Trauma

1034 Words
SEBELUM BERPISAH - Trauma Setakut itu dia? Dengan jelas Hendy melihat wajah pucat dan mata berembun milik istrinya. Ia yakin ini bukan ketakutan biasa. Pasti ada sesuatu yang menyebabkannya. "El, kamu tidak harus minum obatnya. Yang penting kamu periksa. Biar tahu separah apa sakitmu." Hendy bicara dengan nada lembut. Saat itu mereka sudah duduk di ruang tunggu tempat praktek seorang dokter umum. Hendy bisa merekomendasikan obat untuk istrinya. Namun melihat kondisi Elvira seperti itu, lebih baik dibawa ke ahlinya. Sudah terlanjur siang mereka berangkat tadi, antrian banyak dan mereka harus sabar menunggu. "Bentar, aku belikan roti dan air minum." Hendy bangkit dari duduknya dan menyeberang jalan ke toko depan sana. Ketika Hendy pergi, ponsel Elvira berdering. Hasna menelepon. Dia memang sepeduli itu pada adik iparnya. "Halo, Assalamu'alaikum, Mbak Hasna." "Wa'alaikumsalam. Kamu di rumah?" "Aku lagi antri periksa. Maagku kambuh, Mbak." "Ya Allah. Sejak kapan? Pasti asam lambung itu, El. Kamu pasti sering begadang dan banyak pikiran," tebak Maya yang sudah begitu hafal dengan kebiasaan Elvira. "Kamu ada masalah? Kamu dan Hendy baik-baik saja, kan?" "Iya. Mungkin karena aku terlalu capek, makanya asam lambungku kambuh. Maaf kalau udah lama nggak nelepon Mbak Hasna. Kabar Mbak, Mas Arman, dan anak-anak baik-baik saja kan?" "Alhamdulillah, sehat. Siang ini kami mau ke rumah ayah. Nanti mbak mampir ke rumahmu." "Hu um," jawab Elvira pelan. Dalam kondisi seperti ini, dia belum menginginkan orang lain tahu kondisi rumah tangganya. Baru dua bulan. Ia tidak ingin membuat kekacauan lagi. "Ya udah. Kamu berobat dulu. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam." "Siapa yang telepon?" tanya Hendy yang begitu cepat sudah kembali di sebelahnya. "Mbak Hasna." "Makan rotinya. Dikit-dikit saja biar perutmu tidak kosong." "Makasih." Elvira menerima sebungkus roti dan sebotol air mineral. Maskernya dilepas supaya bisa minum. Hendy mengambil lagi botol saat Elvira kesulitan membuka segelnya. "Makasih." Saat air minum dikembalikan padanya. Setelah penantian yang panjang, akhirnya tiba giliran Elvira dipanggil masuk. Tanpa minta izin, Hendy ikut masuk. Seorang dokter wanita setengah baya tersenyum dan menyapa Hendy. Meski tidak akrab, mereka saling kenal. "Mbak ini istrinya, Dok?" "Ya, Dokter Eri. Ini Elvira istri saya." Elvira mengangguk dan tersenyum dibalik maskernya. Mereka tidak berbasi-basi terlalu lama karena banyak pasien yang mengantri. Hendy meminta dokter untuk memasukkan obat lewat injeksi saja, karena Elvira susah minum obat. "Nggak ada orang yang suka minum obat, Mbak Elvira. Tapi coba agak dipaksa biar lekas sembuh. Suaminya dokter loh, pasti tiap hari bau obat, kan?" Saat dilakukan pemeriksaan, Hendy tetap duduk di kursi tanpa memandang ke atas brankar. Dia menunggu sampai selesai. Tembok tak kasat mata dibangun Elvira dua hari setelah mereka sah menikah. Hendy sempat melihat rambut istrinya yang hitam pekat, panjang, dan tebal. Setelah itu Elvira menutup diri dan menjaga batasan. Dokter Eri menjelaskan sakitnya Elvira pada Hendy. Asam lambung bukan maag. Asam lambung karena asam lambung itu sendiri. Dan masih ada beberapa penjelasan lainnya. "Kalau obatnya habis, bisa kontrol lagi jika belum membaik. Tapi saya doakan sembuh sebelum obat habis." "Terima kasih, Dok." Hendy menyalami dokter Eri, begitu juga dengan Elvira. Lantas keduanya langsung pulang. Dalam perjalanan, tidak ada percakapan di antara mereka. Elvira bersandar pada jok mobil dan memejam. Masker masih