Permainan

1788 Words
Gita menegang ketika Bara memajukan wajahnya, berjarak sejengkal dari depan mata. Sekujur tubuhnya meremang saat d**a bidang Bara menghimpit, membuat Gita merapatkan tubuh ke dinding, tangannya terkepal erat menahan gejolak dalam d**a atas reaksi tak terduga saat embusan napas Bara menyapu wajahnya. Dunia Gita seakan gelap, pandangannya mengabur. Seluruh saraf otaknya tak lagi berfungsi, mengabaikan alarm peringatan yang terus berbunyi. Gita masih terpaku saat Bara mempersempit pandangan. Pria itu memiringkan kepala lalu berbisik di telinga Gita. "Kau itu mainanku Gita, kau tak akan bisa kabur lagi kali ini." Gita terenyak mendengar perkataan Bara, matanya mengerjap untuk persekian detik, berusaha mengumpulkan kesadaran. Namun terlambat, belum sepenuhnya pulih Bara lebih dulu mengambil alih separuh pasokan udaranya. Pria itu membungkam bibir Gita, membuatnya kesulitan bernapas akibat ciuman yang memburu dan sialnya Gita hanya bisa terdiam kaku seperti wanita bodoh. Lagi, dan lagi. Gita jatuh ke lembah permainan laknat seorang Bara Bramantyo. Permainan gila yang diperankan oleh Bara sebagai sang penguasa dan Gita selaku b***k. Permainan terkutuk yang seharusnya Gita hindari, permainan yang membuat otak dan hatinya mati rasa atas segala perlakuan Bara terhadapnya. Gita kembali, memasuki masa-masa kelamnya bersama sang pemeran utama, Bara. Gita terkesiap, ketika merasakan tangan Bara memaksa melepaskan kancing kemejanya. Lantas dengan cepat Gita mendorong Bara, pria itu terdorong mundur tampak terkejut mendapat penolakan secara terang-terangan. Matanya menggelap, menatap tajam Gita. Masih terdengar deru napas memburu dari pria itu. "Kau gila Bar!" Bulir air mata menerobos keluar, membasahi pipi Gita. Emosinya tak lagi terbendung, air mata yang menumpuk di pelupuk mata berjatuhan dengan cepat, tanpa bisa dia tahan. "Apa kau belum puas menghancurkan hidupku!" Suara lantang Gita memenuhi ruang kerja Bara yang kedap suara. "Cukup Bar." Intonasi suara Gita melemah, wajah lelah dan frustrasi tampak jelas dari ekspresi Gita saat memandang sayu Bara. "Cukup kau sakiti aku Bar, jangan lagi." Nada bicaranya seolah memohon, namun seakan air mata Gita tak berarti apa-apa di mata Bara. Pria itu justru tersenyum sinis, tatapan mencemooh yang menjatuhkan harga diri Gita sejatuh-jatuhnya. "Kau pikir aku akan melupakan semuanya?" Bara menarik kerah kemeja Gita, mendekatkan wajahnya di depan bibir wanita itu. Tampak bergetar menahan isakan yang mencoba menerobos dinding pertahanannya. "Tidak." Bara menyeringai, wajah tampannya terlihat mengerikan di mata Gita. Membuatnya bergidik, mengatupkan bibir rapat-rapat. "Aku tidak akan pernah lupa bagaimana kau menolakku dulu Gita," bisiknya. Gita membeku, ucapan Bara seolah mematikan jantungnya sesaat, sebelum akhirnya berpacu cepat di luar batas normal ketika tubuhnya terdorong mundur membentur dinding. Bara kembali agresif, matanya berkilat memancarkan amarah yang menggebu-gebu. Kali ini, Gita tak mampu mengelak serangan Bara. Pria itu berhasil merenggut kembali bibirnya, tangan kekar itu bergerak bebas melepaskan satu persatu kancing kemeja Gita. Harapannya pupus bersamaan dengan tangan Bara yang menyelinap ke belakang punggung. Memberikan sensasi menjijikan di sekujur tubuh. Di ujung rasa putus asa, Gita masih berharap secercah harapan yang akan menyelamatkannya. Ketika kemungkinan tak lagi berpihak padanya, masih ada asa yang tersisa membuat Gita kembali memohon sebuah kesempatan pada sang pemilik semesta. Sepertinya doa Gita pada Sang Maha Kuasa terkabul, ketika Bara berniat membuka seluruh baju Gita. Seseorang di luar ruangan mengetuk pintu berulang kali, suara ketukan tak berjeda menghentikan atraksi gila Bara. Dia tampak geram, menyugarkan rambutnya yang acak-acakan.  "Bara." Terdengar suara lembut wanita. Bara memutar bola matanya, mendengkus kasar saat tahu siapa wanita yang ada di luar ruangan. Wanita yang sama sekali tidak diharapkan kehadirannya dan justru mengganggu momen kesenangan Bara. "Rapikan pakaianmu," perintah Bara, pria itu melenggang ke tempat duduknya tanpa mempedulikan keadaan Gita yang sangat kacau. Mata Gita memanas, kebencian pada Bara bertambah berkali-kali lipat dari sebelumnya. Hasrat untuk membunuh pria itu semakin besar, setan-setan dalam dirinya terus merongrong untuk merealisasikan, tapi Gita kembali dibenturkan pada kenyataan. Dia yang lemah, tak berdaya, tidak memiliki keberanian untuk bertindak sejauh itu. Apalagi terhadap Bara, monster yang membuat Gita tak bisa berkutik setiap kali tatapan mengintimidasi itu tertuju pada dirinya. Gita menyeka air matanya, memasang kembali kancing kemeja, memunggut blazer yang dilempar jauh oleh Bara dan mengikat asal rambutnya yang acak-acakan akibat perbuatan bos gilanya. Tak peduli dengan wajah dan penampilan yang terlihat kacau, Gita bergegas keluar membuka pintu dan membuat seorang wanita mengerutkan keningnya saat melihat Gita keluar dari ruangan Bara dengan penampilan yang terbilang sangat kacau. "Kamu ...?" Mengabaikan pertanyaan wanita itu, Gita berlari sekencang mungkin. Meninggalkan wanita itu dengan banyak pertanyaan yang bercokol di pikirannya. Gita tidak perduli jika wanita itu akan berspekulasi negatif atas dirinya. Persetan dengan semuanya. "Siapa dia?" gumam wanita itu saat memandang punggung Gita yang menghilang di tikungan. Tak lagi menghiraukan kepergian Gita, wanita itu melangkah masuk menghampiri Bara yang sedang sibuk di meja kerjanya. "Dia siapa Bar?" tanyanya, tak bisa mengendalikan rasa penasaran yang begitu mengusik. Apalagi penampilan wanita itu membuat pikirannya tak bisa tenang, menerka-nerka apa yang terjadi di dalam ruangan ini sebelumnya. "Bukan siapa-siapa," jawab Bara, tanpa mengalihkan tatapannya dari proposal di atas meja kerja. Sebenarnya wanita itu tak cukup puas mendengar jawaban Bara, masih ada yang mengganjal dalam harinya. Banyak pertanyaan yang belum terjawab, namun dia tak lagi bertanya melihat tanggapan Bara yang terlihat dingin membuatnya mengalihkan topik pembicaraan. "Ayo makan siang, aku sengaja datang ke sini untuk mengajakmu makan siang bersama, kebetulan di depan ada kafe yang baru saja buka———" "Aku sibuk." Jawaban Bara memotong ucapan wanita itu. "Lebih baik kau makan siang dengan teman-temanmu." Tanggapan dingin dan terkesan mengusir. "Tapi Bar——" "Moza!" hardik Bara, membuat wanita yang dipanggil Moza itu bergidik ngeri ketika matanya beradu dengan iris berwarna hitam pekat milik Bara. Moza merasa terintimidasi akan tatapan pria itu. "Maaf," lirih Moza, memaksakan senyumnya tetap terukir. "Kalau begitu aku permisi, maaf sudah