. "Terima kasih. Terima kasih sudah membantu Aletha keluar dari rumah itu. Banu, tolong berikan surat-surat ini kepada Aletha. Aku sudah membuat identitas baru untuknya. Aku juga menyimpan banyak uang di bank untuk keperluan kalian. Kau bisa menghubungi Jeremy - pengacaraku - untuk menarik semua uang itu." "Nyonya Elana, saya akan membawa Anda ke rumah sakit. Ayo keluar dari rumah ini terlebih dahulu." Elana menggelengkan kepalanya kuat, wajahnya semakin memucat. Perempuan itu memegang perutnya yang tertusuk dengan erat ."Tidak bisa. Kau harus keluar dari sini sendiri, Banu," ucapnya. "Tapi, Nyonya-" "Banu! Apa kau tak mengerti? Jika aku hidup, mereka akan terus mencariku dan Aletha. Aku berhasil membuat mereka percaya bahwa Aletha sudah mati." Elana terjatuh karena tidak kuat menyangga tubuhnya lagi. Darah mulai membanjiri rumah itu, terbakar dengan api yang sudah mengepung seisi rumah. "Pergi! Pergi jauh dari tempat ini, Banu. Jangan sampai Edward menemukan kalian lagi. Aku akan mati di sini. Aku akan mati karena kebakaran rumah. Kalau Aletha tahu ayahnya yang membunuhku, dia tidak akan tinggal diam. Dia akan menemui ayahnya dan membalas dendam untukku. Jadi, aku mohon biarkan aku mati di sini dan pergilah dengan Aletha. Aku mohon..." "Tapi Anda tidak perlu mengorban nyawa Anda seperti ini. Saya akan menyelamatkan kalian berdua - baik Anda maupun putri Anda," kata Banu. Elana menggelengkan kepalanya, "Aku sudah merasakan kematianku, Banu. Aku tidak menyesalinya jika kematianku akan membuat Aletha aman. Aku hanya sedih karena tidak bisa melihat Aletha yang terakhir kalinya," kata Elana sambil bepegangan pada dinding di sampingnya. Api semakin besar dan darah Elana sudah menggenangi lantai. Tangan Elana juga terluka karena jatuhan puing-puing yang terbakar. Perempuan itu seperti kehilangan kesadarannya dan sebelum pingsan, Banu menggendong wanita itu. "Sudah kubilang aku akan mati," ucap Elana saat Banu menggendongnya. Banu menerobos api yang ada di depannya tanpa rasa takut. Ketika mencapai pintu utama, Banu melihat sudah banyak orang berdatangan dan para pemadam kebakaran yang mencoba mematikan api yang sangat besar. Banu melihat Aletha yang ditahan seorang pemadam kebakaran karena ingin masuk. Banu menurunkan Elana dan saat itulah laki-laki itu sangat merasa bersalah karena tidak bisa menyelamatkan wanita itu. Elana sudah mati dan Aletha menangis dengan histeris di depannya. Perempuan itu akhirnya pingsan dan dibawa ke rumah sakit. "Aku akan ke Indonesia. Aku akan membunuh mereka dengan tanganku sendiri. Aku akan menghabisi keluarga Bastiaan dengan tanganku sendiri!" teriak Aletha. "Aletha! Kau harus ingat permintaan terakhir ibumu. Ibumu melarangmu kembali ke Indonesia," kata Banu mencoba bersikap tenang. Air mata Aletha jatuh, tapi wajah perempuan itu kosong. Seperti tidak ada kehidupan lagi. Bagi Aletha, ibunya adalah kehidupannya. "Aku akan pergi, bahkan jika aku harus mati, aku akan membalas perbuatan mereka," kata Aletha dengan mata kosongnya. "Aletha..." "Paman tahu bagaimana mereka memperlakukanku dulu. Paman tahu bagaimana jahatnya orang-orang itu. Dulu aku selalu diam ketika mereka menyakitiku, tapi ini kali ini aku tidak bisa diam, Paman. Mereka telah membunuh ibuku! Ibuku, Paman!" Aletha melepas infusnya dengan paksa dan turun dari ranjangnya. "Maaf, tapi aku tidak bisa memenuhi keinginan terakhir ibuku. Meskipun paman melarang, aku akan pergi. Aku akan menyelesaikan masalah ini sendiri." "Ini terlalu berbahaya, Aletha. Bagaimana jika mereka tahu kau anak Elana? Edward - pria itu akan menyakitimu atau bahkan membunuhmu meskipun kau anak kandungnya." Aletha menepis tangan Banu yang mencoba menahannya. "Aku tahu, tapi Paman tidak perlu khawatir, karena aku akan lebih dulu membunuh pria itu," kata Aletha mata kosong. Banu sedih melihat Aletha yang penuh dendam. Banu tidak ingin terjadi sesuatu pada anak itu karena Banu sudah menganggap Aletha seperti anaknya sendiri. Melihat Aletha sekarang, Banu yakin Aletha akan benar-benar mampu membunuh orang untuk balas dendamnya. Banu tidak mau Aletha melakukan itu. "Jangan menyakiti siapapun, Aletha." Banu memegang tangan Aletha, berharap perempuan manis dan baik yang selama ini ia kenal tetap ada pada dirinya. "Paman akan membantumu untuk membalas dendam pada mereka, tapi bukan dengan kekerasan. Ibumu pasti juga berpikir yang sama dengan Paman," ucap Banu. Aletha menatap Banu tajam, tatapan yang tidak pernah Banu terima dari Aletha selama ini. Aletha sudah dipenuhi kebencian dan tekadnya untuk membalas dendam sangat membara. "Paman, kau tahu hukum apa yang paling aku sukai? Hukum pembalasan, Paman. Mata diganti mata, gigi diganti gigi, - dan nyawa diganti nyawa. Edward sudah mengambil nyawa orang yang paling penting bagiku dan aku akan melakukan hal yang sama. Aku akan mengambil nyawa orang paling penting baginya, itu akan menjadi pembalasanku yang sempurna," ucap Aletha dengan mata menyala penuh kebencian. "Aletha, apapun yang kau pikirkan, kau hanya akan menyakiti dirimu sendiri dengan kembali ke keluarga itu!" ucap Banu dengan nada tinggi. "Melihat mereka baik-baik saja, hidup dengan semua kemewahan seperti tidak ada yang terjadi apa-apa - makan dengan enak, tidur dengan nyenyak, dan menghirup udara dengan bebas - sedangkan ibuku meninggal dengan sangat menyakitkan seperti itu -" Air mata Aletha jatuh dan perempuan itu bersandar pada bahu Banu. "Itu lebih menyakitiku. Jika tidak ada hukum tidak bisa membalas mereka, maka aku akan melakukannya sendiri. Paman tidak perlu membantuku jika paman takut kembali ke negara itu," ucap Anna. "Bagaimana bisa Paman membiarkanmu sendiri membalas i-blis itu, Aletha?" **** Aletha hanya menatap kosong tanah di bawahnya sampai ibunya terkubur dua hari yang lalu. Air mata Aletha sudah tidak mengalir - sudah terlalu banyak yang ia keluarkan sejak kemarin. Aletha bahkan tidak merasakan kesedihan lagi. Kepalanya sudah penuh dengan keinginannya untuk membalas dendam - pada pria yang adalah ayah kandungnya. Dengan cara yang sangat menyakitkan hingga pria itu memilih untuk mati. Mata diganti mata. Nyawa diganti nyawa. Bukankah hukum itu yang membuat dunia kembali adil? Aletha akan membawa keadilan pada pria itu. Keadilan yang selama ini tak pernah berani menyentuhnya karena kekuasaan dan harta yang dimilikinya. Aletha akan memberikan pada pria itu penderitaan yang sangat hebat. Penderitan yang sepadan dengan yang pernah ia torehkan pada orang-orangnya. "Paman akan menyusulmu beberapa minggu lagi. Paman harus mengurus beberapa properti dan uang yang ditinggalkan ibumu. Paman juga harus mengurus surat kelulusanmu." Banu menunduk dan menyebarkan kelopak bunga di atas makam Elana. Sesekali memandang Aletha yang berdiri kaku di sampinya. "Sesampai di sana, kau tidak boleh melakukan apapun sampai paman datang," kata pria paruh baya itu. Aletha mengangguk, tak tahu pasti apakah ia bisa melakukannya, sedangkan kepalanya sudah penuh dengan rencana balas dendam untuk Edward. Aletha tidak ingin menunggu lebih lama. "Aku akan membalas mereka, Bu. Aku akan membalas dengan sakit yang sama persis dengan yang kita rasakan," kata Aletha. Perempuan itu duduk di samping makam ibunya dan meletakkan bunga Lili putih kesukaan ibunya. "Sampai hari itu tiba, aku tidak akan datang menemui Ibu di sini lagi," lirih Aletha. Aletha menyiramkan air ke tanah yang sudah mengering itu. Aletha mengeluarkan sebuah potongan kertas yang berisi gambar seorang laki-laki - foto yang Aletha dapat dari majalah bisnis di rumah sakit kemarin. Arie Ademia Bastiaan - CEO Bastiaan Group - laki-laki yang akan membayar semua yang dilakukan ayahnya. Semua kejadian ini - semua kesakitan, trauma, dan kehilangan yang Aletha rasakan ini - berawal dari laki-laki itu. Aletha hanya akan membunuhnya agar semua kesakitannya berakhir. "Aku tidak akan memberikan kematian yang mudah pada Edward, Ibu. Aku akan membuatnya sakit perlahan-lahan karena kehilangan anak tercintanya. Persis seperti yang aku rasakan sekarang." Aletha menyobek kertas itu menjadi potongan kecil dan menaburkannya di atas makam ibunya. "Aku akan membunuh Arie Bastiaan - karena dari awal laki-laki itu haruslah mati," lirih Aletha pelan. Perempuan itu berdiri dan berjalan melewati pamannya yang berdiri cukup jauh dari makam ibunya. Banu tampak khawatir dengannya. Aletha tahu Banu akan melarangnya pergi ke Indonesia jika tahu rencana Aletha untuk membunuh Arie. Tapi keputusan Aletha sudah bulat. Aletha akan membunuh laki-laki itu sebelum Banu datang ke Indonesia. Membunuhnya dengan cepat dan Aletha akan membawa mayat laki-laki itu kehadapan ayahnya - melihat sendiri bagaimana ekspresi Edward Bastiaan ketika anak laki-lakinya mati. Arie Bastiaan - sudah lama Aletha tidak mendengar nama itu. Hatinya berdetak lebih kencang dan tubuhnya menegang. Seluruh ingatan masa lalu Aletha kembali terngiang, terutama nama laki-laki itu - Arie - yang pernah menjadi namanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD