Alea tertidur setelah kelelahan menangis. Perempuan itu meringkuk di pembaringan dengan selimut yang menutupi hampir seluruh tubuhnya.
Sesekali masih terdengar deru napasnya yang masih sesenggukan. Alea menumpahkan seluruh tangisnya. Dia berjanji pada dirinya sendiri jika setelah hari ini, besok dan seterusnya dia tidak akan menangis lagi.
Alea tidak akan lagi menangisi lelaki yang tidak pernah menginginkannya. Lelaki yang telah berjanji akan membahagiakannya hanya demi menuruti perintah kedua orang tua.
Jadi, selama ini apa yang dia lakukan hanyalah sebuah perintah? Termasuk malam-malam panjang yang mereka lalui, apa juga atas perintah kedua orang tuanya?
Mengingat perhatian dan sikap Bian yang begitu bertanggung jawab selama dua tahun pernikahan mereka, Alea tersenyum perih.
Jika bukan karena kedua orang tuanya, mungkinkah Bian akan bersikap baik padanya?
***
Bian pulang ke rumah saat waktu menunjukkan pukul 02.00 pagi. Lelaki itu baru bisa kembali setelah Amara tertidur pulas. Perempuan yang sedang hamil muda itu tidak mau ditinggal. Tidak seperti biasanya yang sabar menunggunya datang.
Semenjak hamil, Amara memang sedikit manja. Perempuan itu ingin Bian selalu menemaninya. Itulah kenapa akhir-akhir ini Bian selalu beralasan keluar kota pada Alea. Dia tidak ingin wanita itu tahu jika sebenarnya dia menemui Amara, bukannya keluar kota seperti yang Alea tahu selama ini.
Namun, seperti kata pepatah yang mengatakan, serapat-rapatnya kita menyimpan bangkai, suatu saat pasti akan ketahuan juga.
Bian sungguh tidak menyangka jika hari ini kebohongannya akan terbongkar di depan istrinya. Dia tidak tahu jika Alea mengikutinya sehingga semua rahasia yang selama dua tahun ini tersimpan rapat terbongkar.
Agar masalah tidak semakin membesar, Bian terpaksa mengungkap tentang pernikahannya dengan Amara. Kekasih yang dia nikahi seminggu setelah dia menikahi Alea.
Bian tahu, hal ini pasti sangat menyakitkan untuk Alea. Saat melihat kemarahan wanita itu saat di rumah Amara tadi pagi, Bian bisa melihat betapa kecewanya Alea.
Sebenarnya Bian ingin menemani Alea sambil menjelaskan pada wanita itu kalau sikap dan perhatiannya pada Alea tidak akan berubah meskipun ada Amara di sisinya.
Buktinya, selama dua tahun ini Bian bisa bersikap dengan adil. Baik secara nafkah lahir dan batin, juga adil membagi waktu meskipun dia harus berbohong pada Alea saat ingin menginap di rumah Amara.
Alasan lembur dan keluar kota itu adalah kebohongan Bian pada Alea saat lelaki itu ingin membagi waktu kebersamaannya dengan Amara.
Tadi pagi, Bian memilih meninggalkan Alea yang sedang hancur karena pengkhianatan yang dilakukan olehnya. Lelaki itu kembali lagi ke rumah Amara untuk menunaikan janjinya pada perempuan itu untuk mengantarkan ke rumah sakit. Mereka berdua sudah ada janji temu dengan dokter yang memeriksa kehamilan Amara.
Setelah pulang dari rumah sakit, Amara tidak mau ditinggal. Wanita itu terus bergelayut manja. Mengatakan jika sang jabang bayi dalam kandungannya itu sedang ingin ditemani oleh ayahnya.
Selain itu, Amara juga mengidam beberapa makanan sehingga Bian mau tidak mau pun mengikuti kemauan istri tercintanya dengan senang hati.
Saat malam tiba, Amara juga ingin Bian menemaninya tidur. Wanita itu menagih jatah waktu yang seharusnya untuk dia. Lagi-lagi, Bian tak mampu menolaknya. Apalagi, saat Amara kemudian merayunya hingga akhirnya mereka beradu hasr**at dan saling memua**skan di atas ran**jang.
Amara yang kelelahan langsung terlelap, sementara Bian yang sedari tadi siang pikirannya tertuju pada Alea, langsung bangkit dari ranjang menuju kamar mandi.
Bian segera membersihkan tubuhnya di kamar mandi. Malam itu juga, dia memutuskan pulang tanpa sepengetahuan Amara yang tertidur pulas setelah permainan panas mereka.
Ada rasa khawatir yang terselip di hati Bian. Meskipun dia tidak mencintai Alea, tetapi istrinya itu adalah perempuan baik. Selama dua tahun menjadi istrinya, Alea tidak pernah menyusahkan. Wanita itu begitu penurut dan sangat menghormatinya sebagai seorang suami.
Bian bisa membayangkan bagaimana hancurnya Alea saat mengetahui pengkhianatannya.
Akan tetapi, apa Bian menyesal karena telah mengkhianati Alea?
Tentu saja tidak!
Seperti yang dia ucapkan pada Alea tadi pagi, jika Alea hanyalah wanita yang dipilih oleh sang ibu untuk menjadi istrinya. Tidak ada perasaan apa pun yang dia rasakan untuk Alea selain tanggung jawab atas perintah kedua orang tuanya.
Meskipun dua tahun terlewati, nyatanya hanya Amara lah perempuan yang menetap dalam hatinya hingga kini.
Bian membuka pintu kamarnya. Netranya langsung tertuju pada tubuh istrinya yang berbalut selimut hampir menutupi seluruh tubuhnya. Bian menghela napas lega saat mendengar deru napas Alea yang teratur.
Istrinya ternyata sudah tertidur pulas. Tidak seperti dugaannya yang mengira Alea pasti sedang menangisinya.
Bian jadi teringat kejadian tadi pagi. Perempuan itu bahkan tidak menangis di hadapannya meskipun wajahnya terlihat kecewa.
Bian mengganti pakaiannya dengan pakaian tidur. Lelaki itu kemudian naik ke atas ranjang. Meraih tubuh Alea dan mendekapnya dari belakang. Mencium wangi aroma tubuh wanita itu yang selalu menenangkan.
Tidak mencintai, tetapi selalu nyaman saat memeluknya. Bian bahkan tidak menyadari jika dia selalu bergantung pada tubuh Alea saat dirinya lelah dengan Amara.
Ketika dia dan Amara bertengkar, Bian selalu pulang ke rumah kemudian merebahkan tubuhnya dalam pelukan Alea.
Sayang sekali, Bian tidak pernah menyadari jika seseorang yang dia klaim tidak dicintainya itu adalah tempat ternyaman saat dirinya merasa lelah.
Tidak butuh lama, Bian pun terlelap sambil mendekap tubuh istrinya.
***
Alea menggeliat. Perempuan itu membuka matanya yang terasa berat. Efek menangis seharian sehingga membuat kedua matanya yang kini terlihat membengkak sulit sekali untuk terbuka.
Perempuan itu sedikit kaget saat merasakan deru napas seseorang yang menerpa kulit lehernya. Kedua matanya melirik ke arah tangan yang kini melingkar pada perutnya.
"Kenapa dia pulang? Bukankah seharusnya dia tidur di rumah wanita itu?"
Dengan gerakan cepat, Alea menyingkirkan tangan Bian. Jika biasanya, Alea akan kembali meringkuk dalam pelukan lelaki itu mencari kehangatan. Namun, kali ini rasanya sangat berbeda. Alea justru merasa muak saat membayangkan jika tangan yang selalu mendekapnya erat itu juga mendekap wanita lain.
"Setelah mengucapkan kata-kata menyakitkan tadi pagi, bisa-bisanya dia dengan tidak tahu malu memelukku seolah tidak terjadi apa-apa," gerutu Alea dalam hati.
Perempuan itu menatap wajah Bian yang terlihat lelah. Lelaki
itu tertidur pulas. Seketika pikiran buruk berlarian dalam kepala Alea. Hatinya berdenyut nyeri membayangkan lelaki yang dicintainya itu bercinta dengan wanita yang sama-sama berstatus sebagai istrinya.
"Setelah lelah melayani wanita itu, kamu pulang ke rumah. Selama ini aku benar-benar bodoh karena terlalu percaya padamu." Alea tersenyum getir. Perempuan itu kemudian melangkah ke kamar mandi.
Sementara Bian, lelaki itu tidak merasa terganggu sama sekali. Dia masih terlelap dalam mimpi.