OLAH RAGA PAGI

1117 Words
Setelah mandi dan melakukan kewajibannya sebagai seorang muslim, Alea bersiap keluar rumah. Dari semalam, sebelum akhirnya dia terlelap, Alea sudah menyusun rencana. Selama dua tahun ini dia sel tuhalu menjalankan kewajibannya sebagai istri yang baik. Melayani Bian dari pagi sampai malam hari. Tidak ada yang terlewat. Bahkan Alea pun memasak sendiri meskipun ada asisten rumah tangga yang bekerja di rumahnya. Alea melakukan semua itu demi baktinya pada sang suami. Dulu, sebelum ada asisten rumah tangga, Alea bahkan mengerjakan pekerjaan rumah sendiri. Beberapa bulan kemudian, karena merasa kasihan pada Alea yang kelelahan, sang ibu mertua kemudian membawa orang untuk bekerja di rumah besar itu sebagai ART. Alea sangat bersyukur karena mempunyai ayah dan ibu mertua yang baik padanya. Tidak seperti kabar yang sering dia dengar di luaran sana. Mungkin memang benar, setiap rumah tangga itu mempunyai ujian hidup masing-masing. Seperti yang sedang Alea rasakan saat ini. Dia sungguh tidak menyangka di usia pernikahannya yang baru menginjak dua tahun, dia sudah diberikan cobaan yang luar biasa. Beruntung, Alea masih ingat pada Tuhan. Kalau tidak, mungkin dia sudah berputus asa ketika mengetahui jika suaminya telah mendua. Alea memang sakit hati, tetapi dia berjanji dalam hati jika dia tidak akan terlihat lemah di hadapan suami dan madunya. Alea mematut diri di depan cermin sebelum melangkahkan kakinya keluar rumah. Alea ingin olahraga pagi. Hal yang sudah lama dia tinggalkan semenjak menikah dengan Bian. Biasanya, setiap pagi Alea sibuk membangunkan Bian. Menyiapkan pakaian lelaki itu, kemudian membantu Bi Surti memasak. Setelah itu, Alea menyiapkan sarapan pagi di meja makan sambil menunggu suaminya datang untuk sarapan bersama. Selama dua tahun, pekerjaan itu dia lakukan dengan ikhlas. Namun, sejak suaminya mengakui jika dia sudah menikah lagi, Alea merasa semua yang dia lakukan tidak ada artinya. Ketulusannya ternyata dibalas pengkhianatan. Di rumah ini, dia melayani suaminya dengan baik. Memperhatikan semua kebutuhannya. Sementara, perempuan itu tinggal menikmati hasilnya. Sungguh tidak adil! Alea menghela napas panjang. Kepalanya mendongak menahan bulir bening yang siap tumpah. Luka hatinya masih menganga dan berdarah-darah. Wajar saja jika dia menangis. Namun, saat kata-kata Bian kembali terngiang di telinganya, rasanya Alea merasa sayang untuk mengeluarkan air mata. Bian sangat kejam dan tidak berperasaan. Lelaki seperti dia tidak pantas untuk ditangisi. Alea masih muda. Usianya bahkan belum genap dua puluh lima tahun. Jika dia bercerai dari Bian, Alea yakin, masih banyak lelaki di luaran sana yang mau dengannya. Bercerai? Tentu saja! Setelah ini, Alea akan memikirkan cara bagaimana agar dia bisa bercerai dengan Bian. Tiba-tiba Alea teringat dengan kata-kata Bian yang mengatakan agar dia tetap menjadi istri penurut seperti biasanya. Alea tertawa kecil mengingat ucapan suaminya. Jika kemarin dia menangis saat Bian mengucapkan itu, kini rasanya Alea ingin sekali tertawa mengingat kata-kata suaminya. "Dia pikir, aku ini wanita bodoh dan tidak punya perasaan? Mana ada istri yang masih mau menurut setelah mengetahui suaminya membawa madu untuknya?" batin Alea. Saat ini dia sedang berlari keliling kompleks. "Mungkin benar, ada wanita yang rela dimadu dan ikhlas jika suaminya menikah lagi. Tapi wanita itu jelas bukanlah aku. Aku tidak bisa seikhlas itu berbagi cinta dengan wanita lain. Apalagi, saat aku mengetahui jika suamiku ternyata tidak pernah mencintaiku." Alea mengusap bulir bening yang menetes dengan sendirinya. Wanita itu berlari sambil menangis. Ternyata tidak semudah kata-kata. Alea pikir dia kuat. Akan tetapi, saat mengingat betapa kejamnya Bian, hatinya teriris pedih. Kenapa lelaki itu begitu tega membohonginya? Bertahun-tahun dia mencintai Bian. Berharap ketulusannya akan membuat lelaki itu membuka hati dan membalas cintanya. Namun, tanpa sepengetahuannya Bian ternyata diam-diam menikah lagi dengan kekasihnya. Kekasih yang tidak pernah berstatus mantan karena Bian tidak pernah memutuskan hubungan meskipun lelaki itu menikahinya. "Bodohnya aku ...." Alea mengusap wajahnya yang penuh dengan air mata saat mengingat kata-kata yang keluar dari mulut Bian. "Aku sudah menikahinya seminggu setelah kita menikah." Alea berhenti berlari. Perempuan itu duduk di bangku taman. Deru nafasnya yang memburu diiringi isak tangis. "Kenapa rasanya sesakit ini?" Alea menepuk-nepuk dadanya yang terasa sesak. Air matanya masih terus mengalir. Ternyata, Alea tidak sekuat yang dibayangkan. *** Setelah lari pagi, Alea memutuskan untuk bersantai di bangku taman. Mulai pagi ini, Alea akan menghindari suaminya. Sebisa mungkin, dia akan mengurangi interaksi dengan Bian. Meskipun itu mungkin karena hampir setiap hari dia akan bertemu dengan lelaki itu. Terserah mau dianggap istri durhaka atau apa. Alea hanya sedang mencoba menyembuhkan luka. Bertemu dengan Bian hanya menambah luka dalam hatinya semakin parah. "Semangat Alea!" *** Bian membuka matanya. Lelaki itu meraih ponsel di samping nakas. Kedua matanya yang masih mengantuk seketika membola saat melihat jam pada ponselnya. Jam enam pagi! "Alea! Kenapa kamu tak membangunkan aku?" teriak Bian. Lelaki itu dengan langkah cepat langsung menuju kamar mandi. Bisa-bisanya dia kesiangan. Biasanya Alea membangunkannya saat subuh menjelang. Tetapi kenapa hari ini dia sampai kesiangan? "Apa Alea tidak membangunkan aku?" monolog Bian. Biasanya jam enam pagi Bian sudah duduk di meja makan untuk sarapan. Tetapi hari ini, jam enam pagi dia baru bangun tidur. Bian memang susah untuk bangun pagi. Kalau dulu, sebelum menikah dengan Alea, lelaki itu selalu memasang alarm dengan volume kencang. Namun, setelah menikah dengan Alea, kebiasaan itu berhenti karena hampir setiap adzan subuh Alea selalu membangunkannya untuk salat subuh bersama. "Alea!" Saat keluar dari kamar mandi, Bian kembali berteriak memanggil istrinya. Bian merasa heran karena Alea tidak datang meskipun dia berteriak memanggilnya. Tidak seperti biasanya Alea bersikap seperti itu. "Mana bajuku, Al? Kenapa kamu belum menyiapkannya?" Bian membuka pintu kamar lalu berteriak kencang hingga membuat Bi Surti yang berada di dapur merasa kaget. "Alea!" teriaknya lagi. Lelaki itu mulai kesal. Bi Surti mematikan kompor, kemudian dengan tergesa-gesa berlari ke arah suara. "Non Alea pergi olahraga, Den. Sudah dari sehabis subuh tadi Non Alea berangkat." Bi Surti berdiri di depan pintu kamar, sementara Bian melongok dari pintu kamar karena saat ini dia hanya memakai handuk. "Olahraga pagi-pagi?" Bian mengerutkan kening. "Iya, Den." Bi Surti menunduk. Perempuan itu berjingkat kaget saat Bian tiba-tiba membanting pintu. Lelaki itu semakin kesal mendengar ucapan Bi Surti. "Apa-apaan dia? Olahraga pagi sampai lupa membangunkan aku terlebih dahulu? Dia bahkan tidak menyiapkan bajuku." Bian menggerutu. Lelaki itu membuka lemari pakaian. Memilih pakaian dengan asal karena terburu-buru. Kekesalannya semakin bertambah saat dia tidak menemukan dasi yang cocok dengan kemeja yang sudah terlanjur dipakainya. Bian melihat ke arah jam tangannya. Hampir jam tujuh pagi. "Sial! Gara-gara Alea semua jadi berantakan," umpat Bian sambil mencari kaos kaki yang belum juga ditemukan. Isi lemari yang tadinya sangat rapi, kini menjadi berantakan. Lelaki yang terbiasa dilayani itu merasa kelimpungan hanya karena Alea tidak menyiapkan pakaian kerjanya. Bian terburu-buru turun setelah mencari tas di ruang kerjanya. "Alea benar-benar keterlaluan! Lagipula, sejak kapan dia lebih mementingkan olahraga dibanding mengurus suami?" Bian terus menggerutu dalam hati. Lelaki itu menuju meja makan. Menatap makanan yang dihidangkan oleh Bi Surti. "Apa Alea juga tidak memasak?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD