Neeta—sapaan akrab Ganeeta—tak sengaja mendengar obrolan kakaknya dengan seseorang melalui panggilan telepon. Di mana Lia terlihat sangat marah pada lawan bicaranya itu. Dari apa yang Neeta dengar, dia menyimpulkan jika sekarang Lia sedang berbicara dengan seseorang yang terlibat hutang pada rentenir bersamanya. Siapakah orang itu?
“Danial, aku nggak mau tahu ya. Kamu harus cari uang itu dalam satu minggu! Neeta pasti marah kalau rumah ini sampai disita!” Lia sampai menekankan suaranya.
Apa? Danial? Tadi Lia menyebut nama Danial, 'kan? Neeta tidak salah mendengar, 'kan? Jadi, ternyata Danial juga terlibat dengan hutang sejumlah sembilan ratus juta pada rentenir itu? Wah, sungguh luar biasa sekali mereka berdua.
Neeta masih berusaha menguatkan diri saat mencuri dengar pembicaraan Lia dengan Danial. Neeta ingin tahu lebih banyak lagi sejauh mana permasalahan yang mereka berdua sebabkan. Neeta masih bertanya-tanya ke mana uang itu mereka gunakan.
Sembilan ratus juta bukan jumlah yang sedikit. Setidaknya uang sebanyak itu dapat membuka sebuah usaha yang besar. Tapi, usaha apa yang mereka bangun berdua?
“Kamu benar-benar bikin aku pusing tahu nggak! Coba aja kalau kamu nggak tergiur main saham abal-abal itu. Semuanya nggak akan begini.”
Wah! Neeta dibuat tercengang mendengar kalimat Lia kali ini. Ternyata Lia meminjam sejumlah uang pada rentenir dan menjadikan rumah ini sebagai jaminan, semua hanya untuk Danial, pria berengsek itu? Bukankah Lia adalah Wanita yang cerdas? Seharusnya dia tahu risiko meminjam uang pada rentenir hanya akan memupuk hutang.
“Danial, aku nggak mau tahu. Pokoknya kamu harus cari uang itu dan bayar semuanya. Jangan membebaniku. Kamu sudah berjanji dulu.” Lia kembali menekankan pada Danial jika pria itu harus mencari uang dan melunasi hutang mereka pada rentenir.
Percayalah, Danial bukan pria yang bertanggung jawab. Pria yang berani berkhianat, sudah jelas menunjukkan seperti apa dia sebenarnya. Jelas dia bukan pria yang penuh tanggung jawab.
Memangnya sebesar apa rasa cinta Lia kepada Danial sehingga mau berbuat demikian? Seharusnya mereka menggunakan apartemen Danial sebagai jaminan. Dan bukannya rumah peninggalan orang tua mereka. Kan hutang sebanyak sembilan ratus juta tercipta karena Danial yang bermain saham? Seharusnya Lia tidak perlu melibatkan diri.
Lia menutup teleponnya bersama Danial. Wanita itu terkejut bukan main saat melihat Neeta yang berdiri mematung di ambang pintu kamarnya. Sejak kapan adiknya itu berdiri di sana? Apa Neeta mendengar semua pembicaraannya dengan Danial? Lia dibuat bertanya-tanya.
“Ngapain lo di sana? Lo nguping pembicaraan gue? Lancang banget lo!” ucap Lia begitu ketus. Dia pikir Neeta sudah berangkat bekerja saat dia sedang terhubung dengan Danial melalui panggilan telepon tadi.
Seharusnya Neeta yang sangat marah sekarang. Seharusnya Neeta yang bereaksi seperti itu sekarang. Bukan Lia, karena dia tidak berhak marah sama sekali.
Ada begitu banyak pertanyaan dan kalimat yang ingin Neeta ucapkan. Namun dia tidak mampu sekaligus bingung ingin memulainya dari mana. Lia dan Danial benar-benar membuat Neeta kehabisan kata-kata. Dia tidak tahu harus berbicara apa sekarang.
Neeta memilih untuk meninggalkan Lia yang terlihat sangat kesal kepadanya. Meski sebenarnya Neeta merasa seribu kali lebih kesal dari kakaknya itu. Namun lebih baik dia berangkat bekerja saja meninggalkan Lia di sini.
Seperti biasa, Neeta selalu berangkat ke kantor menggunakan jasa ojek online. Sudah hampir dua tahun ini Neeta bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang property itu. Mulai dari usianya 26 tahun hingga sebentar lagi akan menginjak angka 28 tahun. Neeta begitu gigih bekerja di sana.
Sebenarnya, beberapa bulan ini banyak karyawan yang diberhentikan karena perusahaan sedang berada di ambang kebangkrutan. Namun Neeta beruntung karena tidak termasuk dalam daftar karyawan yang diberhentikan itu. Neeta merasa bersyukur akan hal itu meski dia juga merasa sedih karena banyak rekannya yang diberhentikan.
Setiap hari Neeta selalu memanjatkan doa agar perusahaan tempatnya mencari nafkah akan tetap bertahan meski tak sejaya dulu lagi. Hanya perusahaan itu satu-satunya tempat Neeta menggantungkan harapan untuk mencari nafkah. Dan sekarang bertambah pula untuk melunasi hutang kakaknya.
Entah kenapa hari ini perasaan Neeta terasa sangat tak nyaman. Apa hal ini karena kejadian kemarin? Neeta sama sekali tak tahu. Neeta hanya berharap sesuatu yang akan mengejutkannya tidak terjadi lagi hari ini. Neeta akan terkena serangan jantung jika setiap hari dikejutkan oleh sesuatu yang tak terduga. Mungkin tak masalah jika hal itu membuatnya merasa senang. Namun apa jadinya jika hal itu membuatnya merasa sangat buruk dan ingin mati?
“Loh, lagi ada demo ya, Neng? Kok ramai banget,” kata abang ojek online.
Neeta memiringkan sedikit tubuhnya dan mengintip di balik tubuh abang ojek online. Sedang ada keramaian di depan kantornya. Seperti huru-hara. Banyak umpatan yang keluar dari mulut yang Neeta yakini adalah para mantan karyawan yang diberhentikan secara tidak adil oleh perusahaan itu.
“Berhenti di sini saja, Pak. Ini helm dan juga ongkosnya.” Neeta memberikan helm dan juga uang tunai setelah berhasil turun dari kendaraan roda dua itu.
“Neeta!”
Langkah Neeta tertahan saat seseorang menyerukan namanya. Ternyata Arinda yang baru saja memanggilnya. Rekan satu tim Neeta yang diberhentikan sebulan yang lalu.
“Arinda,” sahut Neeta kemudian melangkah mendatangi Wanita berkulit kuning langsat itu.
“Kamu apa kabar? Kok kamu agak sedikit … berantakan? Ada apa?” tanya Arinda terkejut mendapati penampilan Neeta yang menurutnya sedikit berantakan. Mata yang sembab dan wajah yang terlihat seperti sedang banyak masalah. Begitulah pemikiran Arinda sekarang.
Neeta berusaha menyunggingkan kedua sudut bibirnya ke atas. Meski sulit untuk dilakukan pada situasi sekarang. Tetapi Neeta tidak ingin Arinda tahu jika sekarang dia sedang dalam sebuah masalah yang sangat besar.
Menurut Neeta, tidak ada gunanya juga Arinda tahu persoalan masalah yang menimpa dirinya. Yang ada hanya akan menjadi beban untuknya. Tidak ada jaminan Arinda akan tutup mulut dan syukur-syukur membantu Neeta dari permasalahannya. Tapi, seperti yang diketahui, Arinda juga mempunyai masalahnya sendiri. Dia bahkan menjadi salah satu dari sekian ratus mantan karyawan yang tengah melakukan demo pagi ini.
“Kabar aku baik, Rin. Kamu sendiri juga baik, 'kan?” Neeta balik bertanya, meski dia tahu Arinda sedang tidak baik-baik saja karena dia ada di sini ikut demo.
“Mana mungkin kabarku baik, Neeta. Kamu sendiri beneran baik-baik aja? Mata kamu bengkak begitu.” Lagi, Arinda menyinggung persoalan mata Neeta yang bengkak dan sembab.
“Ah, pamanku meninggal kemarin. Aku menangis sampai mataku bengkak seperti ini.” Neeta berdalih dengan mengkambinghitamkan pamannya yang padahal sudah meninggal tahun lalu. Maafkan Neeta ya, Paman.
Arinda menutup mulutnya. “Astaga, aku turut berduka cita ya, Neeta,” ucap Arinda prihatin. Dia percaya-percaya saja saat Neeta mengatakan hal itu.
Neeta mengangguk pelan. “Aku duluan ya, Rin. Udah mau jam masuk kantor.” Neeta mengetuk pelan jam tangan yang melingkar manis di pergelangan tangannya.
“Okey. Semangat kerjanya ya, Neeta! Sampai ketemu nanti!” Arinda melambaikan tangan mengantar kepergian Neeta yang masuk ke dalam gedung kantor. Perlu usaha yang ekstra bagi Neeta menerobos kerumunan yang tengah melakukan demo untuk menuntut hak mereka.
---
Neeta berdiri dengan gemetar saat mendengar kabar jika perusahaan tempatnya bekerja sekarang dinyatakan bangkrut. Itu artinya, tidak akan ada lagi yang bekerja di perusahaan ini termasuk Neeta sendiri. Neeta merasa pusing. Dia juga merasa mual karena berita yang baru saja didengarnya ini.
“Kenapa terjadi lagi?” gumam Neeta dengan mata berkaca-kaca.
Neeta merasa tak sanggup menanggung semua beban ini. Masalah terus menerus menimpanya dalam dua hari belakangan. Kemarin masalah perselingkuhan Lia dengan Danial dan juga hutang sebanyak sembilan ratus juta pada rentenir. Dan hari ini Neeta kehilangan pekerjaan yang menjadi satu-satunya harapan untuk mencari uang.
Neeta berjalan dengan gemetar menuju toilet kantor. Dia ingin sekali menangis. Menumpahkan semua hal yang berkecamuk di dalam dadanya.
Tidak ada hal yang berjalan sesuai dengan rencana Neeta. Dia mendadak merindukan masa kecilnya dulu di mana hari-harinya dipenuhi dengan kebahagiaan bersama orang tuanya. Di mana beban masalahnya hanyalah kejahilan Lia yang terus mengganggunya. Ataupun tugas sekolah yang membuat Neeta merasa pusing tujuh keliling.
“Kenapa Mama dan Papa harus meninggal secepat itu? Neeta masih memerlukan kalian berdua untuk berdiri bersama Neeta sekarang. Neeta nggak sanggup menanggung semua beban ini. Tolong bawa Neeta Bersama kalian.”
Neeta menangis sesenggukan di dalam sebuah bilik sanitasi kantor. Wajahnya dia sembunyikan di balik telapak tangan. Suaranya terdengar sangat memilukan untuk didengar. Neeta benar-benar merasa tertekan.
Tok! Tok! Tok!
Seseorang mengetuk pintu bilik dengan pelan. Dia tidak sengaja mendengar suara tangisan Neeta saat masuk ke dalam sini. Dan ingin memastikan jika orang di dalam sana sedang baik-baik saja.
“Halo. Apa kamu okey? Saya dengar kamu terus menangis.”
Neeta segera menyeka kedua ekor matanya dan berusaha untuk meredakan tangisnya. “Sa-saya baik-baik saja. Maaf kalau saya mengganggu kamu,” sahutnya dari dalam.
“Sama sekali tidak. Saya hanya khawatir kamu kenapa-kenapa karena didengar dari tangis kamu, sepertinya kamu sangat tertekan.”
Entah siapa yang sedang berbicara dengannya sekarang ini. Neeta merasa seakan dipedulikan sekarang.
Neeta merasa dia baru saja terjatuh kemudian tertimpa tangga pula. Mungkin peribahasa itu yang tepat menggambarkan bagaimana kondisi Neeta sekarang. Neeta ingin dirangkul, dia ingin seseorang menguatkannya.
“Hey, menurut saya sebaiknya kamu segera keluar dari sana. Terlalu lama berada di dalam sana tidak baik untuk kamu.”
Suara Wanita itu terdengar lagi di telinga Neeta. Diiringi dengan sebuah ketukan pada pintu bilik yang begitu lembut. Wanita itu merasa sangat khawatir kepada Neeta, meski sebenarnya dia tidak tahu jika di dalam sana adalah Neeta.
“Saya akan keluar sebentar lagi. Terima kasih atas perhatian kamu untuk saya,” balas Neeta dengan bibir bergetar. Air mata masih menggenang di kedua pelupuk matanya.
Neeta merasa sangat lelah sekali. Sedari kemarin dia terus menerus menangis karena sebuah masalah. Sebenarnya, dia juga merasa sangat lelah satu bulan belakangan ini. Neeta merasa lelah dengan sikap Danial dan juga Lia yang menurutnya aneh. Sekarang dia tahu kenapa keduanya bersikap seperti demikian.
Rasanya aneh saja jika pasanganmu tiba-tiba menjadi posesif padahal sebelumnya tidak. Danial sering menuduh Neeta dengan macam-macam hal yang tak masuk akal. Begitupun dengan Lia, yang menjadi sangat sensitive kepadanya. Lia sering meneriaki Neeta setiap kali dia akan pergi dengan Danial. Atau setiap kali Danial apel ke rumah mereka. Lia selalu memarahi Neeta dengan alasan tidak jelas.
Sekarang, permasalahannya bukan hanya sekedar hubungan percintaan yang kandas. Tapi hubungan persaudaraan yang entah akan menjadi seperti apa ke depannya. Dan rumah peninggalan orang tua Neeta dan Lia yang terancam disita karena tidak ada satu pun dari mereka yang mampu mendapatkan uang sebanyak sembilan ratus juta dalam waktu enam hari. Bahkan sekalipun Neeta menjual salah satu ginjalnya ataupun organ lainnya, tidak ada jaminan dia akan mendapatkan sembilan ratus juta itu.
Kepada siapa Neeta harus marah? Kepada Lia ataukah kepada semesta yang terlalu kejam untuknya? Bukankah keduanya sama-sama kejam memperlakukan Neeta? Seperti itulah yang Neeta rasakan dalam hatinya.
“Mama… Papa… bawa Neeta bersama kalian. Tolong Neeta. Jangan biarkan Neeta merasa sendirian. Rasanya sangat menyakitkan harus menanggungnya sendirian seperti sekarang.”