Dres Biru Muda

1156 Words
Angga baru pulang dari makan siang bersama Hana. Tadi dia menemani Hana bertemu dengan pria yang disukai Hana. Dari gelagat yang dibaca Angga dari pria itu, sikapnya terlihat cemburu melihat Hana datang bersama dengan Hana. Namun, pria itu masih gengsi untuk mengatakan perasaannya pada Hana, dan Hana masih setia menunggu. Angga berharap mereka akan segera menjalin hubungan yang serius. Angga menyadarkan punggungnya di sofa ruang tengah. Memejamkan matanya sejenak, tetapi dia teringat sesuatu. "Esti, sini dong, aku mau minta tolong." Angga memanggil dengan suara pelan. Dia terlihat sedikit merasa lelah. Esti datang dari dapur membawa segelas air dingin untuk Angga. Dia memberikan gelas itu pada Angga. "Mau minta tolong apa, ya, Tuan?" Esti berdiri di hadapan Angga. Angga menyeruput air dalam gelas hingga tandas. "Tolong ambilkan barang di bagasi mobil." Angga memberikan kunci mobil pada Esti. "Arya mana kok enggak keliatan? Lagi tidur ya?" Sejak pulang ke apartemen dia tidak melihat sosok Arya. "Iya, Tuan. Arya tidur di kamar satu lagi." "Kenapa enggak di kamarku aja tidurnya?" "Enggak enaklah, Tuan. Aku ke bawah dulu, ya." Esti tidak berani mengajak anaknya tidur di kamar Angga, karena itu kamar majikannya. "Ok." Esti bergegas menuju parkiran mobil yang terletak di basemen apartemen yang sama. Di sana dia mencari mobil Angga. Biasanya Angga akan memarkirkan mobil di lokasi yang sama, tetapi itu jika tidak ada yang parkir di tempat yang sama ketika mobil dibawa keluar oleh Angga. Esti menuju bagian belakang mobil. Dia membuka bagasi, ada dua paper bag di sana. Satu berisi sepatu olah raga. Satu lagi pakaian. Esti memeriksa paper bag yang berisi pakaian. Esti pikir Angga lupa memberikan pakaian itu untuk Hana. "Pasti Angga lupa ngasih ke temennya tadi baju ini," gumam Esti. Dia kembali ke unit apartemen Angga dengan dua paper bag. Esti menyerahkan dua paper bag itu pada Angga. "Tuan, kayaknya paper bag yang satu lagi punya Mbak yang tadi ketinggalan ya?" Angga menautkan alis. Hana tidak meninggalkan barang apa pun di mobilnya. "Paper bag mana yang ketinggalan?" "Yang isinya baju." "Oh." Angga baru sadar jika yang dimaksud Esti adalah pakaian yang dia beli kemarin. "Duduk di sini!" Angga menepuk sofa di sebelah kanannya. Esti menurut. Dia duduk di sebelah Angga dan mengambil jarak. Angga memberikan paper bag yang berisi pakaian itu pada Esti. Esti memandang Angga dengan tatapan bingung. "Buat aku?" Esti memastikan jika dia tidak salah dengar. "Iya, buat kamu. Aku kemarin keluar beli itu, sama sepatu ini." Angga menoleh menatap Esti. "Enggak salah, Tuan? Jangan-jangan ini buat Mbak yang tadi, terus karena ketinggalan jadi dikasih ke aku, gitu mungkin?" Esti pikir tidak mungkin Angga membelikan pakaian untuknya. Angga berdecak. "Itu bukan buat Hana. Aku beli itu memang buat kamu." "Eh, Tuan kan ngajak becanda deh." Esti mengembalikan paper bag itu pada Angga. Angga mengusap wajah. "Aku keliatan lagi becanda, ya?" Ekspresi wajahnya terlihat serius. Esti diam. Angga memberikan lagi paper bag itu padanya. "Tapi, Tuan—" "Kenapa lagi, sih? Sudah ambil aja. Isinya juga cuma satu. Ambil aja. Jangan nolak lagi dengan alasan apa pun!" Angga berkata dengan tegas. Mata Esti berkaca-kaca. Melihat itu Angga merasa bersalah, tetapi dia tidak marah pada Esti, hanya merasa sedikit kesal, karena Esti sulit sekali menerima pemberian dari Angga. "Kenapa lagi? Aku ada salah omongan sama kamu?" Angga mendadak menjadi bingung melihat mata Esti berkaca-kaca. Dia berpikir apa ucapannya yang barusan salah. Esti menggeleng. Dia mengeluarkan isi dalam paper bag, sebuah dress biru muda yang cantik. Esti menatap dress pemberian Angga dengan perasaan campur aduk. "Terus kenapa? Kamu udah lama enggak beli baju baru, gitu?" Esti diam, tetapi air matanya semakin tidak terbendung lagi. Tebakan Angga tepat menyentuh rasa sakit yang dirasakan Esti. "Astaghfirullah. Suami kamu, eh, mantan suamimu enggak pernah beliin baju?" Angga menatap Esti heran. Esti hanya mengangguk. "Terus ngapain aja dia selama ini? Punya istri tapi kok enggak diurus. Benar-benar deh. Kamu enggak mau cerita sesuatu tentang dia ke aku? Apa pun deh, yang mana aja terserah kamu aja pokoknya. Paling enggak bisa mengurangi rasa kesal kamu ke dia kan." "Aku mau cerita apa?" Esti tidak tahu harus mulai ceritanya dari mana. "Apa aja. Apa selama kamu nikah dengan dia, kamu pernah merasakan kebahagiaan walaupun cuma sedikit?" Angga sangat berharap Esti mau bercerita sedikit tentang suaminya. Yang penting Esti mau rasa sakitnya pada Angga. "Entahlah. Apa itu bahagia? Awal pernikahan dia bersikap baik dan ramah. Aku kira menikah karena perjodohan tidak seburuk itu. Padahal saat itu aku merasa sedih, apalagi pas kita harus putus, dia selalu berusaha menghibur." Esti diam sejenak untuk menarik napas. " Satu bulan setelah aku menikah dengan dia, orang tuaku meninggal dalam sebuah kecelakaan, perasaanku sudah jelas hancur saat itu, tapi dia tidak pernah menghiburku yang sedang sedih dan berduka. Sikapnya berubah menjadi dingin kecelakaan itu. Tapi aku tetap melayaninya seperti biasa sampai akhirnya aku hamil, dia tidak pernah menyentuhku sama sekali sampai dia menceraikan aku. Aku disuruh tidur sendiri di kamar belakang yang biasanya dipakai oleh pembantu di rumah. Aku melahirkan pun sendiri, dia dan keluarganya tidak ada yang peduli. Mereka membayar semua biaya persalinan, untuk kelas lll dan setelahnya aku mengurus Arya sendiri. Sampai sekarang."" Angga ikut terbawa emosi mendengar cerita Esti. Dia mengepalkan kedua tangannya erat. Ingin rasanya dia memberikan pelajaran pada pria yang telah menyakiti perasaan Esti. "Terus biaya hidup kamu gimana?" "Dia memberi uang belanja yang hanya cukup untuk biaya makan di rumah itu." "Terus kamu beli baju pakai uang dari mana?" "Dari uang tabunganku sendiri yang sudah ludes beberapa bulan yang lalu." "Seandainya dulu aku maksa bawa kamu keluar negeri, pasti nasib kamu enggak menderita begini. Terus kenapa kamu yang pergi? Itu kan rumah orang tua kamu?" "Sudahlah, Ngga, enggak ada yang perlu disesali. Aku cuma menunggu dia mengirimkan surat cerai. Terus kenapa aku yang pergi? Karena dia sudah membalik nama surat rumah itu jadi milik dia tanpa persetujuan aku." Angga pikir itu tidak masuk akal, karena sudah jelas rumah itu warisan dari orang tua Esti untuknya. "Kok bisa?" "Dia cari notaris nakal untuk mengurus itu semua, dan itu legal di mata hukum." "b******k banget itu orang! Apa alasan dia ngusir kamu?" "Dia mau menikah dengan perempuan lain." Esti menunduk. "Kamu enggak ada protes sama sekali?" "Siapa yang betah tinggal di sana kalau cuma diperlakukan sebagai pembantu? Kayaknya enggak ada yang bakalan betah deh. Jadi aku lebih baik pergi daripada bertahan di sana." Mulut Angga terbuka lebar. Dia tidak menyangka perlakukan mantan suami Esti membuat Esti menderita. Dia tidak bisa tinggal diam mendengar hal ini. "Besok aku akan ke sana, pengen aku hajar orang itu sampai puas. Enak aja dia memperlakukan kamu seperti pembantu." Napas Angga memburu. "Sudahlah. Aku sudah malas berurusan dengan orang itu. Lebih baik aku menjauh, melanjutkan hidup tanpa gangguan dari dia." Esti sudah menyerah untuk hubungannya dengan mantan suami. Angga juga tidak akan membiarkan mantan suami Esti hidup bahagia setelah membuka Esti menderita. Dia berjanji akan membalas semua rasa sakit Esti pada mantan suaminya. Angga tidak menyangka hanya karena sebuah pakaian, Esti mau bercerita sekilas tentang pernikahannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD