1. Never seen a penis before, uh?

942 Words
"Ough... kau membuatku gila, Ethhhh!" Itu dia. Lelaki yang akan dinikahkan denganku. "Oh my goshh! Tanganmu nakal sekali sayanghhh!" Menghimpit seorang gadis di sudut ruangan Mr. Anderson, dosen Bisnis International di kampusku. Tanganya bermain-main di tubuh gadis itu, meraba setiap incinya tubuh putihnya. Aku tidak bisa melihat jelas wajah Ethan, karena bersembunyi di ceruk leher gadis itu.  "Cium tubuhku, sayang!" Menjijikkan! Memang itu urusannya untuk bercinta dengan siapapun, tapi tidak di kampus juga! Betapa ironis dan menyedihkan hidupku nanti jika lelaki itu akan benar-benar menjadi suamiku. Aku baru akan pergi, sampai saat Ethan menarik wajahnya dari leher gadis itu. Dari tempatku berada, wajahnya terlihat begitu keras, begitu berkeringat, dan... besinar. Dengan gerakan lambat, lidah Ethan terjulur untuk menjilat leher gadis itu dari bawah ke atas. Oh my god... Seperti ada yang menyalakan api, tubuhku memanas. Aku menghimpit kuat-kuat kedua kakiku ketika merasakan gelenjar aneh yang menjalar ke daerah intimku. Apa yang terjadi denganku? Dan, Ethan pun menyadari keberadaanku. Tubuhku mendadak jadi kaku ketika lelaki melirikku dengan senyum miringnya. Ia segera menyelesaikan aksinya yang membuat gadis di pelukannya berdecak kecewa. Ketika kami berpapasan di depan pintu, gadis itu menubruk bahuku dengan kasar. What the fuck, dude. "Bianca Smith." Ethan memanggil namaku dengan irama, sambil berjalan lambat menghampiriku. Awalnya aku bingung kenapa dia bisa tahu namaku. Kemudian aku ingat, ah, pernikahan bodoh itu!  "Kau pasti Ethan Gilbert." kataku ramah, berjalan mendekat. "Aku tahu kau mengenalku, nona pengintip." Tentu saja aku menggenalnya. Bahkan satu kampus pun mengenalnya. Lelaki paling seksi di kampusku, setidaknya begitu kata orang-orang. Bahkan dosen saja ingin bercinta dengannya. Tapi bagiku, he is just a big jerk. Saat aku berada telat di hapadanya, aku tersadar sesuatu.  "Astaga! Resletingmu!" pekikku cepat-cepat menutup mataku dengan telapak tangan. Aku mendengar Ethan tertawa kecil yang seketika membuat pipiku terasa panas. Setelah mendengar bunyi zhip, aku membuka mataku kembali. Ethan dengan senyum miringnya, bertanya, "Tidak pernah melihat penis sebelumnya, uh?" Aku tertegun, "Sorry?" "Aku bertanya, apa kau tidak pernah melihat penis sebelumnya?" Aku menatapnya dengan tatapan tersinggung, "Tentu saja tidak!" Ia tertawa meremehkan, "Ternyata kau hanya gadis polos." "Excuseme?" Aku menekan kata-kataku dengan penuh kesabaran. "Kau..." Ethan maju selangkah. Ia menyentuhkan telunjuknya ke daguku, sekilas, "Kau polos. Kaku. Tidak seksi. Dan... masih perawan." Aku ingin sekali meninju bibir Ethan, tapi kutahan. Kuhela napas panjang, dan membuangnya perlahan.  "Maaf, tapi aku menemuimu bukan untuk mendengarkanmu mengoceh tentang keperawananku. Aku kesini untuk memintamu menolak perjodohan bodoh kita!" Ketika Ibu bilang untuk membujuk Ethan, yang ada di kepalaku adalah membujuk lelaki itu untuk MENOLAK perjodohannya. I know right, imma genius. Ethan tertawa meremehkan lagi, "Kau pikir aku mau menikahi perempuan sepertimu?" Aku benci ketika ia tertawa seperti itu. "Bagus! Aku senang mendengarnya. Karena kau tahu, membayangkanmu yang menungguku di altar gereja saja sudah membuatku jijik!" Ekspresinya berubah, "Bohong." Aku baru akan pergi dari kelas terkutuk itu saat Ethan menarik tangganku dan mendorong tubuhku ke dinding. Ia menghimpit tubuhku dan mengunci pergerakanku. "Hey-" Mataku melotot ketika wajah Ethan mendekat. Ujung hidungnya menyentuh ujung hidungku. Matanya menatapku, begitu intens. "Katakan kalau tadi kau berbohong," Suaranya serak, "...dan aku akan melepaskanmu." Nafasnya yang menerpa bibirku membuat bulu kudukku meremang. Jantungku berdebar sangat cepat, lebih cepat dari pada saat pertama kali Matt menatapku seperti itu. "A-aku tidak pernah main-main dengan ucapanku!" Aku berteriak, tapi terdengar begitu lemah. Ethan tersenyum miring, lagi. Kali ini, hidungnya sengaja ia gesekkan dengan hidungku. Dan seperti yang dia mau, tubuhku bereaksi secara berlebihan. Tubuhku bergetar bukan main. "Lihatkan, Smith? Tidak ada yang mampu menolakku." Aku membasahi bibirku yang terasa kering karena gugup: Tidak, tidak bisa begini. Tepat saat aku menyadari mata Ethan berubah gelap, aku mencoba memberontak lagi.  "Menyingkirlah dariku!" Seperti dihembus angin sore, badan Ethan tidak bergeser satu senti pun. Alih-alih menjauh, lelaki itu malah tertawa. Bukan tawa licik, tapi benar-benar tertawa. Sangat tulus. "MENYINGKIR SEBELUM AKU TERIAK!" Dan tawanya terhenti, "Kau tidak boleh berteriak disini, Smith!" "TOL-hmmp!" Dan, duniaku membeku. Perutku keram. Urat-urutku putus. Ethan... mencium... ...bibirku. Mataku melotot begitu lebar. Bibirnya terasa kasar di bibirku. Selama waktu yang tidak kuketahui, kami hanya diam. Sampai tiba-tiba, bibir Ethan bergerak, melumat bibirku, pelan dan menuntut. Seperti ada aliran listrik merambat melalui pembulu darahku, dan aku tersengat. Jantungku berpompa sangat-sangat cepat. Tulang-tulangku melumer seperti dibakar. Bibirnya bergerak semakin cepat dan semakin dalam. Aku hanya diam, shock, dan melemah. Ethan menjauh tiba-tiba. Matanya yang hijau menusuk ke dalam manik mataku. Dan sangat cepat, kesadaran menghantamku. Sekuat tenaga kudorong dada Ethan. Plak! Semuanya terjadi begitu cepat, sampai aku tak menyadari aku baru saja menamparnya. Ethan awalahnya hanya tertunduk. Namun ketika ia mendongak dan melontarkan senyum liciknya itu, saat itulah aku tau aku sangat membencinya. "Brengsek!" Desisiku dengan bibir bergetar. Tubuh bergetar. Dan hati, yang masih bergetar. Ethan mundur untuk memberiku ruang. Ia memandangiku aneh, "Jangan berlebihan, Smith. Itu hanya sebuah ciuman. Ayolah. Lagipula aku menciummu bukan karena aku mau, itu karena kau berisik. Aku tidak ingin-" Plak. Untuk kedua kalinya, tanganku mendarat di pipinya. Kali ini karena aku merasa sangat-sangat terhina. Apa katanya? Hanya ciuman? HANYA? Tanpa memperdulikannya yang terdiam, aku berjalan menjauhinya. Keluar secepat mungkin dari ruangan terkutuk itu. "Jangan bilang tadi itu... ciuman pertamamu?" perkataan itu menghentikan langkahku. Sial. Aku sangat marah, dan sangat malu, hingga rasanya aku ingin menangis.  "OH-pantas saja. Ciumanmu payah sekali. But, thanks, telah melakukannya bersamaku." Dan sekatika, rasa maluku menguap hingga yang tersisa hanya emosi. Aku berbalik begitu cepat. Langkahku seperti berlari saat menghampirinya. Dan tanpa aba-aba, begitu aku berada tepat di depannya, aku menendang Ethan dengan kuat. Tepat di ereksi.  "FUCK!!" Dan seperti yang aku inginku, mataya melotot nyaris keluar. Uratnya menyembur dari balik kulit lehernya. Aku tersenyum penuh kemenangan saat melihat Ethan terbungkuk-bungkuk menahan nyeri pasa kemaluannya. Ia berteriak, merancau, dan berguling-guling. "KAU SUDAH GILA YA BERMAIN DENGAN EREKSI LAKI-LAKI?!" Aku melipat tanganku di dada. "Kau yang sudah gila karena berpikir bisa macam-macam dengan cewek sepertiku!" "Ahh-Ibu.. sakit sekali... tolong." Semua amarah tadi, semua emosi, semua rasa kesal, tiba-tiba menguap begitu saja ketika melihat Ethan merengek memangil Ibunya. Bagaimana seseorang bisa sangat jantan satu detik, dan sangat kekanak-kanakan di detik berikutnya.  Tidak ingin bersama Ethan terlalu lama, aku pun berjalan keluar sambil berlenggak dan bersiul. Meninggalkan Harry yang masih terus mengaduh kesakitan di lantai. "AKAN KUBALAS KAU, BIANCA FUCKING SMITH!?" Oh, tuhan. Mati aku!1
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD