“Kak Lia....” Neeta memanggil saudaranya itu, namun tidak ada sahutan apa pun dari sang empunya nama.
Berkali-kali Neeta mengetuk pintu kamar Lia. Dan masih tidak ada jawaban dari wanita berusia 33 tahun yang selalu ketus kepadanya sejak dulu. Seharian ini Neeta tidak melihat tanda-tanda dari kakaknya itu, maka sekarang dia memberanikan diri untuk membuka pintu kamar Lia meski wanita itu akan marah jika Neeta melakukannya. Bagaimanapun, Neeta masih peduli pada kakaknya itu.
“Kak ... Lia....” Suara Neeta melemah saat melihat kamar Lia begitu kosong. Semua barang-barang Lia sudah tidak ada. Apa artinya ini? Apa Lia kabur meninggalkan Neeta sendirian?
Neeta langsung berlari masuk ke dalam kamar Lia. Diperiksanya lemari pakaian milik kakaknya itu dan semuanya kosong. Tidak ada satu pakaian pun yang tersisa. Kamar Lia benar-benar kosong.
Neeta langsung jatuh merosot ke atas lantai sebab kedua kakinya terasa sangat lemas. Diraihnya ponsel yang dia simpan di dalam saku, kemudian mencari nama Lia. Panggilan Neeta ditolak. Hanya suara operator yang menyambutnya.
Merasa tak dapat menghubungi Lia, Neeta pun berinisiatif menghubungi Danial—meski sebenarnya dia tidak ingin lagi berbicara ataupun berhubungan dengan pria itu. Namun, sama saja. Panggilan Neeta lagi-lagi ditolak dan hanya suara operator yang menyambutnya.
“Apa mereka berdua kabur? Apa itu artinya mereka melimpahkan permasalahan ini kepadaku?” Air mata Neeta mengalir begitu saja saat pemikiran itu terlintas di kepalanya.
Sepersekian detik kemudian, Neeta tak bisa menahan diri lagi dan langsung menangis sejadi-jadinya. Haruskah Lia meninggalkan Neeta dan membiarkannya menanggung semuanya sendirian seperti ini? Kenapa Lia begitu kejam!
Tubuh Neeta bergetar hebat. Dia menggigil ketakutan. Hal ini seribu kali lebih menakutkan dari film horor yang pernah dia tonton di bioskop. Bagaimana jika nanti para rentenir itu datang ke mari dan menagih uangnya? Apa yang harus Neeta lakukan? Jika pada akhirnya rumah ini disita oleh rentenir itu, ke mana Neeta harus pergi?
Isak tangis Neeta semakin terdengar pilu. Dia bahkan terbaring lemas di atas lantai kamar Lia. Neeta benar-benar bingung.
Neeta tidak punya uang. Dia juga tidak punya tabungan sama sekali. Hanya ada satu televisi dan juga kulkas yang bisa dia jual, meski uangnya tak akan seberapa banyak. Kehidupan Neeta dan Lia benar-benar sulit semenjak usaha orangtuanya bangkrut bersamaan dengan meninggalnya kedua orang itu karena kecelakaan.
Tok! Tok! Tok!
Neeta terkesiap saat mendengar suara pintu yang diketuk dengan tak sabar. Diliriknya jam yang menempel di dinding kamar Lia. Sudah menunjukkan hampir pukul lima sore.
Neeta menyeka kedua ekor matanya kemudian beranjak menuju pintu utama. Sebelum membuka pintu tersebut. Neeta memilih untuk mengintip di balik jendela terlebih dahulu.
“Bu Rosma,” ucap Neeta sesaat membuka pintu.
Bu Rosma adalah tetangga Neeta. Seorang janda beranak dua yang wajahnya sangat cantik jelita meski usianya sudah tak lagi muda. Hubungannya dengan Lia tak terlalu bagus. Alasannya jelas, karena Lia sering mengatai Rosma sebagai janda murahan karena beberapa pria yang sering datang ke rumahnya.
“Ada apa, Bu?” tanya Neeta dengan suara sopan. Meskipun Rosma sangat membenci Lia, namun dia sama sekali tidak membenci Neeta. Malah dia menyukai Neeta karena menurutnya Neeta adalah wanita yang sopan.
“Kamu kenapa menangis? Pasti karena wanita kurang ajar itu ya?” Rosma berasumsi. Sebenarnya kedatangan dia ke mari untuk mencari Lia. Wanita kurang ajar itu sudah menyebarkan sebuah gosip yang tak benar tentang dirinya di grup ibu-ibu komplek di sini.
“Bu Rosma ke mari ada keperluan apa?” Neeta tak menjawab pertanyaan yang baru saja Rosma lontarkan. Dia tetap bersikukuh menanyakan maksud kedatangan tetangganya itu ke mari.
“Ah, aku mau cari Lia. Apa dia ada di rumah?” Kali ini nada Rosma langsung berubah. Begitupun dengan raut wajahnya yang mendadak tak bersahabat lagi.
“Kak Lia nggak ada, Bu. Dia pergi....” Belum sempat Neeta merampungkan kalimatnya, kedatangan dua orang wanita seumuran Lia berhasil mengalihkan pikirannya.
Neeta tidak pernah melihat kedua wanita ini. Siapa mereka dan ada urusan apa mereka datang ke mari. Jelas kedua orang itu bukan kenalan ataupun rekannya di kantor. Apa kedua wanita itu adalah temannya Lia? Neeta sibuk memikirkan itu dalam kepalanya.
“Apa benar ini rumahnya Lia?” Salah satu dari kedua wanita yang baru saja datang bertanya.
“Benar. Ada apa?” tanya Neeta sekaligus membenarkan jika rumah ini adalah kediaman Lia, kakaknya.
“Lia-nya ada? Bisa panggilkan dia ke mari sekarang? Kami ingin bicara.” Kali ini Wanita berkaos warna merah yang bersuara. Ada kesamaan antara ketiga orang yang baru saja datang sore ini, yaitu mereka sama-sama mencari Lia dengan ekspresi yang tak menunjukkan kesenangan sama sekali.
Masalah apa lagi ini, Tuhan?
“Kak Lia nggak ada. Dia sudah pergi.” Kedua mata Neeta terasa panas, jantungnya seakan dihujam oleh sesuatu karena dalam kepalanya terus menduga bahwa Lia pasti menyebabkan banyak masalah di luar sana.
“Pergi? Ke mana? Bisa-bisanya dia pergi setelah membawa kabur uang kami.” Wanita berkaos merah kembali bersuara. Dia nampak meradang kali ini.
“Bawa kabur uang kalian?” Neeta membeo dengan bibir yang bergetar ketakutan. Kenapa Lia menyebabkan begitu banyak masalah?
“Iya! Kamu nggak salah dengar! Dia bawa kabur uang kami. Sepuluh juta!” Wanita berambut pendek menjawab. Ada penekanan yang penuh dalam kalimatnya. Dia kesal setengah mati saat mendapati Lia membawa kabur uangnya.
Neeta memejamkan kedua matanya. Setelah meminjam uang kepada rentenir sebanyak sembilan ratus juta. Ternyata Lia juga membawa kabur uang orang lain. Ada berapa banyak orang yang menjadi korbannya sekarang? Sebanyak apa kerugian yang Lia timbulkan bersama dengan Danial?
“Tapi, Mbak. Kak Lia beneran sudah pergi. Kamarnya kosong saat aku memeriksanya sore ini.” Air mata jatuh merembes dari pelupuk mata Neeta. Suaranya bahkan semakin bergetar karena dia merasa sangat kalut.
“Kalau begitu. Kamu saja yang bayarkan hutangnya. Kamu keluarga Lia, kan?”
Demi Tuhan! Neeta tidak memiliki uang sepuluh juta di tangannya. Dia hanya memiliki uang setengah dari gajinya sekarang. Itu saja.
“Maaf, Mbak. Aku nggak punya uang sebanyak itu. Aku sama sekali nggak keberatan untuk bayar kalau aku emang punya uang. Tapi, aku bener-bener nggak punya uang sebanyak itu, Mbak.” Neeta sampai menekankan bahwa dia tidak punya uang sebanyak dua kali. Namun kedua wanita itu terus bersikukuh meminta Neeta membayarkan hutang Lia kepada mereka.
“Mbak, tolong pengertiannya. Saya bahkan nggak merasakan sedikit pun dari uang itu. Saya beneran nggak punya uang.” Neeta sampai menempelkan kedua tangannya satu sama lain. Dia benar-benar memohon kepada dua wanita yang bahkan berteriak kepadanya itu.
Melihat Neeta diteriaki dan dimaki seperti itu. Menggerakkan hati Rosma untuk membantunya. Dia tahu Neeta adalah wanita yang lembut. Selama ini dia tidak pernah mendengar Neeta berteriak. Wanita berusia 28 tahun itu selalu baik dan ramah kepada semua tetangganya.
“Heh, Mbak! Dia kan sudah bilang nggak punya duit. Kenapa kalian bersikeras memintanya untuk membayar hutang yang bahkan bukan dia yang melakukannya? Sana! Cari Lia dan ambil duit kalian sepuluh juta itu sama dia! Kalian datang ke komplek orang malah bawa keributan! Nggak sopan!”
***
“Diminum dulu, Neeta. Dan berhenti menangis.” Rosma menyodorkan segelas air putih dan memberikannya kepada Neeta.
“Terima kasih, Bu.” Neeta menerima gelas air putih yang Rosma berikan dengan gemetar. Dia masih syok dengan kejadian yang baru saja menimpanya tadi.
Masalah terus datang bertubi-tubi. Dan tenggat waktu dari para rentenir hari itu hanya tinggal beberapa hari lagi. Neeta benar-benar harus merelakan rumah ini sekarang. Dia bahkan tidak memiliki waktu untuk mencari pekerjaan baru lagi karena semua masalah yang Lia timbulkan ini.
“Sebenarnya apa sih yang terjadi sama kamu dan Lia? Waktu itu saya juga melihat ada beberapa pria bertatto ke rumah kalian. Mereka itu rentenir, kan?” Rosma membuka suaranya lagi. Dia tahu ada yang tidak beres dengan wanita bernama Neeta ini. Dia yakin Neeta pasti sedang berada dalam masalah.
Neeta hanya mampu menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Toh, Rosma juga tidak akan mungkin mau membantunya meski Neeta bercerita apa yang menimpa dirinya. Yang ada, Rosma pasti akan menyebarkan berita ini kepada ibu-ibu komplek lainnya. Bagaimanapun Neeta tidak ingin Lia menjadi bahan gunjingan.
Seharusnya biarkan saja seperti itu. Sikap Lia kepada Neeta sudah keterlaluan. Biarkan saja dia menjadi bahan gunjingan semua orang. Tapi kembali lagi, bagi Neeta, Lia adalah satu-satunya saudara terdekat yang dia miliki. Sejahat apa pun dia kepada Neeta, tetap saja Lia adalah saudaranya. Neeta hanya memiliki Lia di dunia ini.
“Ya sudah, kalau kamu nggak mau cerita. Ngomong-ngomong saya pamit dulu ya. Kamu nggak papa kan saya tinggal sendirian?” tanya Rosma. Neeta mengangguk.
Sepeninggal Rosma kembali ke rumahnya. Neeta kembali sendirian di rumah yang terasa kosong ini. Neeta menatap foto keluarga yang menempel di dinding ruang tamu. Dan sontak membuatnya kembali emosional dan menangis sesenggukan.
Dalam tangisnya, Neeta tiba-tiba teringat Bu Minah. Neeta pun meraih ponselnya kemudian menghubungi wanita berusia 50 tahun itu. Tidak sampai beberapa detik, panggilan Neeta bersama Bu Minah langsung tersambung.
“Halo?” sapa Bu Minah dengan suara lembutnya.
“Bu....” balas Neeta dengan suara bergetar sebab menahan tangis.
“Non Neeta. Ada apa, Non? Kenapa menangis?” Hanya mendengar dari suaranya saja, Bu Minah sudah tahu jika Neeta sedang menahan tangis sekarang.
Seketika tangis Neeta pun pecah. Dia tak kuasa saat Bu Minah bertanya seperti itu. Neeta pun menceritakan tentang semuanya kepada Bu Minah. Tak ayal, wanita berusia 50 tahun itu merasa sangat syok dan tidak menyangka jika Lia akan separah itu.
“Neeta nggak tahu harus ke mana, Bu. Neeta nggak ada tujuan lagi.” Wanita berparas cantik itu melirih pilu.
Di seberang telepon, Bu Minah yang sedang berada di depan meja makan lantas terduduk lemas di atas kursi makan. Dia tak bisa membayangkan betapa kacaunya Neeta sekarang. Bagi Bu Minah, Neeta sama seperti anaknya sendiri. Dulu, saat orangtua Neeta masih berjaya, Bu Minah sempat bekerja menjadi asisten rumah tangga untuk mereka selama bertahun-tahun. Meski pada akhirnya Bu Minah harus diberhentikan karena keluarganya tak lagi berjaya, tetapi hubungan Neeta dan Bu Minah masih sangat baik hingga sekarang.
“Non Neeta boleh ke sini, ke rumah Bu Minah. Jangan menangis dan jangan merasa sendirian. Ada Bu Minah yang akan selalu ada untuk Non Neeta,” kata wanita berusia 50 tahun itu.