menutupi sebagian wajahnya. "El, diminum obatnya. Pelan-pelan saja. Kalau sakitmu tak kunjung sembuh. Kamu mesti harus opname." Hendy bicara pelan saat mereka duduk di kursi meja makan. Dia pun harus mengontrol kesabaran, karena yang dihadapinya perempuan keras kepala yang tengah sakit. "Kalau kamu nggak bisa minum pakai air, kubelikan pisang." Elvira menggeleng. Dulu ia pernah menelan obat pakai pisang, yang ada obat itu malah ikut tergigit dan dia muntah-muntah. Elvira membuka kresek obat. Mengeluarkan satu per satu pil yang harus diminum, meski rasanya sudah mau muntah melihat obat seukuran kapsul. Hendy mengambilkan air minum. Pil kecil pertama lolos meski harus di dorong air berulang kali karena menyangkut di tenggorokan. Pil kedua dimuntahkan kembali ke atas meja. Elvira sampai berkeringat dingin. Hendy mengambil lap. "Biar kubersihkan sendiri, Mas." "Nggak apa-apa," tolak Hendy. Dia yang sudah terbiasa menghadapi pasien, mana ada jijik dengan semua itu. "Jangan, biar aku saja." Elvira mengambil paksa lap dari tangan suaminya. Kemudian membersihkan meja. Untungnya yang keluar cuma air dan pil. Sarapan tadi pagi tidak ikut dimuntahkan. "Nanti saja kuminum lagi obatnya." Elvira meraih kresek obat setelah menaruh lap di keranjang cucian dan mencuci tangan. Dia hendak ke kamar. "Kamu ingin cerita padaku? Aku yakin ini bukan hal biasa. Mungkin ada yang menyebabkan kamu trauma dengan obat dan rumah sakit?" Elvira yang hendak ke kamar, akhirnya kembali duduk. Lebih baik memang cerita saja. Daripada dituduh membuat drama. "Bertahun-tahun ibuku sakit melawan kanker. Usiaku baru sembilan tahun saat beliau benar-benar parah. Aku yang setiap hari bersamanya karena ayah sibuk di kantor dan kedua kakakku sekolah full day." Mata Elvira berkaca-kaca. "Aku yang baru sembilan tahun, melihat semuanya. Dari kesakitan, puluhan jenis obat yang harus di konsumsi, belum lagi keluar masuk rumah sakit untuk pemeriksaan dan opname. Aku selalu bersamanya karena ibu nggak ingin jauh dariku. Ayahku bilang, aku harus mendampingi. Siapa tahu dengan kehadiranku, bisa menunjang kesembuhannya. Ibu sangat menyayangiku. "Tapi ibu pergi juga." Elvira menangis. Hendy mengambilkan tisu dan duduk lebih mendekat. Elvira menarik napas panjang untuk melonggarkan dadanya. Ulu hati kian terasa perih. "Bau obat ditubuh ibu, rasanya masih tercium sampai sekarang. Setelah ibu pergi, nggak ada lagi yang mendekapku jika listrik mati. Nggak ada teman bercerita atau bermanja. Mak Imah pun sudah lelah setelah seharian mengurus rumah. Mak Imah yang sudah lama ikut kami pun, sangat kehilangan saat ibu pergi. Ayah terpukul. Walaupun beliau suka memaksakan kehendak, tapi bagiku ayah lelaki yang hebat. Nggak pernah menghadirkan wanita lain meski istrinya sakit, bahkan setelah enam belas tahun ibu tiada. Ayah memilih tetap sendirian." Hening. Hendy turut merasakan kesedihan itu. Benar. Trauma itu ada sebabnya. Cukup itu saja yang perlu Hendy tahu. Perutnya semakin perih jika ia mengingat semuanya. Tahu banyak pun percuma, sepertinya pernikahan mereka tidak akan bertahan lama. Instingnya sebagai seorang istri mengatakan, ada wanita lain di antara mereka. Diambilnya kresek obat. "Aku ke kamar dulu." "Aku mau keluar beli bubur untukmu. Jangan makan nasi dulu." Elvira masuk kamar, Hendy meraih kunci di meja. Namun ketika membuka pintu, ada mobil baru saja berhenti tepat di depan pagar rumah. "Mama." Pasti datang bersama papanya. Mungkin mereka mengira kalau Elvira benar-benar hamil. Next ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD