Aku Tahu

1057 Words
SEBELUM BERPISAH - Aku Tahu "Aku nggak hamil, Mbak. Nggak usah diperiksa. Beneran aku nggak hamil. Maagku memang kambuh sejak semalam." Elvira keukeh tidak mau. Herlina tercekat di ambang pintu. Elvira hamil? Ada bias kecewa yang terlihat jelas di wajahnya. Yang ia dengar hanya kata 'hamil' saja. "Nggak ada salahnya diperiksa, El. Banyak perempuan mengira kembung biasa, ternyata sedang hamil." Ema keukeh dengan pendapatnya. Sedangkan Elvira sudah tak berdaya membantah. Tubuhnya terasa lemas. Terserah mereka bicara apa. Sedangkan Hendy sendiri juga bingung. Mana mungkin istrinya hamil? "Kalau gitu, besok kamu ikut Hendy ke rumah sakit untuk periksa. Siapa tahu lagi isi. Gejala orang hamil itu macam-macam, El. Seperti yang dibilang Ema tadi." Bu Putri membimbing sang menantu masuk ke salah satu kamar di rumah putrinya. Hendy juga ikut masuk. Ema mengajak Herlina kembali ke depan. "Kamu istirahat di sini." Elvira dibimbing untuk berbaring. Sang mama mertua terlalu yakin kalau menantunya tengah berbadan dua. Sementara Elvira lebih dari yakin kalau dirinya tidak hamil. "Mama keluar dulu, ya?" "Makasih, Ma." Sebentar kemudian Hendy pamitan keluar. Masuk ke kamar lagi dan mengajak Elvira pulang. ***L*** "Kamu nggak minum obat? Di kotak obat ada obat maag." Hendy bicara saat mereka sampai di rumah. Berhadapan dengan sang istri yang sedang duduk minum di ruang makan. Elvira menggeleng. "Aku bisa memberimu obat anti nyeri. Untuk mengurangi sakitmu." Elvira kembali menggeleng. Iya kalau yang dikasihnya nanti obat anti nyeri saja, bagaimana kalau ia dibuat tak sadarkan diri? "Selain tidak bisa minum obat, phobia dengan gelap, apalagi yang tidak kuketahui tentangmu. Sampai orang mengira kamu hamil padahal aku tidak pernah menyentuhmu. Atau kamu memang beneran hamil?" "Apa?" Elvira malah terkejut dengan pertanyaan suaminya. Nyaris dia tersedak oleh air yang tengah diminumnya. "Mas menuduhku hamil. Hamil dengan siapa?" "Aku tahu kamu kabur seminggu sebelum pernikahan kita." Elvira terperanjat bukan main sampai napasnya serasa tercekik. Jadi Hendy tahu. Dia tahu dari mana kalau dirinya sempat minggat dari rumah. "Kamu pulang tiga hari sebelum hari H. Kalau kamu tidak ingin menikah denganku, kenapa tidak bilang sejak awal." Tubuh Elvira gemetar. "Dari mana Mas tahu?" "Tentu saja aku mencari tahu siapa gadis yang akan menjadi calon istriku." Hening. Elvira tidak menyangka sama sekali Hendy tahu semuanya. Dipikir keluarganya saja yang tahu. Lalu siapa yang membocorkan pada pria itu. Ayahnya tidak mungkin. Kakak-kakaknya juga tidak mungkin. Mereka pasti tidak ingin mempermalukan keluarga sendiri. Ranty, jelas tidak. Dia teman terbaik yang Elvira punya. Lagi pula Ranty kenal dengan Hendy pun setelah Elvira menikah dengan lelaki itu. Lalu siapa? Apa Hendy membayar seseorang untuk menyelidikinya? "Setelah Mas tahu aku kabur, kenapa Mas Hendy tetap mau menikah denganku?" "Kamu pikir mudah membatalkan pernikahan yang hanya menunggu jam. Mempermalukan seluruh keluargaku juga keluargamu. Undangan tersebar sekian ribu. Persiapan sudah sempurna. Lalu batal begitu saja. "Bisa saja aku duduk di pelaminan tanpa kamu. Yang malu bukan aku, tapi keluargamu. Bahkan aku bisa menghadirkan perempuan lain sebagai pengganti. Meski kamu menolakku, masih ada yang sudi denganku, Elvira." Siapa? Apa dokter kandungan itu? Namun Elvira tidak berani bersuara. Tubuhnya terasa kaku dan panas dingin. Air mata mengalir tak terbendung. "Orang tuaku, keluargaku, tidak tahu kalau kamu pernah kabur. Dan aku menutup rapat-rapat rahasia ini dari mereka." "Aku minta maaf," kata Elvira lirih dan serak. Hendy masih memandang dengan sorot tajam. Terlihat betapa dia berusaha menekan emosi. "Besok pagi kuantar kamu periksa." Suara Hendy melunak. "Nggak usah." "Bagaimana bisa sembuh kalau tidak diobati. Jangan sampai keluargamu menuduhku tidak peduli padamu." "Mereka nggak akan menuduh begitu. Karena mereka tahu bagaimana aku." "Terserah kamu." Hendy bangkit dari duduknya dan masuk kamar. Sedangkan Elvira masih diam di tempat karena tubuhnya terasa begitu lemas. Kenyataan yang Hendy ketahui membuatnya merasa malu. Juga kecewa karena perbincangan soal dugaan kehamilan. Bisa-bisanya Hendy punya pikiran seperti itu. Elvira masuk kamar. Semalaman tidak bisa tidur karena ulu hatinya terasa perih. Pikirannya juga semrawut. Andai dirinya tidak pulang, apa dokter Herlina yang akan menggantikannya menjadi pengantin wanita? Apa sebenarnya hubungan Hendy dengan wanita itu? Terlihat keluarga mertuanya juga sangat ramah pada Herlina. Tapi kenapa mereka menjodohkan Hendy dengannya. Yang jelas memiliki profesi berbeda. Sepanjang malam, Elvira hanya bisa meringkuk. Karena itu posisi paling nyaman untuk menahan rasa sakitnya. Juga menahan sebak dalam d**a. Selain pada Ranty, pada siapa lagi ia bisa membagi laranya. Hasna? Tidak. Elvira sudah banyak menyusahkan kakak iparnya. ***L*** Jam tujuh pagi Hendy baru keluar kamar. Sepi. Kamar Elvira masih tertutup rapat. Saat ke ruang makan untuk mengambil air minum, ia melihat makanan sudah terhidang di atas meja. Masih hangat. Berarti baru matang. Dari jendela kaca ruang makan, ia memandang keluar. Biasanya kalau hari Sabtu-Minggu begini, Elvira sibuk merawat tanaman bunganya. Namun wanita itu tidak ada di sana. Hendy melangkah ke kamar sang istri. Mengetuk berulangkali tapi tidak ada sahutan. Diputarnya handel pintu. Kamarnya kosong. Ke mana dia? Baru saja kembali menutup pintu, Hendy mendengar suara motor memasuki garasi. Tidak lama kemudian, Elvira masuk menenteng belanjaan. Dia hanya memandang sekilas lelaki yang berdiri di depan pintu kamarnya. "Kenapa keluar, kalau kamu masih sakit?" "Aku sudah nggak apa-apa." "Sepucat itu kamu bilang nggak apa-apa." Elvira memasukkan sayuran ke dalam kulkas. Bumbu-bumbuan disimpan di kitchen set. Dia tidak mengindahkan ucapan suaminya. "Kamu pergi dengan sukarela atau perlu kupaksa. Mama tadi malam bolak-balik nelepon tanya keadaanmu. Kamu nggak menghargai bagaimana orang tua peduli padamu." "Maaf, kalau aku menyusahkanmu, Mas," jawab Elvira dengan suara serak. Tangisnya sudah sampai di tenggorokan. "Kalau kamu nggak bisa minum obat, bisa lewat injeksi kan? Yang penting periksa dulu separah apa sakitmu. Apa kamu takut ketahuan kalau sedang hamil?" "Aku nggak hamil. Aku nggak akan semurah itu," jawaban Elvira penuh emosi. "Baiklah. Aku mau ganti baju dulu." Elvira mencuci tangan kemudian masuk kamar. Wajah pucatnya terlihat murka karena tuduhan hamil tadi. Hendy memandangi hingga tubuh itu hilang masuk kamar. Akhirnya dia mau pergi juga. Ternyata lebih gampang membujuk keponakannya minum obat daripada menyuruh Elvira. Ternyata kata 'hamil' sungguh mujarab untuk memaksa istrinya. Beberapa menit kemudian, Elvira keluar kamar. "Aku sudah siap." "Sarapan dulu." "Aku sudah sarapan." "Kalau gitu tunggu sebentar. Aku habiskan sarapanku." Sambil makan, Hendy memperhatikan perempuan yang duduk di sofa sambil manyun. Elvira kemudian memakai masker. Tampaknya bau obat sudah menghantui penciumannya. Lima menit kemudian Hendy menghampiri dan mengambil kunci mobil. Dia tidak perlu ganti baju. Cukup celana pendek dan kaus itu saja. "Kita berangkat sekarang." "Kalau nanti aku diperiksa, Mas nggak usah ikut masuk." "Kenapa? Aku kan suamimu." Next ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD