JANJI ZAVIAN

1233 Words
Maurel tak sudi menatap Zavian, rasa benci yang sangat dalam terdengar jelas dari nada suaranya yang marah. Setelah apa yang sudah dia lakukan, dia justru bertanya pada Maurel tanpa rasa bersalah? Sungguh sangat keterlaluan. “Kamu yang siapa? Kenapa kamu ada di apartemenku?” sungut Maurel dengan isak kepiluan. Mendengar hal itu, Zavian kebingungan, karena dia pikir dia sudah berada di dalam kamar apartemennya. Dia pun menyapu pandangan ke sekeliling dan betapa terkejut dia kalau tempat itu memang bukan kamar apartemennya. Dia pun dibuat semakin terkejut saat menatap ke arah lemari berkaca. Tak ada sehelai benang pun di tubuhnya. “Astaga. Kenapa aku nggak pakai apa-apa?” pekik Zavian kaget dan berlari mencari pakaiannya. Dia pun segera mengambil pakaian yang berserakan di lantai dan memakainya. Dengan apa yang terjadi di hadapannya, dia tahu persis apa yang sudah terjadi di antara mereka berdua. Dia sangat menyesal dan dia pun mencoba mengingat apa yang sudah terjadi sebenarnya. “Aku minta maaf. Aku benar-bener nggak sadar udah lakuin itu ke kamu,” sesal Zavian setelah dia memakai baju dan mengingat semuanya. Butuh keberanian besar untuknya mengatakan semua itu pada Maurel. Jantungnya berdetak hebat dan hatinya terasa nyeri membayangkan apa yang sedang dirasakan oleh Maurel sekarang. Dia tak tahu harus bicara apa lagi, karena dia tahu pasti ini adalah hal yang sangat berat untuk Maurel. Terlebih dia melihat noda merah pada seprei. Dipastikan ini adalah pertama kali dia melakukan hal itu dan pasti rasanya sangat menyakitkan. “Aku minta maaf. Aku akan bertanggungjawab kalau terjadi sesuatu sama kamu. Aku janji,” ucap Zavian dengan sungguh-sungguh. Maurel tersenyum miring. Ucapan umum yang biasa dikatakan oleh seseorang yang sudah berbuat kesalahan, tapi kenyataannya belum tentu dilakukan. Semua itu dilakukan hanya untuk meloloskan diri. Sama seperti tunangannya. Dia berjanji akan selalu bersama Maurel, tapi kenyataannya dia pun pergi dan menyisakan luka yang begitu perih. “Tanggungjawab? Tanggungjawab macam apa yang kamu maksud?” ejek Maurel. Dia menganggap semua laki-laki itu sama. Tidak ada yang bisa menepati janji dan hanya bisa membuat hatinya nyeri. “Aku akan menikahi kamu kalau kamu hamil. Aku janji. Ini kartu namaku, kalau ada apa-apa kamu bisa hubungi aku,” sambung Zavian lagi. Kali ini dia mendekat sambil memberikan selembar kartu nama. Zavian tercengang dengan kata-kata yang keluar dari bibirnya. Dia pun tidak tahu kenapa dia bisa mengatakan hal itu pada Maurel. ‘Menikah? Aduh, aku ngomong apa, sih? Kenapa aku ngomong kayakgitu ke dia? Aku kan minggu depan mau nikah, masa iya aku harus punya dua istri? Nggak-nggak-nggak. Nggak mungkin ini terjadi.’ Zavian menyesal dalam hati. Zavian pun menghela napas. ‘Tenang. Aku kan cuma ngelakuin satu kali sama dia, nggak mungkin dia bisa hamil kan? Ia, pasti dia nggak akan hamil. Jadi aku nggak perlu nikah sama dia,’ gumam Zavian dalam hati. Dia menyesal sudah menjanjikan hal itu pada Maurel. Namun, dia pun meyakinkan dirinya kalau semuanya akan baik-baik saja. Maurel tidak mungkin hamil karena mereka hanya melakukannya sekali saja. Mendengar hal itu, Maurel merasa ada harapan baru yang muncul. Dia pun berhenti menangis dan menoleh lemah pada Zavian. “Apa kamu serius?” tanya Maurel lirih. “Iya, aku serius. Aku akan menikahi kamu kalau kamu hamil dan aku akan tetap bertanggungjawab atas apa yang udah aku lakuin ke kamu,” ulang Zavian lagi. Dia punya banyak uang. Siapa yang bisa menolak uang. Dengan uang, semua masalah akan beres. Iya kan? Maurel berhenti menangis dan tatapan kemarahan pun mulai surut. Setidaknya dia punya niat baik untuk bertanggungjawab. Melihat Maurel sudah tak lagi marah, Zavian memberanikan diri untuk duduk di samping Maurel. “Namaku Zavian. Zavian Satya,” ucap Zavian sambil mengulurkan tangannya. Maurel melihat tangan Zavian. Dia ragu untuk menjabat tangan Zavian. Ada rasatakut dan trauma begitu dalam atas apa yang sudah dilakukan oleh Zavian padanya tadi. Maurel pun memilih diam dan tidak melakukan apapun. Zavian mengerti dan tidak mau memaksa. “Aku minta maaf. Aku yang salah. Harusnya aku nggak minum terlalu banyak, jadi nggak mabuk dan salah masuk kamar. Aku tinggal di kamar 307 dan aku pikir ini adalah apartemenku,” cerita Zavian penuh penyesalan. Dia sangat menyesal dengan apa yang sudah dia lakukan pada Maurel. Dia tahu ini hal besar bagi Maurel. Dia pun merasa sangat bersalah karena telah menghancurkan masa depan gadis itu. “Ini kamar 305, bukan 307,” balas Maurel dengan parau. “Iya, aku minta maaf. Aku sedang mabuk, jadi salah masuk kamar. Andai aja aku nggak mabuk, pasti semua ini nggak akan terjadi. Aku benar-benar minta maaf,” tuturnya lemas. Zavian pun merasa bersalah dan ikut tersakiti dengan apa yang sudah dia lakukan pada Maurel. Hatinya berdenyut melihat Maurel yang begitu terguncang dengan apa yang sudah terjadi. Maurel kembali terisak. Namun, dia sadar. Tidak ada gunanya terus menangis. Kehormatannya tidak akan kembali dan dia pun tidak akan sama seperti dulu lagi. “Aku Maurel. Maurel Anastasya.” Maurel mengenalkan dirinya. Maurel mengambil napas panjang lalu menghembuskannya agar dia merasa tenang. Dengan berat hati, dia berusaha menerima kenyataan yang pahit ini. Mencoba berdamai dengan kenyataan yang sangat menyakitkan. “Aku minta maaf. Kamu bisa pegang kata-kataku. Aku akan bertanggungjawab atas apa yang udah aku lakuin ke kamu,” desis Zavian lagi. Maurel mengangguk. Entah kenapa kata-kata Zavian terasa sangat lembut dan dia pun mulai percaya pada lelaki yang baru dia kenal itu. Suasana hening, tidak ada yang berbicara. Zavian pun berusaha mencairkan suasana. Dia merogoh saku dan mengambil sesuatu. “Ini. Makanlah,” tawar Zavian pada Maurel. “Apa itu?” Maurel tidak tahu. “Ini permen coklat, bisa bikin kita bahagia. Walaupun nggak bisa hilangin semua luka kamu, seenggaknya bisa membuat kamu senang. Aku biasa makan itu kalau lagi banyak masalah dan aku merasa jauh lebih baik setelah memakannya,” seloroh Zavian sudah mulai nyaman dengan Maurel. Zavian membukakan bungkus permen itu lalu menyuapi Maurel. Maurel masih trauma pada Zavian hingga dia pun menghindar, tidak mau disuapi. Dia memilih mengambil permen itu dari tangan Zavian dan memegangnya dengan ragu. Maurel merasa heran dengan sikap Zavian. Dia baru saja dikasari oleh Zavian, tapi Zavian sekarang sangat lembut padanya. Maurel pun merasa curiga. Jangan-jangan permen itu ada apa-apanya. Menyadari Maurel curiga padanya, Zavian mengambil beberapa permen dari dalam kantong celana dan menunjukkan pada Maurel. “Aku masih punya banyak. Ini biasa aku makan kalau aku lagi stress.” Zavian lalu membuka permen dan memakannya di depan Maurel. “Hmmm, enak. Coba, deh. Ini enak dan nggak beracun. Kalau ini beracun, aku pasti mati lebih dulu.” Zavian menunjukkan pada Maurel kalau dia sangat menikmati permen itu dan sama sekali tidak berbahaya. Melihat Zavian yang begitu menikmati, Maurel penasaran dan dia pun ikut memakannya. Ternyata memang sangat enak. Dengan rasa manis yang pas dan perpaduan dingin dari dalam permen, membuat hatinya sejuk dan tenang. Zavian tersenyum melihat Maurel menyukai permen yang dia tawarkan. “Sebagai permintaan maaf, kamu boleh minta apapun ke aku,” ujar Zavian lagi. Dia yang mempunyai hotel Satya Graha—salah satu hotel terbesar di kota itu—tidak ada masalah dengan uang. Apalagi yang diminta oleh seseorang kalau bukan uang. “Aku nggak butuh uang. Aku hanya butuh seseorang untuk mendengarkanku,” balas Maurel, membuat Zavian tercengang. Ingatannya pun kembali pada beberapa saat yang lalu, di mana dia melihat Maurel berusaha bunuh diri. “Kalau kamu mau cerita, cerita aja ke aku. Aku siap mendengarkan ceritamu.” Entah kenapa Maurel pun menceritakan semua yang dia alami. Respon dari Zavian pun membuat Maurel kaget.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD