BERTEMU DAVID

1215 Words
Bukan suatu rahasia lagi, salah satu cara mengembalikan mood buruk bagi para wanita adalah dengan berbelanja. Sudah hal lazim, bagi setiap wanita belanja tanpa limit bisa memperbaiki suasana hati, dan itu juga berlaku pada Rachel. Emosi dan rasa kesal di dalam hati, kini dia lampiaskan dengan keluar masuk toko, membeli barang branded yang dulu dia tahan, hanya demi menjadi wanita idaman keluarga yang mengerti keadaan suami. Menjadi istri santun, apa adanya, tidak glamor agar tidak menyusahkan suami. Tapi kini, setelah perkara dan huru-hara di pengadilan tadi, Rachel memuaskan diri, membeli apapun yang dia suka. "Lelah juga," cicitnya mencari tempat duduk di depan toko sepatu yang baru saja diobok-obok olehnya. Hasilnya, Rachel mendapat lima pasang sepatu keluaran terbaru. Dengan lembut, gadis itu memijit tumit kakinya yang terasa sakit. Satu jam berburu barang-barang branded, wajar jika kakinya pegal dan terasa sakit pada bagian atas tumit. Belum kelar soal pegal di kaki, perutnya juga sudah berbunyi. "Lapar," gumamnya mengelus perut. Matanya memindai sekitar, restoran yang kira-kira menyuguhkan hidangan menggugah seleranya. Matanya tertuju pada restoran Jepang. Membayangkan beragam sushi masuk ke dalam mulutnya, membuat Rachel menelan salivanya. Penuh semangat seorang kelaparan, dia bergerak, mengabaikan rasa nyeri pada bagian kakinya. "Irasshaimase ..., " ucap salah satu penerima tamu yang disambut oleh beberapa pegawai lain yang mengatakan hal yang sama. "Silakan, Mbak. Berapa orang?" "Satu aja," jawab Rachel singkat, sembari melepas senyum. "Masih penuh. Mau menunggu, Mbak?" "Aduh, saya udah lapar banget." "Kalau Mbak mau, bisa berbagi meja. Gimana?" "Boleh, deh, Mbak." Rachel mengikuti langkah pelayan restoran masuk ke dalam tanpa melihat orang yang ada di depannya ternyata adalah David, teman sekaligus mitra kerja Ryan. "Silakan dilihat menunya, Mbak. kalau sudah mau pesan, boleh dengan saya." Pelayan restoran itu meninggalkan Rachel bersama David yang tengah duduk melihat ke arahnya dengan satu alis naik ke atas. "Kamu bukannya sekretaris Ryan, sekaligus istri dari karyawan saya, Septian?" Rachel yang sedikit sungkan hanya mengangguk saja. Dia gugup, jadi menyesal kenapa harus menerima saran pelayan restoran untuk sharing meja. Tapi tunggu dulu, kenapa tatapan David sangat tidak bersahabat? Seolah memandangnya dengan hina? "Kok ngeliatin saya kayak gitu, Pak?" Tanya Rachel berani. Dia tidak nyaman ditatap sinis oleh David. "Nggak nyangka aja, kalau kamu itu ternyata wanita yang sangat egois!" "Hah? Apa kata dia? Aku egois? Atas ukuran apa dia bisa menyimpulkan begitu? Ngomong aja gak pernah, kenal juga karena perusahaan kerjasama, terus dia bisa cap aku egois?" batin Rachel kesal. Wanita itu memasang wajah masam. "Seenaknya aja Bapak menilai saya begitu! Alasan Bapak menghakimi saya seperti itu apa?" "Ya, tindakan kamu! Wanita yang lebih memilih menjadi wanita karir dari pada mengurus suami, dan bahkan memilih bercerai karena tidak mendapatkan izin suami bekerja, kalau bukan egois, lantas apa namanya?" "Hah? Enak aja fitnah saya. Siapa yang minta cerai karena nggak diizinkan bekerja? Bapak jangan ngadi-ngadi, ya." Suara Rachel reflek meninggi, memancing pelanggan sekitar menoleh ke arah mereka. "Bisa nggak, ngomongnya pelan sedikit? Dasar tidak tahu malu!" hardik David, semakin kesal pada Rachel. "Makanya, jangan fitnah, dong." "Siapa yang fitnah? Septian yang cerita sendiri pada saya!" Rachel baru akan menjawab, tetapi, seorang pelayan yang datang mendorong rak pengantar pesanan muncul di dekat mereka. Pelayan cantik berseragam hitam putih itu menyajikan makanan pesanan David. Pria itu memesan beberapa jenis Sushi dan ada juga ramen yang terlihat begitu nikmat. Gerakan mata Rachel mengikuti bowl yang diletakkan pelayan itu ke depan David. Air liur Rachel hampir menetes hanya dengan melihat kepulan asap di atas semangko ramen itu. "Pesanannya sudah semua, ya, Mas. Masih ada pesanan lainnya?" "Nanti saja, Mbak, terima kasih," ucapnya. David sudah mengambil sumpit yang baru, merendam dalam air hangat agar steril. Baru akan memulai makan, dia melihat wajah Rachel yang terus memandangi sushi pesanannya sambil berulang kali menelan salivanya. Tanpa mengatakan apapun, David mendorong piring berisi sushi ke hadapan Rachel yang membuat kesadaran wanita itu kembali. "Hah? Eh, nggak usah." Rachel mendongak, pipinya tersipu kepergok menginginkan pesanan orang lain. David tidak mengatakan apapun, meneruskan makannya. Rachel menoleh ke sekeliling, semua pelanggan sedang sibuk menikmati makanan mereka masing-masing. Perutnya kembali berbunyi. Rasa laparnya kian menjadi-jadi. Dia menoleh ke arah dapur, tempat asal para pelayan membawa makanan, tidak ada yang keluar, artinya punyanya belum siap dan masih lama. "Mmmm ... ini beneran boleh saya makan? Nanti kalau punya saya datang, saya gantiin punya Bapak," kata Rachel membuang rasa malunya. Ketika seseorang sudah kelaparan, rasa malu, dan harga diri pasti akan terlupakan. David tidak menjawab, terus menikmati ramennya. "Bodo amatlah! Tadi udah dikasih. Nggak kumakan, perutku kelaparan," batinnya mengambil sumpit dengan malu-malu. Rachel mulai meracik bumbu, dan perlahan dia mengambil satu buah. Senyumnya merekah dengan mata tertutup merasakan betapa nikmatnya sushi itu terlebih dicocol dengan shoyu dan sedikit wasabi. Sushi memang makanan favoritnya. Bisa satu piring habis untuknya seorang. David melirik wanita itu yang begitu menikmati makanannya. Raut wajah gadis itu seperti anak kecil yang begitu senang mendapatkan makanan. Deg! "Aneh! Kenapa aku tertarik melihat wajahnya yang terlihat polos?" batin David segera buang muka. Jangan sampai dia ketahuan mencuri pandang. Rachel lupa akan sekitarnya, terus melahap makanannya hingga satu piring ludes berpindah ke perutnya. "Badan sekurus itu bisa menampung sushi yang begitu banyak? Pantes saja, Septian sering kasbon di kantor, makan istrinya ternyata nggak tanggung-tanggung," ledek David. Tentu saja itu hanya gurauan. Septian memang sering kasbon, tetapi bukan untuk keperluan makan istrinya. Biasanya pria itu selalu meminjam uang perusahaan dengan alasan untuk biaya berobat ibunya. Kalau sudah berhubungan dengan ibu, David pasti tidak akan tega menolak. Dia paham, membawa ibunya ke Singapura, pasti butuh dana yang besar. "Ih! Bapak bisa nggak, jangan sentimen sama saya? Salah saya apa sih? 'Kan udah saya bilang, saya minta cerai itu bukan karena tidak diizinkan bekerja. Memangnya ada wanita sebodoh itu, membuang rumah tangganya hanya demi karir? Bagi saya keutuhan rumah tangga itu nomor satu." "Terus, kenapa dong mau cerai?" "Septian selingkuh! Karyawan Bapak itu pria b******k yang sudah berselingkuh dengan karyawan di toko mertua saya!" Rachel jadi kesal, meletakkan sumpitnya dengan kasar di sisi piring, padahal masih ada dua sushi lagi yang minta masuk ke perutnya. Dia menatap nanar ke arah dua sushi itu. "Tidak mungkin. Septian itu jujur dan pasti setia, kamu jangan cari alasan. Zaman sekarang ini banyak wanita yang ingin bebas. Alasan bekerja dijadikan tameng, padahal ingin menikmati hidup tanpa aturan." "Dih! Bapak kok nyolot ya, kayak Mama Reni, nyebelin!" "Mama Reni? Siapa itu?" David menarik tubuhnya ke belakang kursi, melihat Rachel dengan mata menyipit. "Mertua saya. Kalau Bapak nggak percaya, tanya saja sama Ryan, kenapa saya memilih untuk berpisah!" "Nggak sopan kamu, ya, menyebut atasan dengan nama saja, tanpa ada embel-embel 'Pak'." "Habis, Bapak buat saya jadi emosi. Asal Bapak tahu–" Kalimat Rachel menggantung lagi di udara, pelayan datang mengantar pesanannya. "Nanti aja debatnya. Saya mau makan dulu, Pak." Rachel tampak berseri-seri menyambut mangkok ramennya. Pelayan menghidangkan semua menu pesanan Rachel lalu izin mengambil piring dan bowl yang sudah kosong. "Tunggu, Mbak, masih ada dua lagi, sayang kalau dibuang." Rachel segera memasukkan dua sushi itu ke dalam mulutnya hingga penuh. "Ini punya Bapak, ganti yang tadi." Rachel mendorong sushi ke depan David, setelah semua isi mulutnya diturunkan dalam perut. Karena tergesa-gesa, Rachel tersedak. Dengan cepat, David menyodorkan gelasnya karena minuman Rachel belum diantar. Tanpa pikir panjang, Rachel minum dari gelas bekas David, dan setelah semua berlalu, dia baru sadar. "Ini 'kan gelas Bapak? Satu mulut, dong kita?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD