Esti kembali ke rumah mak Entin setelah mengantarkan Angga ke mobil. Dia sudah menghentikan tangis dan menghapus air matanya.
"Mak, belum mau tidur?" tanya Esti melihat Mak Entin menyimpan lauk yang dibawa Esti dari restoran.
"Sebentar lagi mak tidur, Mbak gimana kerjaannya hari ini? Mak sedih lihat Mbak harus kerja begitu. Kok malah jadi pembantu sih, Mbak. Kan bisa ngelamar kerja di perusahaan lain yang lebih layak, gajinya juga besar dibandingkan dengan jadi pembantu."
Mak Entin menarik lengan Esti, mengajak duduk di kursi yang ada di rumahnya. Mereka duduk bersebelahan.
"Ya, enggak apa-apa kok, Mak. Kalau ngelamar kerja di perusahaan, lama baru ada kerjaan. Aku di sini enggak mau nyusahin Mak dengan numpang tinggal terus cuma makan tidur aja di sini."
Mak Entin menghela napas. "Lebih baik begitu, Mbak. Kan kasian sama anaknya Mbak Esti. Masih kecil udah dibawa kerja begitu. Kalau di rumah ini dia bisa main. Mak juga masih bisa ngebiayaian Mbak sama Nak Arya sampai Mbak dapet kerjaan baru."
Esti mengelus pundak mak Entin yang sangat mengkhawatirkannya. Dia merasa sedikit senang ada yang memperhatikannya setelah sekian lama hidup bersama suami tapi hidupnya tidak jauh beda dengan seorang pembantu rumah tangga.
"Angga enggak masalah kalau aku kerja di sana bawa anak. Aku bebas bawa anak, Mak. Sementara ini ya aku kerja dulu aja di apartemen Angga, ya?" Esti menatap mak Entin dengan tulus.
"Mak khawatir Mbak malah merepotkan Nak Angga. Kasian nanti kalau rumahnya malah berantakan sama Arya. Nanti kalau dia marah gimana?"
"Mak tenang aja, aku enggak akan ngerepotin Angga kok. Dapet kerjaan cepat jangan disia-siakan, Mak. Cari kerjaan zaman sekarang susah. Dapet majikan yang baik juga susah. Jadi disyukuri aja apa yang ada sekarang. Ayo kita istirahat dulu, Mak. Besok aku harus bangun pagi."
"Mbak?"
Mak Entin menatap Esti dengan perasaan sedih. Anak majikannya yang kini harus hidup menderita. Air mata mak Entin merembes dari kedua matanya. Esti mengusap pipi mak Entin, dia juga ingin menangis tetapi sekuat tenaga Esti tahan, agar tidak semakin larut dalam perasaan sedih.
"Mak, aku bukan anak-anak lagi. Sudah pernah menikah dan punya anak. Rasa pahitnya hidup juga sudah biasa aku rasakan. Yuk kita istirahat. Aku enggak apa-apa, Mak."
Mak Entin mengangguk. Mereka menuju kamar masing-masing untuk melepas penat setelah bekerja seharian. Meluruskan punggung beristirahat agar besok bisa bangun pagi dalam kodisi lebih baik.
***
Esti tiba di unit apartemen Angga. Dia menekan bel agar Angga membukakan pintu. Esti merasa tidak enak asal masuk ke rumah majikannya.
"Besok, jangan mencet bel lagi, langsung masuk aja!"
Angga mengajari Esti cara membuka pintu apartemen tanpa menggunakan kunci. Agar apabila besok Angga tidak bisa membukakan pintu, Esti bisa masuk sendiri.
"Oh, baik, Tuan."
"Sini ikut aku."
Angga mengajak Esti menuju meja makan. Di sana belum ada makanan apa pun untuk sarapan pagi.
"Kamu jadi belanja dulu enggak? Aku pengen sarapannya dimasakin sama kamu. Eh, tapi kamu bisa masak kan? Terus makanan kamu bisa diterima sama perut aku enggak kira-kira?"
Esti meletakkan kresek belanjaan di atas meja. Mengeluarkan isinya satu persatu. "Tuan mau dimasakin apa? Saya bisa masak, masakan saya aman kok untuk dimakan. Enggak akan bikin sakit perut ataupun diare."
Angga mengamati belanjaan Esti di meja. "Tolong bikinkan aku sarapan omelet. Kamu bisa?"
"Omelet itu telur dadar, kan?"
"Iya, tapi bukan telur dadar biasa. Sini aku ajarin kamu cara masaknya."
Angga membawa telur ke dapur. Esti mengikutinya. Arya duduk di meja makan sendiri. Angga memecahkan beberapa butir telur. Memasukkan garam, merica, dan mencampur s**u cair. Kemudian dia mengocok telur. Esti mengambil penggorengan dan menyalakan kompor.
Angga mulai memasak omelet setelah penggorengan panas. Dia mengaduk telur yang masih cair itu. Angga terus memasak hingga matang. Sementara Esti memperhatikan cara Angga memasak.
"Sudah selesai." Angga meletakkan omelet di piring kemudian membawa ke meja makan. Angga mulai memotong omelet dan makan. Esti memperhatikan Angga yang sedang makan.
"Mau coba?" Angga menggeser piring ke hadapan Esti. Dengan garpu yang sama Esti mencoba masakan Angga. "Ternyata enak juga." Esti masih mengunyah. Mengembalikan piring ke hadapan Angga.
Angga melanjutkan sarapan dengan garpu yang sama. Baik Angga atau pun Esti tidak merasa keberatan saat makan dengan garpu yang sama. Sesekali Angga juga menyuapi Arya dengan garpu yang sama.
"Ternyata Tuan sekarang bisa masak sendiri?" Esti takjub pada Angga.
"Iya. Sejak lima tahun di Jerman. Lanjut kuliah sama kerjaan, aku terbiasa masak sendiri sih. Kadang makan di luar. Tapi aku lebih cocok makan masakan sendiri sih."
"Wah, Tuan rajin banget." Esti tersenyum memuji Angga.
Senyum Angga mengembang setelah mendapat pujian dari Esti. Dia melirik jam yang melingkar di tangan kanan.
"Aku mau ke rumah mama dulu. Setelah urusan aku di rumah selesai, aku balik ke sini. Kita bahas kerjaan kamu di sini terus pergi ke supermarket untuk belanja. Sementara aku pergi, kamu bersih-bersih dulu di apartemen."
"Baik, Tuan."
Angga bangkit menuju kamar, menganti kaus yang dia pakai dengan kemeja, memakai celana panjang. Bersiap menuju rumah orang tuanya.
Menempuh satu jam perjalanan. Angga tiba di rumah orang tuanya. Dia menemui mamanya yang sedang menyiapkan sarapan bersama mak Entin. Lalu duduk di sana.
"Sebenarnya aku udah sarapan di apartemen tapi kayaknya belum kenyang deh, Ma. Aku makan lagi, ya. Roti pake selai aja kayaknya. Tadi di apartemen udah makan omelet, jadi udah cukup asupan protein pagi ini."
"Iya, boleh."
Papanya Angga datang. Mereka sarapan bersama. Setelah sarapan, papa Angga mengajak anaknya ke ruangan kerja di rumah itu untuk membahas pekerjaan Angga saat ini. Mereka mengobrol panjang lebar. Angga akan menjadi CEO di salah satu perusahaan papanya. Dia akan mulai bekerja pekan selanjutnya.
Usai mengobrol dengan papanya, Angga mencari mak Entin ke dapur. Angga mengajak mak Entin ke taman belakang rumah.
"Mak, Esti ada cerita apa aja sama Mak sebelum dia kerja di apartemen saya?" Angga langsung bertanya pada intinya. Dia memang sangat penasaran dengan apa yang terjadi pada Esti.
"Mbak Esti belum cerita apa-apa, Nak. Malam sebelumnya dia datang sama Arya bawa koper. Katanya Mbak Esti enggak ada tempat tinggal, ya sudah tidur saja dulu di rumah mak. Besoknya dia maksa ikut ke sini. Mak sudah melarang, eh, Mbak Esti malah ngikutin sampai rumah ini. "
"Terus gimana ceritanya dia bisa kerja di apartemen saya?"
"Mbak Esti sendiri yang mengajukan diri ke Nyonya. Eh, Nyonya setuju. Mbak Esti diantar ke apartemen Nak Angga."
"Oh gitu ceritanya. Ya sudah makasih ya, Mak."
Angga dan mak Entin masuk rumah. Angga berpikir keras untuk mencari tahu bagaimana caranya mencari infomasi apa yang sebenarnya terjadi pada Esti. Sambil memikirkan cara lain agar memudahkan Esti berangkat kerja. Tiba-tiba saja sebuah ide terlintas dalam pikiran Angga. Dia menemui mamanya.
"Ma, Esti boleh enggak nginep di apartemen. Rumah dia kan agak jauh gitu, biar dia enggak bolak balik ngabisin ongkos, dia tinggal di apartemenku aja. Gimana menurut Mama?"