Pukul 23.30 jet pribadi yang membawa Julian dan rombongan dari Surabaya mendarat sempurna di Bandara Soekarno Hatta–Jakarta. Julian yang didampingi Kevin sebagai asisten pribadi melangkah di depan, sementara di belakangnya terdapat jajaran sekretaris yang tampak hadir, dan juga tim marketing. Mereka melangkah kompak menuju pelataran lobi bandara dan di sana beberapa mobil jemputan telah menunggu.
"Maulia, kamu kenapa?" Natika yang melangkah tepat di sebelah Maulia bertanya karena sejak turun dari pesawat langkah wanita itu gontai dan sempat beberapa kali sempoyongan.
"Ah, aku nggak apa-apa kok, Tik." Maulia mengusap tengkuknya yang terasa panas.
"Tapi muka kamu pucat banget loh, Ul."
"Ini karena aku kurang tidur."
"Ah, kayaknya bukan karena kurang tidur deh." Natika pun langsung menjulurkan tangan untuk menyentuh pipi Maulia yang merah. Sontak matanya melotot setelah merasakan suhu tubuh rekan sekretarisnya.
"Ya ampun, Ul, badan kamu panas banget. Kamu sakit ya? Kenapa nggak bilang sih?" Natika yang syok pun tanpa sadar bicara dengan suara lantang dan itu sontak membuat yang lain menoleh ke arah mereka.
"Uul kenapa?" Fauzan langsung mendekat dengan raut wajah khawatir. Ia pun cepat-cepat meraba dahi Maulia dan merasakan suhu tubuh yang panas.
"Aku nggak apa-apa kok." Maulia bersikap seolah baik-baik saja agar tidak mengacaukan perjalanan bisnis mereka.
"Nggak apa-apa gimana sih? Orang kamu demam kok ini. Kita ke IGD ya, aku antar kamu, aku izin dulu ke Pak Julian."
Maulia langsung menahan pergelangan tangan Fauzan, hingga langkah jajaran sekretaris yang merasa khawatir padanya tertinggal jauh di belakang.
"Nggak usah bilang apa-apa sama Pak Julian. Dia nggak perlu tau aku demam karena ini bukan urusan dia."
"Bukan urusan dia gimana? Pak Julian perlu tau biar kamu dikasih izin ke rumah sakit buat berobat."
"Nggak usah berlebihan deh, Zan, masa demam gini doang harus ke rumah sakit sampai masuk IGD segala. Aman kok ini, nanti juga demamnya turun kalau aku tidur bentar."
"Ul, kalau nggak minum obat demamnya nggak akan turun. Nanti kita mampir deh ke apotek yang 24 jam beli obat buat kamu kalau memang nggak mau ke rumah sakit karena takut sama Pak Julian." Salah satu sekretaris bernama Fitria pun coba memberi masukan.
"Makasih banyak ya, Mbak. Kalau aku nggak ngerepotin aku titip beli obat aja ya." Maulia pun akhirnya meminta untuk berhenti membicarakan perkara demamnya agar mereka kembali fokus dengan perjalanan sampai ke hotel tempat mereka menginap karena kini mereka sudah tiba di depan lobi.
"Maulia, kamu naik mobil ini saja!" ucap Kevin yang meminta Maulia masuk ke mobil jemputan Julian karena ia sempat mendengar pembicaraan jika wanita itu sakit dan Kevin dengan cepat melaporkan hal itu pada sang bos.
"Baik, Pak." Maulia pun berpamitan pada yang lain untuk memisahkan diri.
Beberapa detik kemudian Maulia sudah duduk di sebelah Julian yang tampak duduk nyaman di kursinya. Pintu mobil pun ditutup oleh sopir, tak lama kemudian mobil melaju membelah jalanan malam ibu kota.
Tanpa mengatakan apa pun, Julian langsung menyentuh dahi Maulia dengan punggung tangannya. Tentu saja wanita itu terlonjak kaget karena Julian sama sekali tidak izin terlebih dahulu.
"Kenapa kamu nggak bilang kalau demam?"
"Saya nggak kenapa-kenapa kok, Pak."
"Kamu demam itu tandanya sakit, kenapa harus ngelak segala? Kenapa nggak langsung ngaku aja?"
"Maaf, Pak, tapi saya baik-baik aja kok."
"Kamu sakit, titik! Malam ini kamu tidur di kamarku, aku udah minta Kevin untuk telepon dokter biar datang ke kamarku buat periksa dan kasih kamu obat."
"Jangan, Pak. Saya tidur sama teman-teman yang lain aja sesuai kamar yang sudah ditentukan di pesawat tadi. Kebetulan nanti Mbak Fitria mau mampir ke apotek dan beliin obat buat saya. Setelah minum obat pasti saya langsung sembuh, Pak."
"Mending kamu diam ya, Lia, jangan jawab terus kata-kataku! Udah nurut aja sama aku, nggak usah keras kepala kalau lagi sakit!" titah Julian yang langsung membuat Maulia mengunci mulut.
"Kirim pesan ke Fitria, Vin, bilang nggak usah mampir ke apotek langsung aja ke hotel dan masuk ke kamar masing-masing!" Kali ini Julian menggelontorkan perintah pada sang asisten yang langsung dilaksanakan.
***
Pukul 1 dini hari dokter sudah selesai memberikan infusan yang berisi vitamin dan memberikan obat penurun demam untuk diminum Maulia. Setelah menyelesaikan tugasnya, dokter pun pamit undur diri. Begitupun dengan Kevin yang pamit ke kamarnya karena malam sudah semakin larut.
"Tidurlah, kenapa kamu masih melek?" titah Julian yang masih duduk di kursi samping ranjang, sementara Maulia tidur nyaman di atas ranjang king size.
"Terus Bapak sendiri kenapa nggak ada niat buat tidur?" Maulia balik bertanya seraya menatap Julian.
"Aku nggak biasa tidur di sofa apalagi di kursi." Julian mengubah posisi duduknya, menunjukkan bahwa ia tidak nyaman saat ini.
"Ya udah, Bapak tidur di kasur aja."
"Kita tidur bareng?" Seketika wajah Julian berubah menjadi cerah dari sebelumnya.
"Nggak dong, Bapak tidur di kasur, saya tidur di sofa."
"Nggak, kamu nggak boleh tidur di sofa, nanti badan kamu sakit-sakit."
"Nggak apa-apa kok, Pak. Dulu waktu kita awal-awal nikah dan tinggal beberapa Minggu di rumah kakek kan kita tidurnya pakai formasi kayak begitu, saya tidur di sofa dan Bapak tidur di kasur."
"Kamu masih ingat aja!"
"Ingat dong, Pak. Saya nggak pernah bisa lupain satu hal pun yang pernah terjadi di pernikahan kita selama satu tahun."
"Se-berhaga itu pernikahan kita dulu buat kamu?" Julian coba bertanya langsung, ia sangat ingin mendengar jawaban sang mantan istri mengenai hal tersebut.
Mendapat pertanyaan seperti itu membuat Maulia kembali teringat saat-saat dirinya masih menjadi istri Julian. Walau pernikahan mereka bersifat rahasia karena tidak ada satupun orang yang mengetahui tentang pernikahan keduanya selain keluarga besar Julian, tetapi bagi Maulia pernikahannya dengan Julian akan menjadi pernikahan pertama dan terakhir dalam hidupnya.
Itulah alasan mengapa hingga saat ini orang-orang di sekitar mereka di perusahaan tidak ada yang mengetahui status presdir dan sekretarisnya di masa lalu. Semua orang tidak ada yang bisa mengira bahwa Julian adalah seorang duda.
"Kenapa diam? Kamu nggak mau jujur sama aku?" Julian kembali bertanya karena Maulia malah terdiam.
"Ya, pernikahan kita di masa lalu sangat berharga buat saya, Pak."
"Apa yang buat kamu menghargai pernikahan kita, padahal aku nggak pernah bisa menerima kamu di hidupku? Bahkan aku nggak pernah anggap kamu sebagai istriku, aku selalu berpikiran jelek tentang kamu, nggak pernah memperlakukan kamu dengan baik, dan yang paling parah aku merenggut kesucianmu dua hari sebelum kita bercerai. Kenapa kamu nggak benci aku, Lia?"
"Jawabannya sederhana, Pak, karena saya mencintai laki-laki yang jadi suami saya. Bahkan saya jatuh cinta sebelum laki-laki itu menikahi saya." Tanpa sadar Maulia mengungkap alasan paling tulus yang tersimpan di dalam hati.
Namun, Maulia segera sadar akan perkataannya yang berhasil membuat raut wajah Julian berubah.
"Tapi itu dulu, Pak."
"Dulu? Berarti perasaan kamu sekarang ke aku udah nggak kayak dulu lagi?"
Maulia mengangguk sambil melipat bibir.
"Iya, Pak, karena setelah kita berpisah ada laki-laki baru yang hadir di hidup saya."
"Ternyata mau se-berhaga apapun pernikahan kita dulu buat kamu, tapi semudah itu juga kamu mengganti posisi aku di hati kamu sama laki-laki lain."
"Sama kayak Bapak, kan? Setelah saya pergi dari hidup Bapak ada banyak perempuan yang singgah di hidup Bapak dan mungkin Bapak nggak pernah punya waktu sedikit aja untuk merenung setelah kepergian saya."
"Kamu bisa ngomong kayak gitu karena kamu nggak ta—"
"Tapi nggak apa-apa, Pak, itu adalah masa lalu kita yang seharusnya nggak perlu dibahas lagi karena sekarang kita punya masa depan masing-masing yang berbeda." Maulia memotong perkataan Julian yang belum usai demi tidak melanjutkan pembahasan mereka soal masa lalu.
"Aku belum selesai ngomong, Lia. Kenapa kamu nggak kasih aku kesempatan buat selesaikan perkataanku?"
"Kayaknya obrolan kita soal masa lalu cukup sampai di sini aja ya, Pak, jangan dilanjutkan lagi. Mending sekarang Bapak tidur karena nanti pagi bakal sibuk banget." Maulia coba bangkit dengan perlahan, ia hendak pindah tempat agar sang bos bisa memulai istirahatnya malam ini.
"Eh, kamu mau ke mana?" Julian pun bergerak lebih cepat untuk menghalangi Maulia.
"Saya mau tidur di sofa, biar Bapak tidur di sini."
"Kamu nggak boleh tidur di sofa, Lia!" Kedua tangan Julian menghadang tubuh sang sekretaris agar tidak bangun dari tempat peristirahatannya.
"Nggak apa-apa, Pak. Daripada Bapak nggak tidur malam ini gara-gara saya!" Saat Maulia sudah dalam posisi duduk dan hanya tinggal menurunkan kaki dari ranjang, tiba-tiba tubuhnya terdorong ke permukaan ranjang karena Julian yang hendak menghalangi niatnya, hilang keseimbangan dan malah menindih tubuhnya.
Seketika jantung Maulia berdegup kencang saat posisi tubuhnya begitu rapat dengan Julian. Tidak jauh berbeda dengan Julian yang reaksi tubuhnya menegang saat berada tepat di atas tubuh sang sekretaris.
Beberapa saat pandangan keduanya diam terpaku, mengunci satu sama lain, dan hampir lupa untuk bernapas.
"Pak ...." Maulia yang hendak mengusir Julian dari atas tubuhnya seketika menghentikan perkataannya saat tubuh Julian tiba-tiba melemah seakan kehilangan tenaga untuk menopang tubuh diri sendiri hingga bibir keduanya saling bersentuhan.
Napas Julian kian berderu tak beraturan. Ia mulai tak mampu menguasai diri dan gejolak di dalam hati. Perlahan-lahan bibirnya bergerak dan mulai melumat bibir Maulia yang membuat wanita itu seketika menegang hingga hilang kendali.