mengganggumu." Moza melangkah keluar dari ruangan Bara, membawa hati yang terluka akibat penolakan pria itu untuk yang pertama kali. —————— Berkali-kali Gita membasuh wajahnya dengan air mengalir, napasnya terdengar memburu. Belum hilang dari ingatan, saat tangan Bara merayap di atas kulitnya. Sensasi menggelikkan dan juga jijik terasa begitu nyata meskipun hanya dalam bayangan. Gita menatap tajam pantulan diri di cermin, mengamati matanya yang sembab dan memerah. Tangannya mencengkram erat wastafel, menyalurkan emosi yang sedari tadi tertahan. "Bara berengsek!" Untuk kesekian kali Gita mengumpati bosnya yang gila. Gita menyesal, sungguh menyesali keputusannya menerima pekerjaan sebagai sekretaris. Seandainya Gita tahu lebih awal jika yang menjadi bosnya adalah Bara, maka dia dengan lantang akan menolak. Tak peduli dengan gaji fantastis yang ditawarkan ataupun dirinya yang akan menjadi pengangguran. Gita lebih baik menganggur dari pada harus menjadi target permainan Bara lagi. Dilecehkan, direndahkan, dijatuhkan sejatuh-jatuhnya, seolah Gita wanita paling hina di mata Bara. Entah kesalahan apa yang membuat Gita harus menjalani takdir semengerikan ini. Gita menghela napas panjang, begitu melelahkan hidupnya. Selain gangguan Andre kini Gita juga mendapat gangguan dari Bara. Entah kehidupan macam apa yang akan Gita jalani selanjutnya. Rasanya semacam berada dalam kutukan, harus hidup di tengah-tengah pria-pria berengsek tak bermoral. Suara dering ponsel menyentak Gita, mengalihkan perhatiannya ke layar ponsel yang terus menyala, di mana nama Brian tertera di sana. Gita segera mengangkatnya. "Halo," ucap Gita saat sambungan telepon diangkat. "Di toilet pak." Gita menjawab pertanyaan pak Brian yang menanyakan keberadaannya. Gita memang sudah setengah jam berada di dalam toilet, enggan untuk keluar. "Sekarang?" tanya Gita, mendengar penuturan pak Brian yang menyuruhnya untuk membuat kopi. "Tapi———" Gita menghela napas lelah, pak Brian sama sekali tidak mau mendengarkan alasannya. Pria itu tetap memerintah Gita untuk melakukan tugasnya sekarang juga, bahkan pria itu mematikan sambungan telepon secara sepihak. Gita berdecak, mau tidak mau dia harus tetap menuruti perintah atasannya. Sudah terlanjur masuk, maka Gita harus bertahan. Setidaknya  sampai dia benar-benar menyerah dan mungkin akan gila karena harus bertahan dengan kelakuan sinting Bara. Setelah merapikan penampilannya, Gita segera menuju pantri untuk membuatkan kopi Bara. Di dalam pantri kebetulan ada seorang karyawati yang sedang membuat kopi. Gita tersenyum ramah saat pandangan mereka bertemu. "Karyawan baru?" tanyanya saat Gita berjalan ke depan dispenser. Gita mengangguk. "Iya, ini hari pertama saya bekerja di sini," jawabnya, memperjelas. "Divisi mana?" Wanita itu kembali bertanya, memberikan perhatian sepenuhnya ke Gita. "Em ... saya sekretaris pak Bara yang baru." Agak ragu Gita menjawab. Wanita itu mengerutkan keningnya. "Sekretaris?" Dia mengulang ucapan Gita. Gita mengangguk, tampak bingung dengan ekspresi yang ditunjukkan wanita itu. Apa jawabannya salah? Tapi memang benar kan, Gita di sini sebagai sekretaris. Lalu kenapa wanita itu memandang Gita dengan ekspresi aneh seperti itu? "Bukannya sekretaris pak Bara itu pak Brian ya?" beo Wanita itu. Gita tersenyum kaku, bingung harus menanggapi apa. Karena dia juga belum begitu tahu dengan hal itu. Entah posisinya menggantikan pak Brian atau membantu pria itu, Gita kurang tahu menahu dan sepertinya tidak mau tahu juga. Apa pun yang menyangkut Bara, Gita tidak mau tahu, kecuali terpaksa. "Kenalkan, namaku Giska." Wanita itu memperkenalkan diri. "Gita." Gita tersenyum, menyambut uluran tangan Giska. Setelah perkenalan singkat itu, Gita segera melangkah ke ruangan Bara. Jantungnya berpacu cepat, seirama dengan langkah kaki yang bergetar. Gita bersikap awas, meminimalisir kejadian seperti tadi akan terulang lagi. Gita berhenti di depan ruangan Bara, menatap ngeri pintu besar yang tertutup rapat. Tampak jelas keraguan dari sorot matanya, namun Gita tetap menguatkan tekad memaksakan dirinya masuk. Dengan sekali tarikan napas Gita menarik gagang pintu, setelah sebelumnya mendapat sahutan dari dalam saat dia mengetuk pintu. Gita berjalan pelan menuju meja Bara, pria itu tampak sedang menelepon dengan seseorang namun matanya menatap lurus ke Gita. Langkah Gita semakin berat, merasa ditelanjangi oleh tatapan Bara. Sekuat tenaga dia memaksakan kakinya tetap berdiri tegak ketika berhenti di depan meja Bara, kemudian meletakkan secangkir kopi ke hadapan pria itu. Bara mengakhiri obrolannya di telepon, mengalihkan pandangan pada secangkir kopi berwarna hitam lalu berganti menatap Gita dengan sebelah alis terangkat. "Kopi pahit?" ucapnya setengah bertanya. "I-iya Pak." Gita berusaha tetap formal, meski sebenarnya dia ingin sekali mengumpat pada pria itu. Tapi Gita tahu aturan, saat ini dirinya berada di kantor dan Bara adalah atasannya, maka Gita tidak boleh kurang ajar. "Apa kau tidak tahu kalau aku tidak suka kopi pahit?" Suara bariton Bara menyentak Gita. Wanita itu tampak mengerjap beberapa saat. "Tapi kata pak Brian tadi————" "Bos kamu aku atau Brian?" Gita bergidik, bibirnya kelu tak mampu menjawab pertanyaan Bara. Sebenernya mana yang benar, tadi pak Brian menyuruh Gita membuatkan kopi pahit, tapi Bara bilang tidak suka kopi pahit. Gita bingung, apa dia sedang dipermainkan? Jika iya, maka Bara benar-benar keterlaluan. Manusia laknat! Titisan setan durjana! Andai saja mulut Gita berani menyuarakan isi hatinya dengan lantang. Gita menelan kasar salivanya, meredam rasa dongkol yang bergejolak. "Kalau begitu, biar saya ganti Pak." Gita sudah akan mengambil cangkir kopi, tapi Bara tiba-tiba mencekal lengannya. "Bar——" Gita terkesiap, tubuhnya terdorong maju sampai wajahnya tepat berada di depan wajah Bara. Mata pria itu seakan menghipnotis Gita, membuatnya tak mampu berkutik. Sorot mata Bara mengunci tatapan Gita terfokus ke pria itu. Keterdiaman Gita seolah membuka jalan lebar bagi Bara untuk kembali mempermainkan wanita itu. Bara menyeringai, menikmati ekspresi ketakutan yang ditunjukkan Gita saat dia menepis jarak semakin dekat. "Tidak perlu, aku tahu bagaimana caranya menikmati kopi pahit ini jadi terasa manis," ucap Bara, setengah berbisik di depan bibir Gita. Aroma mint bercampur bau maskulin menyeruak ke indera penciuman Gita. Lalu, detik selanjutnya Gita melotot saat Bara kembali mencium bibirnya tanpa izin. Hatinya berontak, tapi tubuhnya tak merespon, mengabaikan perintah otak yang menginterupsi dirinya untuk kabur saat ini juga. Tubuh Gita berkhianat!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD