Terjebak Wasiat Perjodohan

1128 Words
BLAM! Liza segera menutup pintu kasar sesaat setelah masuk ke dalam kamar. Bibir ranumnya bergetar hebat disertai netra yang berkaca-kaca. Emosi dalam dirinya sedang bergejolak tak terkendali. Mengingat sang ibu yang masih terbaring koma dan tentu saja perlakuan Lukas yang semakin semena-mena padanya hanya menambah kepedihan di hati saja. Tak sanggup beranjak, tubuh mungil yang terlalu lelah itu memilih bersandar di balik pintu kamar. Cairan bening di pelupuk mata mulai meluncur deras tanpa seizin pemilik seiras dengan tubuh yang luluh lantah jatuh ke permukaan lantai. Liza sebenarnya masih ingin bercengkrama lebih lama dengan Sarah, ibu mertua yang tulus menyanyanginya—melepaskan rindu peengganti ibu kandung yang sedang tidak bisa bersama imbas kondisi koma. Namun, fakta bahwa sosok Lukas turut dalam percakapannya dengan Sarah, membuat wanita itu muak. Cukup, Liza tak sanggup lagi bersandiwara terlihat baik-baik saja malam di hadapan keduanya. Nenek Marla, aku yakin kau mendengarku. Mengapa kau menjodohkanku dengan cucumu yang hanya mempermainkanku saja, Nek? Salahkah aku yang hanya ingin dicintai dengan tulus olehnya? Liza membatin pilu. Beberapa kali isakannya menguar, mengiringi hati yang pedih teriris mengingat masalalu dimana seorang nenek bernama Marla Farente yang tak lain adalah nenek dari Lukas—wanita paruh baya yang telah menjodohkannya dengan sang cucu. Liza merupakan gadis berusia dua puluh lima tahun yang berprofesi sebagai perawat di Rumah Sakit Central pusat kota. Enam Bulan yang lalu, ia kebetulan sedang bertugas merawat pasien wanita lansia berumur enam puluh lima tahun bernama Marla Farente yang dirawat di bangsal VVIP—bangsal khusus kaum crazy rich dengan biaya perawatan yang terbilang sangat fantastis. Nenek Marla, begitu panggilannya. Wanita paruh baya itu divonis mengidap penyakit komplikasi yakni darah tinggi, gagal ginjal, dan jantung koroner. Suatu hari, hampir satu minggu anggota keluarganya tak bisa datang menjenguk. Hanya satu asisten yang diutus untuk melayani segala kebutuhan sang nenek. "Di luar sedang cerah, tapi kenapa wajahmu mengabu, Wahai Sang Ratu?" celetuk Liza berusaha menghibur Marla yang sedang mengawang, menatap sendu ke arah jendela di atas kursi rodanya. Gadis berseragam putih khas perawat itu kebetulan mendapat jadwal untuk memeriksa di kamar Anyelir—ruang rawat VVIP yang dihuni Marla saat itu. "Ratu apanya? Kalau aku adalah ratu mereka akan memperlakukanku dengan baik dan tak lupa mengunjungiku." Marla mengeluhkan anak dan cucunya yang terhitung satu minggu sudah tak kunjung menjenguk. Meskipun dirawat di ruangan VVIP dengan segala fasilitas lengkapnya, tetap saja Marla merasa kesepian. Sejurus itu, Liza mencoba menjadi pendengar yang baik sembari menjalankan tugasnya, memeriksa tensi darah sang nenek yang masih mengoceh. Sikap Liza yang lembut dan setia mendengarkan setiap sang nenek bercerita berhasil mengambil atensi dan hatinya. Marla yang haus akan perhatian merasa senang apabila tiba jadwal Liza memeriksa dirinya. Bahkan sang nenek hapal kapan jam Liza datang untuk memeriksa. Namun, dua minggu berlalu, Liza mendadak tidak datang sesuai jadwal pemeriksaan ke kamar rawat Marla. Terhitung tiga hari berturut-turut, tak ada kabar dari sang perawat yang biasanya menyapa dengan senyuman serta gurauan ketika memasuki ruang rawat Anyelir. PRANK! "Ibu, apa yang kau lakukan? Kenapa kau menumpahkan semua makanan ini?" Sarah, putri kandung Marla yang saat itu sedang berkunjung terkejut ketika ibunya tiba-tiba mengibas kasar set peralatan makan di hadapannya, menyebabkan makanan berserakan di lantai. Air muka sang ibu pun terlihat masam. "Aku mau Liza yang merawatku. Kenapa sudah tiga hari dia tidak memeriksaku?" respon Marla ketus. "Liza? Siapa maksud ibu?" Merasa kebingungan dengan pernyataan ibunya, Sarah berusaha menenangkan Marla. Sang putri bertanya lebih lanjut perihal siapa Liza yang dimaksud. Tak lama, Marla langsung menjelaskan sosok yang merupakan perawat kesayangannya. Setelah mendengar penjelasan ibunya, tanpa membuang waktu, Sarah segera mencari informasi mengenai perawat bernama Liza dengan segala koneksi yang ia miliki di rumah sakit. Sayang, Sarah harus kecewa. Pasalnya, ia mendapat informasi bahwa Liza sedang mengalami musibah. Mia Davis, ibu kandung Liza sedang terbaring koma selama tiga hari imbas ditabrak lari oknum tak bertanggung jawab. Kabar itu pun terdengar oleh Marla yang sontak bergegas mengunjungi kamar rawat ibu Liza. "Liza." Tubuh Liza membeku, netranya membola sempurna, kantong platik berisi buah yang ia genggam bahkan terjatuh ketika melihat sosok yang memanggilnya di lorong rumah sakit–dimana ia hendak menuju ruang ICU tempat ibunya dirawat. "Ne-nek Marla?" Liza merespon terbata-bata melihat sosok Marla mengenakan pakaian khusus pasien sudah ada di sana ditemani oleh Sarah. "Kemarilah, Sayang." Sarah membantu ibunya bangkit yang dari kursi roda. Netra wanita paruh baya itu berkaca-kaca seolah turut merasakan kesedihan yang sedang mendera Liza. Ia lalu bergestur merentangkan kedua tangan, ingin memeluk sang puan. Seakan tersihir oleh gestur Marla, Liza melangkahkan kedua tungkai cepat, menyambut pelukan sang tetua. "Hiks!" Cairan bening seketika tumpah ruah seketika sesaat setelah Liza masuk ke dalam dekapan hangat Marla. Kesedihan yang mati-matian ditahan, kini luruh tak terbendung dalam pelukan. Sang perawat menangis sejadi-jadinya sementara Marla hanya diam sembari membelai surai panjang bergelombang milik Liza. Tak tahan dengan situasi penuh emosi di hadapannya, air mata Sarah turut mengalir, merasakan kepiluan yang mendalam seorang Liza. Satu minggu setelahnya, Liza harus kembali menelan pil pahit. Pasalnya, kondisi sang ibu yang sedang koma belum juga menemukan titik terang. Kini, masalah baru sudah menunggunya. Liza harus berhadapan dengan biaya perawatan yang mulai membengkak untuk sekadar menompang kehidupan Mia dengan alat-alat medis. Situasi sulit Liza ternyata sampai ke telinga Marla. Dengan segala kuasa yang dimiliki, Marla diam-diam membayar dan menjamin seluruh biaya ibu Liza sampai ia tersadar dan pulih nanti. Beberapa hari setelahnya, Liza sebagai wali satu-satunya sang ibu sangat terkejut setelah mengetahui bahwa Marla lah yang membayar seluruh tagihan rumah sakit. Dengan penuh urgensi, detik itu juga ia berlari menuju ruang rawat Anyelir hendak meminta penjelasan wanita paruh baya itu. "Nenek apa yang kau—" Sayangnya, Liza datang di waktu yang kurang tepat. Ucapan sang puan terjeda sesaat setelah ia membuka pintu, ruangan Anyelir nyatanya tengah dipenuhi oleh sekumpulan orang sedang mengelilingi sang nenek yang terbaring lemah di atas brankar. "Li-za, ke-marilah," pinta suara terbata-bata milik Marla dengan maksud agar Liza mendekati brankar miliknya. Walau sedikit ragu, gadis itu pun manut. Ketika Liza perlahan berjalan mendekat, netra gadis itu menangkap sosok pria tampan berperawakan gagah, berjanggut tipis yang cukup menarik perhatiannya. Bukan tanpa sebab, pria itu memakai jas berwarna maroon, sementara anggota keluarga lain kompak memakai outfit serba hitam. Tak lama, sang pria turut menoleh ke arah Liza dan kedua pasang netra mereka pun bertemu. Saling bersitatap intens terjadi cukup lama, seakan terselip makna lain di dalamnya. Lukas Farente, begitulah sang nenek memperkenalkan pria yang berhasil mencuri atensi Liza itu sebagai cucu tertua. Di sisi lain, benak Liza merasa sedikit keheranan, mengapa Marla malah langsung memperkenalkannya kepada Lukas sedangkan banyak anggota keluarga lain yang lebih tua—yang biasanya diperkenalkan secara runut. "Waktuku tak banyak. Menikahlah dengan Lukas cucuku, Liza. Hanya kau ... gadis yang pantas mendampinginya," tutur Marla di luar dugaan, membuat semua penghuni ruang rawatnya terperangah tak percaya termasuk Liza. "A-pa?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD