"Assalamualaikum, Ma," sapa Angga begitu dia tiba di rumah orang tuanya. Indah tengah berada di ruang tengah, menonton TV. Angga tiba mendekati waktu Magrib.
"Wa'alaykumussalam. Ada apa ke sini? Enggak betah tinggal di apartemen?" tanya Indah, menatap heran melihat kedatangan anaknya.
Angga duduk di sofa yang sama dengan Indah. Dia menoleh padanya. "Lagi pengen makan bareng Mama di rumah. Aku nginep di sini boleh kan, Ma?"
Indah menatap anaknya dengan tatapan aneh. "Ya boleh dong. Nanti Mama bilang Bibi buat bersihin kamar kamu. Lagian kamu ngapain tinggal di apartemen segala. Mana jauh lagi dari sini. Mending tinggal di rumah kan?"
"Ya biar mandiri aja, Ma. Apa aku pindah apartemen aja? Cari yang deket sini? Yang lama biar dijual." Angga tiba-tiba terbersit ide untuk pindah.
"Hmm ... dulu apartemen itu dibeli pas kamu kuliah, ya? Ya sudah nanti coba dijual aja, kalau memang mau cari apartemen yang deket sini." Indah setuju saja dengan keputusan anaknya yang tiba-tiba.
Angga mengeluarkan ponsel dari saku. Mencari website yang menjadi perantara jual beli rumah. "Aku coba masukin di web jual beli rumah, ya, Ma?"
"Boleh. Nanti Mama bilang Papa, kamu mau jual apartemen. Oh ya, Ngga, kamu enggak ada niatan cari pacar atau nikah dalam waktu deket? Katanya waktu kuliah kamu punya pacar? Kok enggak pernah diajak ke rumah?"
Angga masih sibuk dengan ponselnya, tetapi telinganya mendengar pertanyaan Indah. "Iya, waktu kuliah ada pacar tapi pas lulus, kami putus, Ma. Sekarang sih belum ada pacar lagi. Enggak tahu kalau besok," jawab Angga tanpa menoleh.
"Kamu cari yang gimana? Kamu tuh udah ada kerjaan, udah pantes kok nikah, sepupu kamu juga udah ada yang nikah. Mau Mama kenalin sama anak temen arisan Mama? Anaknya cantik-cantik dan pinter loh. Siapa tahu ada yang cocok."
"Yes, udah selesai. Apartemen itu udah aku masukin di website, ya, Ma. Tinggal tunggu yang mau beli aja." Angga menoleh pada Indah. "Boleh aja, tapi coba satu dulu, siapa tahu cocok."
Kedua mata Indah berbinar, dia menjadi semangat untuk mengenalkan anak temannya untuk diperkenalkan dengan Angga. "Ok. Nanti Mama atur jadwal pertemuannya. Mama mau cari Bibi dulu untuk rapikan kamar kamu."
Indah bangkit, menepuk pundak anaknya. Senyumannya mengembang, membayangkan anaknya akan menikah.
Angga membuka aplikasi chat di ponselnya, dia mengirimkan pesan pada Esti.
Angga : Besok berangkat dari rumah jam berapa?
Esti : Biasanya jam 5, Tuan. Ada apa ya?
Angga : Enggak ada apa-apa. Cuma mau ngingetin jangan telat, aku mau minta dimasakin sarapan.
Esti : Iya, Tuan.
***
Esti keluar dari rumah Entin jam 5 pagi bersama Arya yang masih agak mengantuk. Ketika sedang berjalan mencari angkutan umum, Esti melihat mobil Angga terparkir di pinggir jalan.
"Kok kayak mobil Angga?" gumam Esti. Dia mendekat untuk memastikan apakah itu benar mobil Angga.
"Cari siapa, Mbak?"
Suara Angga yang sedang jongkok di pinggir jalan mengejutkan Esti.
"Astaghfirullah. Tuan ini ngagetin aja!"
Esti memegang dadanya, jantungnya terasa seperti mau meloncat keluar. Dia terlalu fokus memperhatikan mobil Angga sehingga mudah dikejutkan oleh suara Angga.
"Tuan kok ada di sini? Lagi ngapain? Mau nangkep maling, ya?" tanya Esti dengan asal.
"Haha. Kamu kok tahu ada yang maling? Maling hati aku. Sampai sekarang enggak dia kembalikan tuh. Kalau ketemu mau aku tangkap malingnya. Tapi kayaknya sih sekarang belum waktunya."
Esti mengabaikan ucapan Angga. "Ya sudah, saya jalan dulu, ya, Tuan. Takut kesiangan."
Angga menahan langkah Esti dengan cepat berdiri di hadapan Esti. "Ayo masuk mobil." Angga mendekati Arya lalu menggendongnya. Dia membawa Arya ke pintu penumpang depan.
Sementara Esti masih diam di tempat, memperhatikan gerak-gerik Angga.
"Ayo cepet, aku udah laper nih. Mau sarapan masakan buatan kamu. Inget ini perintah majikan." Angga tersenyum lebar. Dia tahu Esti tidak akan bisa menolak kali ini.
Esti menghela napas kasar. Berjalan menuju pintu mobil bagian tengah. Saat mobil meluncur ke apartemen Angga, Arya tertidur.
"Apartemenku yang sekarang mau dijual. Kalau sudah laku, aku cari apartemen lain yang dekat rumah Mama."
"Oh, semoga segera dapet apartemen baru ya, Tuan." Perasaannya campur antara senang dan sedih. Senang karena apabila apartemen Angga dijual dia tidak akan bekerja untuk Angga lagi, sedih karena kehilangan pekerjaan dan harus mencari pekerjaan lain.
Anggap melihat tatapan sedih di mata Esti dari spion tengah mobil. "Tenang aja, kamu enggak akan aku pecat. Aku masih butuh tenaga kamu. Kalau aku sudah dapet apartemen baru kan kamu tetap kerja di sana."
"Kamu enggak punya pacar ya, Ngga? Aku lihat selama kamu di sini, kamu enggak pernah bawa perempuan atau teleponan dengan perempuan?" Esti merasa penasaran dengan status Angga sekarang.
Sementara Angga tertawa mendengar pertanyaan Esti. "Kamu melakukan pelanggaran lagi nih, manggil Angga. Pacar? Belum ada lagi. Kenapa kamu mau ngajak balikan? Tapi katanya Mama mau ngenalin aku sama anak temennya dan aku setuju aja sih."
Mata Esti melebar, dia menatap tajam ke arah spion tengah mobil karena tahu Angga melihatnya dari sana. "Jangan harap aku mau balikan sama kamu." Esti memang sudah bercerai dengan suaminya, tinggal menunggu surat cerainya saja. Tetapi dia memang tidak ada pikiran untuk kembali menjalin hubungan dengan Angga. Walaupun sekarang Angga katanya tidak memiliki pacar.
"Dua kali pelanggaran. Aku pastikan kamu enggak akan berkutik hari ini. Tunggu aja, ya."
Esti mengusap wajah dengan kasar. Dia mencoba mengalihkan pembicaraan. "Nanti mau sarapan apa, Tuan?" Esti bertanya dengan nada kesal.
"Tunggu sampai ke apartemen dulu. Sabar ya. Jangan-jangan kamu yang udah enggak sabar—" ucapan Angga sengaja dia hentikan.
"Enggak sabar buat apa?"
"Buat masak sarapanlah. Emang apa lagi?"
"Enggak ada!"
Esti diam setelahnya. Dia membuang muka agar Angga tidak bisa memperhatikan ekspresi wajah Esti lagi.
Tiba di apartemen. Angga pasti akan menggendong Arya yang masih tertidur. Dia akan membawa ke kamarnya. Baru dia menuju dapur yang di sana sudah ada Esti menyiapkan bahan masakan dari lemari pendingin.
"Kamu mau masak apa? Duduk aja di meja makan, biar aku yang masak." Angga meminta Esti berpindah tempat.
Esti mengernyitkan dahi, dia merasa heran dengan Angga yang tiba-tiba memintanya pindah ke meja makan.
"Bukannya Tuan minta dimasakin sama aku? Kok jadinya sekarang Tuan yang masak?"
"Udah duduk aja. Aku lagi pengen sarapan english breakfast. Pasti kamu enggak bisa kan? Jadi biarin aku yang masak."
Esti menyingkir dari dapur menuju meja makan. "Dasar majikan aneh, dari malam sampai tadi pagi maksa pengen dimaskakin, eh ujungnya malah masak sendiri, hadeh. Enggak paham lagi deh apa maunya," batin Esti.
Angga masak dengan cekatan, menyiapkan tiga porsi english breakfast. Hanya untuk Arya dia kurangi porsinya. Selesai masak dia membawa dua piring ke meja. Yang satu lagi dia simpan di dapur, sarapan untuk Arya.
"Ayo makan. Itu buat kamu semua. Sarapan punya Arya ada di dapur. Nanti kalau dia bangun, suruh dia makan. Jam 10-an kita pergi. Aku mau cari sesuatu."
"Aku ikut, Tuan?"
"Iya dong. Kamu harus ikut. Ini perintah dari aku, majikan kamu."
"Oh, ya udah, nanti berangkatnya setelah aku bersih-bersih ya, Tuan?"
"Ok."