Tidak Diajak

1275 Words
Keesokan harinya, Maulia masuk kerja seperti biasanya walau ia merasa tubuhnya tidak sehat. Jika biasanya ia selalu datang ke apartemen Julian saat pagi hari untuk menyiapkan sarapan, melakukan sarapan bersama, dan menyiapkan pakaian kerja Julian, tetapi pagi ini ia diminta untuk tak datang karena alasan Julian sedang tidak ada di apartemen. Entah benar atau tidak, tetapi yang Maulia ketahui bosnya masih marah karena kejadian kemarin. Saat Maulia masih berada di lobi dan hendak menuju lift, seseorang datang menghampiri, dan coba mensejajarkan langkahnya dengan Maulia. Wanita itu pun menoleh, ternyata itu adalah Gio Abraham yang kemarin makan bersama Maulia di foodcourt dan hal itu yang menjadi penyebab kemarahan Julian. "Hai, Maulia. Selamat pagi. Apa kabar pagi ini?" Gio menyapa lebih dulu dan lalu tersenyum. "Pagi, Pak Gio. Hmm, sebenarnya saya lagi kurang sehat, Pak." "Tapi kok masih masuk kerja? Kenapa kamu nggak izin dulu biar bisa istirahat di rumah?" "Nggak apa-apa, Pak, saya masih kuat masuk kerja kok, kebetulan ada tugas yang deadline hari ini." "Memangnya nggak bisa dikerjain dari rumah? Masa bos kamu tega sih biarin sekretarisnya kerja dalam keadaan sakit. Nggak punya perasaan banget, nggak bisa ngertiin apa?" Gio melontarkan protesnya dan hal itu membuat Maulia tersenyum kikuk. "Saya yang nggak mau izin dan bilang sama Pak Julian, Pak. Soalnya saya nggak bisa tenang istirahatnya kalau masih ada kerjaan yang belum selesai di kantor." "Ya ampun Maulia kamu tuh kalau kerja jangan gitu-gitu banget dong. Kamu harus kasihan sama diri sendiri dan sayang, kalau sakit itu artinya kamu butuh istirahat total tanpa harus mikirin kerjaan yang nggak ada habisnya tau! Apa aku perlu ngomong langsung ke Pak Julian biar dia izinin kamu buat nggak masuk kerja dulu?" Maulia tersenyum sembari menggeleng mendengar ucapan Gio yang seolah telah lama mengenalnya, padahal mereka belum lama ini berkenalan, dan sepertinya Gio tipikal orang yang humble, friendly, juga menghibur. "Ya ampun, Pak, nggak perlu. Terima kasih sudah mencemaskan saya, tapi saya baik-baik aja kok, Pak, kalau saya nggak baik saya nggak akan bisa jalan kayak sekarang." "Tapi kok malah aku yang mencemaskan kamu ya, Uul? Padahal kamu sendiri nggak cemas sama sekali." Gio memanggil Maulia dengan sebutan "Uul" seperti beberapa teman dekatnya di kantor yang memanggilnya seperti itu. Maulia tertawa kecil menanggapi kekhawatiran Gio yang terlalu berlebihan hingga akhirnya langkah mereka berdua tiba di area lift. Hendak memasuki salah satu lift yang pintunya hampir tertutup, langkah Maulia segera urung karena di dalamnya terdapat Julian dan Kevin. Entah mengapa perasaannya canggung sejak kejadian kemarin, ingin rasanya Maulia menghindari pertemuan dengan Julian, tetapi itu mustahil karena ia adalah sekretaris dari pria itu. "Ayo masuk, Ul!" Gio menekan tombol untuk menahan pintu agar tidak tertutup, mengajak Maulia untuk bergabung di lift bersama Julian. Maulia yang tadinya tidak mau satu lift dengan bosnya, dengan sangat terpaksa akhirnya masuk juga karena mau menolak pun bingung harus memakai alasan apa. Kini hanya ada mereka berempat yang berada di lift yang akan mengantarkan ke lantai 12. Tidak ada pembicaraan di sana, suasana tercipta canggung. Namun, jika melihat sorot mata Julian saat menyaksikan kedekatan Maulia dan Gio yang seolah biasa saja, itu membuktikan jika ia sudah membebaskan Maulia dekat dengan siapapun sesukanya. Hingga akhirnya pintu lift berbunyi, menandakan mereka sudah tiba di lantai yang dituju. Sebelum keluar dari lift, Gio menyempatkan untuk mengatakan sesuatu pada Maulia. "Uul, jam istirahat aku jemput kamu ya. Kita makan siang di luar!" Ajakan yang terlontar itu seperti sebuah perintah yang tidak mengenankan Maulia untuk menolak. "Eh, iya Pak." Maulia yang kikuk karena Gio mengatakannya di dekat Julian, memaksa kepalanya untuk mengangguk mengiyakan. Tidak ada ekspresi yang ditampilkan oleh Julian, ia melangkah keluar dari lift tanpa menoleh ke belakang sama sekali. Saat itu juga Gio dan Maulia melangkah ke arah yang berbeda. Gio ke arah kanan karena kantor jajaran direktur berada di sayap kanan perusahaan, sementara kantor Julian berada di sayap sebelah kiri. Julian langsung masuk ke ruangannya diikuti oleh Kevin, sementara Maulia melakukan perhentian di meja kerjanya. "Dia nggak ngomong apa-apa ke aku, pasti dia masih marah soal kejadian kemarin! Apa aku terlalu berlebihan ya waktu protes ke dia dan itu bikin harga dirinya terluka, sampai akhirnya dia mendiamkan aku begini?" Bibir Maulia mengerucut sedih mengingat hal itu. Rasanya ia tidak memiliki semangat kerja hari ini, ditambah tubuhnya sedang tidak fit. Namun, mau bagaimanapun Maulia tidak memiliki hak untuk meminta Julian agar tidak mendiamkannya. Menurutnya, yang bisa ia lakukan saat ini adalah bersikap menurut, dan tidak membantah apa pun yang dikatakan Julian agar itu bisa memperbaiki hubungan mereka yang mulai terasa dingin. "Maulia, kamu diminta ke ruangan Pak Julian sekarang!" ucap Kevin yang entah sejak kapan keluar dari ruangan Julian, Maulia tidak menyadarinya karena tenggelam dalam lamunan. "Baik, Pak." Maulia bangkit dari kursi dan segera meraih tablet untuk dibawa ke ruang Julian. Kini wanita itu membuka pintu dengan perlahan. Lalu melangkah masuk seraya berjalan tegak seperti biasanya. Langkah Maulia mendekat ke arah meja kerja Julian, tempat pria itu tengah menatap serius layar komputer. "Selamat pagi, Pak Julian. Saya ingin menyampaikan jadwal Bapak hari ini, ada pertemuan penting dengan perwakilan dari HW Corporate di The Westin Hotel, Suite Grand jam 11 nanti dan Bapak diundang untuk makan siang bersama klien di sana. Kemudian jam 3 Bapak ada pertemuan dengan perwakilan dari Mango Group di lapangan pembangunan proyek. Dan, jam 7 malam Bapak diundang makan malam di Pavilion Restaurant oleh Nona Astrid untuk membahas proyek di Kalimantan. Setelah selesai makan malam, jam 9 Bapak harus bersiap pergi ke bandara untuk penerbangan ke Jakarta karena besok pagi ada pertemuan besar dengan klien di sana." Maulia menjelaskan dengan lugas. Tentu saja isi dalam kepalanya riuh tak terkendali karena Julian sama sekali tak menoleh ke arahnya selama ia membacakan jadwal pria itu. "Suruh sekretaris Natika untuk bersiap-siap menemaniku ke pertemuan di The Westin Hotel!" ucap Julian dengan suara yang entah mengapa terdengar dingin di telinga Maulia. "Sekretaris Natika juga ikut, Pak?" Maulia coba bertanya dengan hati-hati. "Sekretaris Natika buat gantiin kamu di pertemuan sama perwakilan HW Corporate!" "Jadi saya nggak diajak, Pak?" Tatapan Maulia melongo, ini adalah kali pertama Julian tidak mengajaknya untuk turut serta di pertemuan penting dengan klien. Jika ada sekretaris lain ikut, biasanya Maulia pun selalu jadi yang utama sebagai sekretaris pribadi Julian. "Kamu nggak perlu ikut, lagian kamu ada kencan kan sama Gio? Biar tugasmu digantiin aja sama sekretaris Natika. Aman kok!" Julian menjawab ketus tanpa menatap Maulia hingga saat ini. "Tapi, Pak ... saya bisa kok bilang sama Pak Gio kalau nggak bisa makan siang bareng dia karena harus temani Bapak meeting. Klien siang nanti kan klien penting, Pak, jadi saya harus dampingi Bapak sebagai sekretaris pribadi. Kalau diganti Natika, takutnya malah miscommunication, mending Natika ikut untuk bantu-bantu yang lain aja." "Nggak! Aku nggak mau kamu ikut! Kamu masih punya waktu buat melimpahkan informasi penting tentang proyek kerja sama dengan HW Corporate ke sekretaris Natika yang nanti harus dibawa saat pertemuan! Datang ke ruangan sekretaris dan jelaskan langsung di sana, biar bisa sekalian dekat-dekat sama sekretaris Fauzan karena kamu harus menjalin hubungan baik sama semua laki-laki di perusahaan ini!" Julian mengakhiri kalimatnya dengan memperjelas alasan mengapa ia tidak ingin Maulia ikut meeting bersamanya. Maulia hanya mampu menghela napas mendengar perintah sang bos. Ia pun segera mengangguk ketika akhirnya sorot mata Julian menatap dirinya. "Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu. Saya akan menemui sekretaris Natika." Maulia membungkukkan setengah badan untuk pamit undur diri. Ia tidak ingin mencari masalah, jadi lebih aman memilih pergi. Sementara sorot mata Julian tidak berhenti menatap Maulia yang melangkah pergi meninggalkan ruangannya, hingga akhirnya tubuh sang sekretaris menghilang dari balik pintu. "Kamu mau kebebasan kan, Lia? Aku akan kasih kamu kehidupan yang bebas dan berhenti mengekangmu!" gumam Julian sebelum menyadarkan kepalanya yang berat di sandaran kursi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD