"Fauzan? Dari kapan kamu di sini?" Maulia bertanya seraya mengusap wajahnya untuk memastikan tidak ada air mata yang tersisa di sana setelah mengenyahkan sepasang tangan Fauzan yang sempat menangkupnya.
"Itu nggak penting, Ul, yang penting sekarang kamu jujur sama aku, sejak kapan kamu menjalin hubungan sama Pak Julian?" Kali ini Fauzan berusaha menggenggam sebelah pergelangan tangan Maulia agar wanita itu tidak menghindar darinya.
"Maksud kamu apa sih, Zan? Kenapa datang-datang malah nanya kayak begini?"
"Jawab aja, Ul. Pastinya bukan tanpa alasan aku nanya hal ini ke kamu."
"Aku nggak ada hubungan apa-apa sama Pak Julian. Dia itu atasan aku! Dia presdir dan aku sekretarisnya."
"Jangan bohong, Uul! Dia kan yang ngelakuin itu?" Sorot mata Fauzan langsung menoleh pada leher Maulia.
"Bukan! Merah di leherku ini gara-gara aku kerok semalam biar anginnya keluar!"
"Kamu pikir aku percaya sama alasan itu?"
"Aku nggak maksa kamu percaya, Zan, yang penting aku udah jawab pertanyaan kamu."
"Kalau memang itu bekas kerokan, kenapa harus ditutupin pakai syal?"
"Terus menurutmu aku sopan ketemu klien sambil memperlihatkan leherku yang merah-merah ini?"
"Kalau itu benar-benar bekas kerokan, kenapa tadi kamu berusaha keras buat hapus tanda merah itu di lehermu? Bahkan kamu sampai buat banyak luka di sini, Ul!" Fauzan terbelalak setelah pandangannya fokus pada kondisi leher Maulia. Tidak hanya ada bekas kecupan di sana, tetapi ada banyak luka baru yang mungkin diakibatkan karena sayatan kuku.
Lagi dan lagi Maulia menepis tangan Fauzan yang selalu bergerak cepat saat menyentuhnya.
"Bisa nggak, Zan, jangan sentuh aku semuanya kamu! Kenapa sih kamu bersikap berlebihan sama aku sampai pengen tau apa yang sebenarnya terjadi walau aku udah kasih alasannya?"
Fauzan mengangguk, ia mengakui bahwa sikapnya selama ini pada Maulia memang berlebihan, tidak selayaknya teman. Tetapi begitulah Fauzan berperilaku pada Maulia sejak mereka sering terlibat kerja sama yang membuat keduanya intens bertemu.
"Mungkin selama ini kamu nggak sadar kalau aku suka sama kamu, Uul! Kamu pikir aku nggak tau hubungan kamu sama Pak julian kayak gimana? Aku tau, Uul, tapi aku diam, selama ini aku selalu menunggu waktu yang tepat buat nyadarin kamu dan jauhin kamu dari dia karena dia milik perempuan lain."
"Zan, tau apa sih kamu soal kehidupan aku? Kamu nggak tau apa-apa, bahkan sedikitpun tentang aku. Kamu pikir apa yang kamu pikirin selama ini benar tentang hubungan aku sama Pak Julian? Kamu salah, Fauzan! Selama enam bulan ini aku jadi sekretarisnya aku nggak pernah punya hubungan sama dia, hubungan aku sama dia hanya sebatas kerja. Kamu tenang aja, kamu nggak perlu khawatir! Aku nggak akan ganggu punya perempuan lain karena aku nggak buta, Fauzan! Dan, aku cuma mau minta satu hal sama kamu, jangan pernah suka sama aku karena aku ini bukan perempuan sempurna dan nggak pantas buat siapa-siapa!" Selesai mengatakan itu, Maulia bergegas pergi dari hadapan Fauzan dan meninggalkan pria itu yang seketika terdiam mendengar ucapannya.
Ucapan Maulia tidak hanya didengar oleh Fauzan, tapi juga oleh Julian yang bersembunyi di balik tembok yang menjadi pembatas antara toilet wanita dan toilet pria. Perkataan itu seolah menyadarkan Julian jika Maulia tidak seburuk yang ia pikirkan selama ini. Bahkan wanita itu menolak Fauzan yang merupakan pria tertampan yang berada di urutan nomor 5 di perusahaan, itulah alasan mengapa Fauzan bisa pindah ke lantai atas untuk bergabung menjadi tim sekretaris.
"Kenapa dia ngomong kalau dia nggak sempurna dan nggak pantas buat siapa-siapa?" Julian membatin dalam hati dan ia langsung keluar dari tempat persembunyian untuk menemui Fauzan yang dianggapnya cukup dekat dengan Maulia.
Sementara Maulia kini berada di lift, lalu ia keluar dari lift yang sudah tiba di lantai tempat kamar Julian dan Maulia berada.
"Seharusnya bukan aku yang tidur satu kamar sama dia, harusnya Nona Diana yang ada di sini. Kalau aja semalam aku nggak sakit, nggak mungkin kejadian semalam bakal terjadi." Maulia menyesal dalam hati sambil membuka koper untuk mencari syal baru, menggantikan syal hitam yang tersangkut di anting Diana dan akhirnya robek.
Namun, apa yang Maulia cari sangat sulit ia temukan hingga wanita itu menumpahkan semua isi koper ke permukaan karpet kamar hotel hingga seketika barang bawaannya berhamburan dan Maulia membanting koper miliknya yang kosong sambil menyugar rambut.
"Kamu cari ini?" Tiba-tiba suara seseorang membuat Maulia menyudahi perasaan kesalnya. Namun, itu tak dapat disembunyikan karena wajahnya masih merah padam akibat merutuki diri sendiri dan menganggap semua yang terjadi adalah salahnya.
Seseorang itu adalah Julian yang entah sejak kapan masuk ke kamar dan tidak disadari oleh Maulia karena terlalu sibuk mengacak isi koper. Julian melangkah mendekati sang sekretaris yang terlihat kesal, lalu menyodorkan kain syal merah yang sebenarnya sudah ia ambil di koper Maulia saat wanita itu masih berada di toilet. Itulah alasan mengapa Julian bersembunyi di tembok toilet tadi karena ingin memberikan syal itu pada Maulia untuk menutupi tanda merah yang ia tinggalkan karena perbuatannya semalam, tetapi urung ia lakukan karena ada Fauzan di sana.
"Bapak yang ambil syal saya dari koper?" Maulia bertanya dengan rahang yang tampak mengeras, lalu mengambil syal miliknya dari tangan Julian dengan kasar.
"Maaf, tadi aku ke kamar dan berniat ambilin syal kamu buat gantiin syal yang robek karena Diana. Maaf aku nggak izin bongkar koper kamu karena aku mau cari syal ini buat dikasih ke kamu, tapi ternyata kamu udah ke atas duluan." Julian menjelaskan dengan dipenuhi rasa bersalah melihat kondisi sang sekretaris yang seperti sekarang karena ulahnya.
"Seharusnya Bapak nggak perlu repot-repot ambilin syal ini dari koper saya!" Maulia mengatakan itu dengan suara yang terdengar ketus karena ternyata tidak semudah itu meredam perasaan kesal yang tadi meluap.
"Maafin aku ya, Lia, aku udah buat kamu dalam situasi ini." Sadar dengan kesalahannya yang sejak tadi menghantui, Julian kembali meminta maaf.
"Sebaiknya sekarang Bapak kembali ke restoran dan lanjutkan sarapannya. Satu jam lagi kita harus pergi ke lokasi pertemuan dan event!" ucap Maulia yang sekaligus mengusir pria itu agar tidak mengurusinya. Jujur saja Maulia butuh waktu sendiri sampai perasaannya tenang.
"Aku nggak selera makan karena lihat kamu kayak gini, Lia." Sorot mata Julian benar-benar dihantui rasa bersalah.
"Memangnya saya kenapa? Kenapa Bapak nggak sarapan hanya gara-gara saya?"
"Aku merasa bersalah banget sama kamu, Lia, apalagi ulah Diana tadi udah bikin kamu malu. Tapi kamu tenang aja, aku udah jelasin ke Diana kalau kamu datang ke Jakarta memang udah pakai syal dan aku nggak tau alasan kenapa kamu pakai syal biar dia nggak curiga kalau kejadian itu terjadi semalam, aku juga udah bilang ke semua orang di timku buat nggak berpikiran yang nggak-nggak tentang kamu dan minta masalah ini nggak sampai diceritakan ke orang-orang di luar perjalanan bisnis sekarang. Kamu percaya sama aku kan, Lia, kalau semuanya akan baik-baik aja?"
Maulia menarik kedua sudut bibirnya untuk membentuk seulas senyuman, tetapi senyuman itu tidak terlihat tulus seperti biasanya. "Seharusnya Bapak nggak perlu repot-repot jelasin ke orang lain selain ke Nona Diana karena orang lain nggak perlu dengar pembelaan tentang saya yang disampaikan Bapak. Tapi nggak apa-apa, semuanya sudah terjadi, dan yang bisa saya lakukan adalah tetap melangkah ke depan untuk melanjutkan hidup. Terima kasih karena Bapak sudah mencemaskan saya, tapi saya baik-baik aja kok, Pak, jadi sebaiknya Bapak turun ke bawah dan lanjutkan lagi sarapannya."
"Aku bakal turun kalau bareng kamu dan kita sarapan sama-sama."
"Nggak, Pak. Saya udah kenyang."
"Kenyang? Memangnya kamu udah makan apa kok bisa kenyang? Tadi kamu sama sekali belum makan sesuap pun loh karena Diana datang mengacaukan sarapan kita."
Maulia terdiam tidak menjawab. Rasanya ia memang tak lapar dan sedang tidak menginginkan apa-apa. Setelah selesai memakai syal untuk menutupi lehernya, Maulia pun terduduk di sofa kamar.
"Lia, kamu harus makan ya. Kalau kamu nggak makan kamu bisa sakit." Julian kembali membujuk, duduk di sebelah Maulia yang menatap dengan pandangan kosong. "Hei, kenapa kamu melamun?"
"Pak, saya jahat banget ya sama Nona Diana." Suara Maulia terdengar datar. Wajahnya masih tanpa ekspresi dan menatap ke depan tanpa menoleh ke arah Julian.
"Apa maksud kamu ngomong kayak gitu?"
"Saya udah nyakitin dia, Pak, dengan apa yang terjadi semalam."
"Bukannya kamu nggak mau bahas soal kejadian itu, Lia? Kenapa sekarang dibahas lagi?" Julian merasa tidak suka jika Maulia terus menerus menyalahkan diri sendiri.
"Saya kepikiran buat mundur dari posisi sekretaris, Pak, kedekatan kita bikin orang-orang salah paham, dan saya nggak mau Nona Diana punya pikiran yang sama."
"Maksud kamu apa sih, Lia? Tolong dong jangan mikir yang nggak-nggak."
"Bukan cuma satu orang yang mikir saya jadi simpanan Bapak, banyak yang mengira kalau saya menggoda Bapak makanya bisa mendadak jadi sekretaris pribadi, padahal kita melakukan kesalahan itu cuma sekali, itupun semalam, dan selama enam bulan ini kita pure kerja profesional."
"Hei, apa sih yang kamu omongin? Jangan ngomong dengan pikiran kosong seperti ini, Lia! Tatap aku!" Julian segera menangkup wajah Maulia dan memaksa wanita itu untuk membalas tatapannya.
Tak dapat dipungkiri, mata merah Maulia menunjukan ada luka jauh di dalam sana, dan Julian mampu melihat luka itu. Ia tak menyangka, kesalahannya semalam akan membuat dampak seperti ini pada Maulia, dan itu menunjukkan jika sekretarisnya benar-benar tulus dan berhati baik hingga menyesali perbuatan yang bukan salahnya karena merasa telah mengkhianati wanita lain.
"Lia, tolong jangan pernah berpikir untuk pergi ninggalin aku lagi kayak dulu. Cukup kamu buat aku menyesal sekali itu aja dan jangan buat yang kedua kalinya!" Ingin rasanya Julian mengatakan hal itu secara langsung, tetapi itu malah terucap dalam hati, dan akhirnya tidak tersampaikan pada Maulia.