Sebelum Berpisah
Part 4 Ketakutan
"Aku harus segera berangkat, El. Kamu bagaimana?"
"Nggak apa-apa. Aku berani." Elvira menjawab tanpa memandang sang suami. Sumpah, sebenarnya dia sangat takut dan cemas.
"Kamu mau ikut ke rumah sakit?"
"Nggak." Dia tidak mungkin pergi ke tempat yang paling tidak disukainya dan menunggu berjam-jam sampai Hendy keluar dari kamar operasi. Walaupun di rumah sendiri juga ketakutan. Lihat, lilin pun sudah mau habis.
Hendy termangu sejenak. Dia tidak bisa menunggu lama. Tim ruang operasi sedang menunggunya. Lelaki itu masuk ke kamar untuk mengambil jaket.
"Mas, bisa minta tolong. Antar aku sebentar ke kamar mandi. Setelah itu aku mau masuk kamar dan tidur."
"Pakai kamar mandiku. Aku benar-benar sedang ditunggu, El."
"Oh, ya sudah. Mas, pergi saja." Elvira mengambil asbak yang ada lilinnya. Namun ia memekik karena jarinya kepanasan. Asbak dari logam itu tentu saja panas kena lelehan lilin.
"Kenapa?" Hendy kaget dan mendekat.
"Nggak." Elvira memakai ujung jilbabnya sebagai lampin untuk mengangkat asbak. Lantas membawanya masuk ke kamar.
"El, pakai kamar mandiku. Jangan ditahan." Hendy mengambil kunci mobil lantas pergi.
Perut Elvira melilit. Dia tadi baru makan sedikit, pedas pula. Sekarang terasa ingin ke toilet. Namun tidak berani keluar. Rasa takut lebih mendominasi dan memilih menahan rasa sakitnya.
Elvira meringkuk dan tubuhnya berkeringat. Menahan sakit sekaligus gerah.
Walaupun Hendy menyuruhnya ke toilet yang ada di kamarnya, tapi Elvira tidak mau. Selama dua bulan ini, masuk ke kamar suaminya bisa dihitung dengan jari. Keluarga kalau datang tidak ada yang menginap. Jadi mereka aman tidur berasingan.
Wanita itu menangis dan mendesis lirih menahan sakit. Sedih juga. Entah, ini pernikahan seperti apa. Sejauh ini, Hendy pun tidak pernah mengajaknya bicara, mau dibawa ke mana pernikahan mereka.
Disuruh mengantarkan ke toilet sebentar saja, dia tidak bisa. Pasien memang lebih penting daripada istrinya yang tidak jelas ini. Elvira terisak. Apa dia tidak bisa merasakan setakut apa istrinya? Bahkan setelah satu jam kemudian, sang suami tidak menelepon untuk menanyakan keadaannya.
Ingin menghubungi Ranty, baterei ponsel minim sekali. Lagi pula temannya itu pasti sudah tidur. Dia kalau dibangunkan mendadak, migrainnya kumat.
Setelah beberapa jam hanya bisa membolak-balikkan badan, akhirnya Elvira terlelap kelelahan. Terbangun saat kembali merasakan perutnya sangat sakit dan suasana gelap gulita, karena lilin sudah habis. Kali ini tidak bisa ditahannya lagi. Dia memang harus ke belakang segera. Dia memakai kamar mandi di belakang, karena di kamarnya tidak ada.
Dinyalakan senter ponsel yang batreinya tinggal 25%. Elvira nekat. Dalam kepalanya berkelindan berbagai bayangan menakutkan. Di balik kegelapan seolah ada yang mengintai dengan tatapan tajamnya. Dalam hati terus membaca doa tiada henti. Tubuhnya sampai gemetaran dan merinding.
Setelah dari kamar mandi pun, perutnya masih tidak nyaman karena sudah terlanjur sakit. Dicarinya minyak kayu putih. Perutnya menghangat setelah dibaluri obat andalannya itu.
***L***
Hendy yang baru kembali dari bersepeda, heran karena dapur masih gelap dan sepi. Biasanya Elvira akan sibuk membuat sarapan sehabis salat subuh. Sedangkan sekarang sudah jam setengah enam pagi.
Lelaki itu memandang pintu kamar Elvira yang tertutup rapat. Apa dia belum bangun? Biasanya walaupun sedang haid dan tidak salat, tetap bangun untuk membuat sarapan. Padahal listrik sudah menyala jam dua pagi tadi.
Ketika hendak mengetuk kamar Elvira. Pintu depan terbuka. Istrinya masuk menenteng tas kresek. Wajahnya terlihat pucat.
"Maaf, aku nggak sempat masak, Mas. Kubelikan nasi kuning di warung Mak Yah." Elvira melangkah ke ruang makan. Meletakkan sebungkus nasi di atas piring. Sendok juga sudah disiapkan.
"El, wajahmu pucat gitu. Kamu sakit?" Hendy memperhatikan sang istri. Elvira menggeleng lantas mengambil sendok dan membawa sebungkus nasi ke kamarnya.
"Sorry, tadi malam ...."
"Nggak apa-apa. Aku ke kamar dulu." Elvira memotong perkataan suaminya.
Hendy mematung. Elvira sepucat itu apa dia ketakutan semalam. Atau dia sedang sakit. Biasanya dia berwajah cerah meski cemberut. Hendy tidak sempat menelepon, karena fokus pada operasi. Meski sudah melakukan tugas memberikan obat-obatan sedatif, anti nyeri pada pasien, dan berhasil membuat pasien tertidur. Bukan berarti tugasnya selesai. Ia harus memastikan tidak ada kendala hingga operasi selesai.
Pagi itu Hendy membuat teh dan sarapan sendirian. Kemudian masuk kamar untuk istirahat sebelum berangkat ke rumah sakit. Karena kelelahan, akhirnya tertidur dan bangun saat alarm berdering.
Buru-buru ia mandi dan berganti pakaian. Saat keluar, masih melihat helm milik Elvira di meja pojok ruang keluarga. Apa istrinya belum berangkat. Padahal ini sudah jam delapan. Elvira biasa pergi ke kantor jam tujuh pagi. Dan lihat, kunci motornya pun masih tergantung di dinding..
"El." Hendy mengetuk pintu kamar Elvira pelan. Tidak ada jawaban.
"El, kamu sakit?" Masih tidak ada sahutan. Diputarnya handle pintu, tapi dikunci. "El."
"Aku nggak apa-apa," terdengar sahutan pelan.
"Kamu nggak kerja?"
"Nggak."
"Aku berangkat ke rumah sakit."
"Ya."
Rumah kembali sepi. Elvira meringkuk di atas tempat tidur. Nasi yang baru dimakan sedikit terbiar di atas meja. Perutnya sudah terlanjur tak nyaman. Baru masuk nasi sedikit, rasanya sudah penuh.
Tidak ada yang dikerjakannya selain tiduran seharian. Jam tiga sore Ranty datang ke rumah.
"Kamu sudah mendingan?" tanya wanita itu seraya menyentuh kening Elvira. "Badanmu anget, El."
"Sepertinya maagku kambuh, Ran."
"Mulai sekarang kamu harus belajar minum obat. Obat maag itu nggak pahit, malah semriwing, rasa mint gitu. Selama ini kamu hanya ngandelin minyak kayu putih. Sakit perut, sakit kepala, sakit gigi, batuk, pilek, obatmu cuman itu saja. Oles sana sini kayak nenek-nenek bau balsem jadinya." Ranty mengomel sambil memijit pundak dan tengkuk Elvira.
Sedikit pun Elvira tidak membantah. Biar saja yang penting Ranty sudi datang. Dia satu-satunya orang yang mengerti banyak hal tentang dirinya. Hanya Ranty yang tahu kalau Elvira dan Hendy tidak pernah tidur sekamar.
"El, aku mau ngasih tahu kamu. Semoga ini nggak semakin menambah bebanmu."
Dada Elvira berdebar mendengar ucapan Ranty yang tampaknya mengkhawatirkan dan membuat penasaran. "Ada apa?"
"Tadi pagi aku nganterin Mbak Angel periksa kandungan ke dokter Herlina di klinik. Nggak sengaja aku ngelihat suamimu mengantar dokter itu ke sana. Mereka turun dan masuk ruangan."
Elvira terhenyak. Seperti apapun hubungannya dengan Hendy, tapi ia merasa kecewa karena lelaki itu suaminya.
"Aku nggak bakalan curiga kalau kamu nggak pernah cerita bagaimana kedekatan mereka."
"Mungkin ada operasi cesar di klinik bersalin itu, Ran."
"Oh, iya. Bisa jadi." Ranty tidak ingin memprovokasi sahabatnya.
Hening.
"Kamu cepetan pulih. Minggu depan kita harus ke Jakarta untuk mewakili Mbak Angel seminar. Ranty mengalihkan topik pembicaraan karena suasana mendadak tegang.
"Ya ampun. Aku hampir lupa, Ran."
"Masih ada waktu untuk bikin persiapan. Kamu ingin menghubungi Rizal dan ketemuan di sana?"
Keduanya saling pandang.
"Jangan deh. Seperti apapun hubunganmu dengan dokter Hendy. Kamu sudah menjadi istrinya, El. Oh ya, aku pulang dulu. Mau mampir ke apotek beliin obat ibu."
"Makasih kamu sudah datang." Elvira mengantarkan sahabatnya hingga ke teras. Kemudian ia ke dapur untuk memasak menu makan malam. Walaupun perutnya masih terasa perih jika berdiri terlalu lama.
Ketika tengah mengeluarkan sayuran dari kulkas, ponselnya di atas meja makan berpendar.
[Nggak usah masak. Mbak Ema mengundang kita ke rumahnya. Hari ini ulang tahunnya Tristan.] Pesan dari Hendy.
Elvira duduk di kursi. Sebenarnya ia malas ke mana-mana dengan kondisi perut yang tidak nyaman. Tapi tidak mungkin menolak. Ema itu kakaknya Hendy. Seorang dokter anak.
Dia selalu sibuk dengan ulang tahun orang lain. Tapi ulang tahunnya sendiri, tidak ada yang ingat kecuali Rizal dan Ranty. Sedih.
Kira-kira apa dokter Herlina nanti juga hadir di sana? Karena dia rekan baik kakak iparnya.
Segera dikembalikan sayuran ke dalam kulkas. Dia mau mandi dan dandan cantik malam ini.
Next ....