Angga mengajak Esti dan Arya ke sebuah toko yang menjual jas mahal di sebuah mall. Alasan yang dia katakan pada Esti karena dia membutuhkan jas untuk bekerja mulai hari Senin. Padahal dia sudah membawa beberapa dari Jerman, dan biasanya dia memesan jas dari penjahit langganan keluarga mereka.
Esti tidak memperhatikan Angga yang sibuk memilih jas mana yang akan dia beli, karena dia sibuk mengikuti Arya yang sedang mengelilingi toko sambil. Memperhatikan apa saja pakaian yang ada di toko itu.
"Esti, sini dulu," panggil Angga agar Esti mendekatinya.
"Ya, Tuan."
Esti menggendong Arya, berjalan mendekati Angga. Menunggu perintah selanjutnya dari majikannya yang berwajah tampan itu.
"Kamu suka yang hitam atau navy?" Angga meminta pendapat dari Esti. Warna apa pun yang dipilih Esti, itu yang akan dia beli.
Esti memperhatikan dengan sesama dua jas itu. Dari segi model, dua jas itu sama saja. Hanya berbeda warna saja. Kedua jas sama-sama berwarna gelap.
"Navy aja, Tuan. Kayaknya lebih bagus." Esti mengacungkan kedua jempol.
"Ok. Aku coba dulu."
Angga mengembalikan jas yang hitam. Dia membawa jas navy menuju ruang ganti. Tak lama kemudian dia kembali dari ruang ganti sudah mengenakan jas navy. "Gimana? Bagus enggak?" Angga menunggu pendapat Esti lagi.
Di mata Esti, Angga terlihat keren dan gagah. Namun, tidak sampai membuat Esti merasakan getaran aneh. Perasaannya tetap biasa saja, sama seperti sebelumnya.
"Keren kok, Tuan. Ukurannya kok bisa pas banget, ya? Enggak cari dasinya sekalian?"
"Bilang keren tapi pakai kok? Artinya enggak keren dong. Yang ikhlas gitu kalau mau ngasih pujian. Eh, dasinya boleh deh sekalian." Angga mengerucutkan bibir.
Esti tersenyum melihat ekspresi wajah Angga. "Penampilan Tuan keren." Esti kembali mengacungkan kedua jempolnya. "Aku carikan dulu dasinya, ya."
Senyuman Angga mengembang. Pujian sederhana dari Esti bisa membuat moodnya naik hingga seribu persen. Bahkan membuat dia merasa sangat senang.
Esti menuju etalase dasi. Dia mencari dasi berwarna biru yang lebih muda. Menurutnya itu dasi dengan warna senada akan lebih cocok dipakai Angga. Setelah mendapat dasi itu, dia mendekati Angga. Tanpa bertanya dan meminta persetujuan, Esti langsung memakan dasi itu dengan wajah serius. Tidak lupa dia merapikan kerah kemeja Angga dan merapikan jas di bagian d**a. Sementara Angga terus menatap Esti lekat-lekat.
"Ehem! Ada serius banget nih kayaknya. Jangan-jangan kamu udah siap mau tanda tangan di buku nikah lagi? Perasaan kamu gimana? Kayak lagi pakein dasi untuk suami sendiri, ya?"
Esti menatap tajam pada Angga. Dia membayangkan menarik dasi di leher Angga sambil berjalan hingga Angga merasa kesakitan. Namun, Esti tidak memiliki keberanian untuk melakukan itu, karena dia hanyalah seorang pembantu yang nasib pekerjaannya berada di tangan majikan.
"Aku tunggu di luar ya, Tuan. Enggak enak kelamaan di sini, Arya enggak bisa diem." Esti mencari alasan agar bisa segera meninggalkan toko jas.
"Oh iya. Aku bayar dulu jas sama dasinya. Kamu tunggu di luar aja enggak apa-apa kok."
Angga mengganti pakaian dan melakukan p********n, sedangkan Esti mengajak Arya meninggalkan toko.
"Kamu kok tumben enggak protes, kesel atau marah? Biasanya kamu marah sampai kayak mau makan orang." Angga sudah berada di sebelah Esti yang menunggu di luar toko.
"Capek Tuan marah-marah terus. Ujungnya malah kena hukuman. Mending diem aja sih. Cari aman. Ribut terus sama Tuan, aku enggak pernah menang kok. Pasti selalu kalah."
"Bagus dong. Artinya kamu udah sadar. Enggak akan ngelunjak lagi sama majikan, kan?"
"Anggap aja begitu."
"Kamu pegang ini!" perintah Angga. Esti menerima paper bag dengan tatapan bingung karena Angga dengan cepat sudah mengajak Arya berlari meninggalkannya.
"Ayo, Ma, cepet. Kita beli es klim," teriak Arya karena jarak mereka semakin jauh.
Bahu Esti mendadak lemas. Dia paksakan dirinya untuk berjalan cepat mengikuti Angga dan Arya. Akhirnya berhasil menyusul Angga dan Arya yang sudah duluan mengantre di depan toko es krim.
"Makanya banyakin olah raga, supaya enggak susah napas kayak gitu. Masa baru jalan cepat gitu aja udah ngos-ngosan."
Esti mendelik, dia tidak merasa napasnya ngos-ngosan seperti orang habis berlari.
"Nah, mulai deh mau makan orang lagi, tuh." Angga semakin memancing emosi Esti. "Marah dong, enggak seru lihat kamu kayak gitu. Kalau marah tuh seru banget, memancing adrenalin biar semakin semangat bikin kamu tambah marah."
Esti berusaha menahan diri agar tidak terpancing emosinya karena ucapan Angga. Dia tidak mau terpancing, karena pasti Angga akan semakin memanfaatkan posisinya sebagai majikan.
Setelah mengembuskan napas panjang Esti berkata dengan nada datar pada Angga. "Tuan itu pesanannya udah jadi. Diambil dulu."
Angga tersenyum pada Esti, segera mengambil es krim pesanannya. "Kamu bawa satu yang buat kamu tuh."
Semua es krim yang dipesan, diajukan dalam gelas, sehingga jika es krim itu meleleh, tidak akan mengotori tangan.
Esti mencari kursi kosong di dekat toko es krim. Dia melihat sebuah bangku panjang yang letaknya tidak jauh dari toko es krim. "Kita duduk di sana, yuk," ajak Esti sambil menunjuk bangku panjang yang kosong.
Ketiganya berjalan menuju bangku itu, duduk di sana. Arya duduk di tengah di antara Esti dan Angga. Keduanya bergantian membantu Arya makan es krim. Pemandangan ini jika dilihat orang lain seperti sepasang suami istri yang hidup bahagia dengan seorang anak.
"Habis ini ke mana?" tanya Angga, es krimnya sudah habis duluan.
"Pulang. Emang Tuan mau ke mana?"
"Jangan pulang dong. Enggak seru banget sih kamu. Ke tempat lain aja, mumpung lagi di mall."
"Emang enggak capek, Tuan?" tanya Esti tanpa menoleh, masih menikmati es krim.
Tanpa Esti sadari tangan Angga sudah berada di sudut bibirnya, membersihkan sisa es krim yang menempel dengan tisu. Esti refleks menoleh. "Eh, makasih." Dia mengambil tisu di tangan Angga, membersihkan sendiri sudut bibirnya. Pipi Esti terasa menghangat.
"Ayo jalan lagi."
Esti bangkit karena es krimnya sudah habis. Dia mencari tempat sampah untuk membuang gelas bekas es krim.
"Ke mana?" tanya Angga saat Esti sudah selesai membuang sampah.
"Ikut Tuan aja mau ke mana. Saya jalan di belakang aja. Jadi pas Tuan belok ke mana, aku langsung ngekor." Esti tersenyum lebar.
"Ya udah ayo. Kamu bawa lagi paper bag itu. Biar aku gendong Arya. Kasian dia kalau jalan terlalu jauh."
Esti mengangguk. Dia berjalan di belakang Angga sambil memperhatikan toko-toko yang mereka lewati, ada toko apa saja dan apa yang mereka jual. Dia terpikir untuk membeli sesuatu untuk Angga saat dia menerima gaji pertama. Iya, Angga, karena kebaikan Angga dia bisa bekerja untuk mendapatkan uang.
Angga berbelok ke sebuah area permainan anak. Sepertinya dia ingin mengajak Arya bermain di sana. Esti membiarkan Angga mengajak Arya bermain kali ini. Sesekali saja tidak masalah.
***
Angga, Esti dan Arya sudah kembali ke apartemen. Arya tidur di kamar lain, bukan di kamar Angga karena Esti memaksa Angga membawanya ke kamar lain. Esti merasa tidak enak terlalu sering merepotkan Angga.
Angga menerima panggilan dari indah. Dia duduk di ruang tengah.
"Oh, jadi ketemunya besok malam, Ma?"
"Iya. Makan malam aja, sekalian kenalan. Mau enggak?"
"Ok aja. Enggak masalah. Kabari aja Ma janjiannya di restoran mana."
"Iya, besok Mama kabari. Yang jelas kamu mau kan, ya?"
"Iya, Ma. Aku mau. Ditunggu ya Ma kabar selanjutnya."
"Iya. Sudah dulu ya, Nak."
Angga meletakkan ponsel di sofa di sebelahnya.
"Kamu serius mau dijodohkan sama anak teman mama kamu?" Esti datang dan duduk di sofa di sebelah Angga.
Angga mengerutkan alis. "Kamu tuh masih sering amnesia kadang-kadang."
"Kenapa? Aku duduk di sini tuh sebagai temen kamu kok. Kan kita pernah jadi temen waktu kita kuliah sampai lulus."
"Kita bukan temen kok, eh, rapat deh, kita temenan pas semester awal aja, waktu masih PDKT. Terus kita pacaran sampai akhirnya kamu yang mutusin aku karena kamu harus nikah dengan cowok yang dijodohkan oleh orang tau kamu kan? Padahal kita sudah bikin planning buat nikah dua tahun setelah lulus kuliah. Yah paling enggak kan aku kerja dulu biar bisa biayain kamu." Angga menatap lurus ke depan, walaupun hatinya masih terasa perih mengingat kejadian masa lalu.
"Ok. Apa pun itu, kita pernah jadi teman. Jadi aku boleh kasih saran dong sebagai teman yang pernah gagal dalam pernikahan?"
"Kamu mau ngasih saran apa?" Angga menoleh pada Esti.
"Kenali dulu siapa calon yang akan dijodohkan dengan kamu. Jangan asal memutuskan mau nikah tanpa tahu dia siapa, sifatnya seperti apa. Khawatirnya di masa depan malah jadi ada masalah. Pokoknya jangan salah pilih deh."
"Terima kasih untuk masukannya. Aku tahu kok aku harus ngapain, dan terserah aku juga nanti mau nikah atau enggak dengan anak teman mama. Aku juga kan mau nikah seperti yang lain. Kamu juga kan pernah nikah, walaupun akhirnya malah gagal kan?" Angga memandang ke arah lain.
"Iya. Makanya itu jangan asal menikah, supaya kamu enggak gagal dalam pernikahan. Menikahlah sekali untuk seumur hidup. Nasib kamu enggak boleh sama kayak aku, Ngga." Esti memegang tangan Angga. Dia ingin Angga mengambil pelajaran dari hidupnya.
Angga menatap Esti lagi lekat-lekat. "Kamu memang pernah gagal, tapi kalau suatu hari nanti kamu ketemu seseorang yang baik, bisa ayah yang baik buat Arya, kamu harus mau membuka hati untuk orang itu, ok?"
"Mana ada Tuan yang mau sama janda miskin kayak saya, punya anak pula kan. Dia pikir pasti malah nambah beban."
"Nah, berubah lagi setelannya jadi pembantu. Tadi katanya temen? Cepet banget. Ya udah nanti aku kenalin sama tukang kebun di rumah Mama, katanya dia lagi cari istri tuh. Kali aja cocok sama kamu."
Kali ini Esti tidak marah. Dia langsung melayangkan pukulan yang keras di lengan Angga lalu meninggalkan pria itu yang meringis kesakitan, untuk melihat apakah Arya sudah bangun.
"Dasar pembantu aneh!" teriak Angga sambil tersenyum.