Penthouse

2218 Words
Gita mengembuskan napas kasar, cukup lega ketika akhirnya dia bisa terlepas dari cengkraman Bara. Pria itu mengurung Gita di dalam ruangannya hampir empat jam dan dia baru diperbolehkan keluar saat jam makan siang. Gita memejamkan mata, memijit pelipisnya yang berdenyut. Baru beberapa jam Gita bekerja dengan Bara, tapi jantungnya serasa mau copot, belum lagi emosi yang melambung tinggi, ditambah gelenyar aneh yang menyergap dalam benaknya. Hal itu membuat Gita kembali merutuki keputusannya, mungkin dia akan lebih baik jika menjadi gembel dari pada harus jadi mainan Bara lagi. "Ya Tuhan." Untuk kesekian kali Gita menghela napas yang begitu berat. Pikirannya semrawut, banyak pertanyaan muncul dalam otak kecilnya yang mendadak tumpul. Kenapa cobaan hidupnya sangat berat? Haruskah Gita bertahan atau lari seperti sembilan tahun yang lalu? Tapi, ke mana lagi Gita akan pergi? Bara pasti tidak akan melepaskannya. Ancaman pria itu bukan sekedar omong kosong semata, melihat bagaimana Bara menyerangnya bertubi-tubi, Gita yakin kalau kali ini dia benar-benar akan tamat di tangan pria itu. Setan! Bara benar-benar setan! Setan, setan, setan! Andai Gita bisa mengucapkannya dengan lantang, tapi untuk menatap mata Bara saja Gita seperti dihadapkan pada sebuah kematian yang siap merenggut nyawanya. Ketakutan selalu menyergap, acap kali pria itu melemparkan tatapan dingin seolah membunuh sebagian nyawa Gita. "Gita." "Regita Safira!" Gita membuka kelopak mata, bola matanya bergerak ke samping di mana terdengar suara seseorang memanggil-manggil dirinya. Bara! Kampret! Kenapa pria itu ada di situ? Sejak kapan? Astaga! Mampus kau Gita! Mata Gita melebar melihat sosok Bara berdiri di samping kubikelnya, sontak saja dia langsung merubah posisi duduknya jadi tegak, menghadap ke arah Bara. "Ada apa Bar ... maksud saya Pak Bara? Ada yang bisa saya bantu?" Meski ucapan Gita terdengar sopan, tapi dalam hati sumpah serapah serta makian dia layangkan untuk Bara, bos sialan yang ingin sekali Gita lenyapkan dari muka bumi ini. "Ikut aku," ucap Bara. Mata gelapnya menatap lurus Gita, seolah memberikan sinyal peringatan agar Gita tidak menolak. Tapi sayangnya Gita sepertinya tidak peka akan hal itu. "Tapi Pak, bukannya tadi Pak Bara bilang mau pe---" Gita tercekat, matanya mengerjap persekian detik saat Bara tiba-tiba maju ke hadapannya. Pria itu menundukkan pandangan tepat di depan wajah Gita, tangan kekarnya bertumpu pada meja. "Kau menolak?" Embusan napas Bara menampar wajah Gita, ucapan pria itu serasa mencekik lehernya sampai dia tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun untuk mengelak. "Kau lupa, kau tidak berhak menolak apa pun permintaanku," bisik Bara di telinga Gita, membuatnya seketika meremang saat embusan napas Bara menyapu leher. Gita mengangguk pelan, matanya tak beranjak sedikit pun dari sorot mata Bara yang seolah mengunci pandangan Gita. "Bagus." Bara menyeringai, sebelah tangannya terangkat menepuk-nepuk kepala Gita. "Ayo." Gita menghela napas lega ketika Bara menarik tubuhnya dari hadapan Gita, sedari tadi dia menahan napas, jantungnya juga berdetak di luar kendali. Suhu tubuhnya seketika meningkat. Maklum kalau dekat-dekat setan, hawanya memang berubah jadi hareudang. "Gita! Ayo, tunggu apa lagi?" Suara bariton Bara menyentak Gita, refleks dia segera berdiri, meraih tasnya lalu menyusul Bara, sebelum pria itu berubah jadi banteng gila yang akan mengamuk. Sepanjang perjalanan, tak ada satu pun dari mereka yang membuka suara. Baik Gita maupun Bara, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Gita sendiri tengah berkelut dengan pikiran yang mengusik, tentang ke mana Bara akan membawanya. Dia melemparkan pandangan ke luar jendela mobil, mengamati setiap bangunan yang dilewati. Otaknya bekerja mengingat-ingat setiap papan nama toko atau nama jalan untuk antisipasi jika Bara berniat menculiknya dan membawa Gita ke tempat asing. Berada di dekat Bara membuat Gita merasa was-was, lewat ekor matanya dia terus mengawasi pria itu yang duduk di sebelahnya. Padahal Bara tampak fokus menyetir, tapi entah kenapa Gita merasa kalau Bara tengah mengintai dirinya, menunggu dia lemah lalu pria itu akan menerkamnya. Mati-matian Gita tetap terjaga, namun hawa dingin yang menyejukkan dari AC mobil Bara membuatnya merasa kantuk. "Kita mau ke mana?" Gita membuka mulutnya, bertanya pada Bara tanpa memalingkan wajahnya ke pria itu. Bara menoleh sekilas, kemudian kembali fokus melihat ke depan. "Ke suatu tempat." Gita menguap, menolehkan kepalanya ke Bara. "Apa masih jauh?" "Tidur saja, nanti aku bangunkan," ucap Bara. "Tidak, terima kasih." Tentu saja Gita akan menolak tawaran Bara untuk tidur saja, meskipun pria itu berjanji akan membangunkannya. Gita sudah tahu apa yang akan terjadi jika dia terlelap, bisa saja tangan Bara menyusup ke daerah-daerah terlarang miliknya. Oh, No! Kali ini Gita tidak akan lengah lagi. Tapi sepertinya Gita kalah dengan rasa kantuk yang lebih dominan, nyatanya baru lima menit wanita itu sudah terlelap. Bara mendengus geli melihatnya, tangannya terangkat menarik kepala Gita akan bersandar di bahunya. -------- Bara mendengus pelan, sudah satu jam yang lalu mobilnya berhenti di parkiran baseman, namun pria itu belum beranjak dari mobil. Bukan tanpa alasan Bara tidak segera keluar, dia melirik wanita yang masih tertidur pulas, satu-satunya alasan yang menahan Bara tetap di dalam mobil. Bara berdecak, tersenyum tipis. "Kau benar-benar membuatku seperti orang gila, Gita," ucapnya pelan, matanya masih memandang wajah cantik Gita. Melihat Gita tersenyum dalam tidurnya, menimbulkan getaran di dalam hati Bara, ada perasaan aneh yang kembali muncul setelah sekian lama terkubur. Tangan Bara berpindah ke pipi Gita, membelai lembut pipi yang kenyal seperti squishy itu. "Aku tidak akan pernah melepaskan kau lagi, Gita. Kau hanya milikku, selamanya akan menjadi milikku." Usapan lembut Bara membangunkan Gita, perlahan matanya terbuka dengan cepat Bara menarik tangannya, melipat di depan d**a. Dia merubah ekspresinya kembali datar, senyum yang sempat terbit pun seketika lenyap berganti dengan aura dingin penuh kabut. Gita melenguh, menggerakkan lehernya yang terasa pegal, lalu wanita itu terdiam sesaat ketika menyadari mobil sudah berhenti dan saat ini dia berada di tempat asing. Sontak Gita menoleh ke bangku kemudi, matanya melotot melihat Bara menatapnya dengan sebelah alis terangkat. "Sudah bangun putri tidur?" Intonasi suara Bara yang rendah justru membuat d**a Gita bergemuruh hebat, bagai diterjang badai petir. "Ba-Bara." Bibir Gita terbuka. "Su-sudah sam-pai?" Gita gelagapan, tatapan Bara menciutkan nyalinya. "Sudah satu jam yang lalu," ucap Bara, melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Ma-maaf. Tapi kenapa tidak membangunkan saya?" tanya Gita, matanya bergerak liar menghindari sorot mata Bara yang seakan melemparkan peluru kematian. "Sudah, tapi kau tidak bangun-bangun. Bahkan kupikir kau sudah mati." Bara mengalihkan pandangannya ke depan. Gita mendongak, menghela napas pelan. "Sekali lagi maafkan saya Pak Bara." Rasa sesal tergambar jelas dari raut wajahnya. "Hm." Bara hanya membalasnya dengan gumaman, kemudian pria itu keluar dari mobilnya. Lantas Gita ikut turun, berjalan mengikuti Bara ke lift. Dia berusaha membunuh rasa gugup dan pikiran-pikiran negatif yang melayang-layang di dalam kepalanya. Rasa penasaran dan juga cemas semakin besar kala Gita mengikuti langkah Bara keluar dari lift. Matanya bergerak liar, mengamati sesuatu di depannya. Bukan lorong, melainkan jalan penghubung yang langsung masuk ke sebuah ruangan besar. Rumah? Bukan, jelas-jelas tadi Gita melihat Bara memencet tombol paling atas. Aparteman? Tapi ini terlalu mewah dan besar untuk disebut aparteman. Mata Gita memperhatikan setiap perabotan yang ada di ruang utama, di mana ada sofa empuk. Hanya sekali lihat saja Gita sudah tahu kalau sofa itu harganya sangat mahal, ada TV LCD dan beberapa perabotan mahal lainnya. "Ini di mana?" Gita memberanikan diri bertanya pada Bara. "Penthouse," jawab Bara, pria itu meletakkan jasnya di bahu sofa. Dia duduk di salah satu sofa single, tangannya melepas ikatan dasi yang serasa mencekik leher. "Pe-penthouse?" beo Gita. Pantas saja terlihat sangat mewah, setahu Gita penthouse sejenis hunian yang berada di gedung paling atas sebuah aparteman. Di mana hanya golongan orang-orang tertentu yang mampu membelinya, karena harganya yang terbilang cukup fantastis. "Buatkan saya kopi," perintah Bara, suara pria itu menyadarkan Gita dari lamunan singkat. "Iya." Gita segera melangkah ke dapur, menaruh tasnya di atas meja bar. Gita mengedarkan pandangan, mengamati ruangan dapur yang besar dan mewah. Dia benar-benar takjub, namun suara teriakan Bara membuyarkan kekaguman Gita. "Iya Pak." Gita mendengus pelan, kenapa Bara tidak bisa sabaran jadi orang? Pria itu maunya semua serba cepat, memangnya dia pikir Gita robot? Gita terus menggerutu, sementara tangannya bekerja membuat kopi yang diminta Bara. Setelah selesai, Gita berjalan tergesa-gesa menuju Bara. Pria itu sedang duduk di sofa, tampak terpejam dengan sebelah tangan memijit pelipisnya. Apa yang sedang Bara pikirkan? Terlalu fokus memperhatikan Bara, justru membuat Gita tak memperhatikan langkahnya. Gita terjatuh akibat tak melihat undakan lantai, alhasil kopi yang dibawanya tumpah dan sialnya kopi itu tumpah mengenai d**a Bara. "s**t!!" umpat Bara, pria itu berdecak, meringis merasakan panas di dadanya. "Gita! Kau!!" Gita melongo, wajahnya pucat pasi melihat Bara terus mengumpat, pria itu terlihat sangat geram. Mampus kau Gita! Habis sudah kau dicincang bosmu! "Maaf," cicit Gita, segera bangun dan mendekat ke Bara. "Maaf, saya gak sengaja." Gita mengambil tisu, lalu mengelap kemeja Bara yang basah, noda hitam kecoklatan menjiplak di kemeja putih bosnya. "Aissh!" Bara menepis kasar tangan Gita. "Bisa kerja nggak si?!" bentaknya, suara lantang Bara membuat Gita bergidik ngeri. "Maaf." Hanya kata maaf yang mampu Gita ucapkan. Meski rasanya mustahil Bara akan memaafkannya, pria itu terlihat sangat marah. "Kau!!" Gita terkesiap, matanya melebar saat Bara mencengkram kedua lengannya. Pandangan mereka saling beradu saat Bara memajukan wajahnya. "Maaf, maafkan saya." Gita ketakutan, tubuhnya bergetar. Mata Gita memanas, rasanya ingin menangis. Bara terlihat seperti iblis, sangat menakutkan. "Kau harus dihu--" Ucapan Bara terhenti bersamaan dengan suara dering ponselnya yang berbunyi nyaring. Bara melepaskan cengkraman di lengan Gita, mengambil ponselnya di saku celana. "Apa?" jawabnya pada orang diseberang telepon. "Kau di mana?" Suara Brian terdengar menuntut. "Apa kau lupa kalau hari ini ada meeting." Bara medengkus. "Emang kau tidak bisa mengurusnya? Biasanya juga bisa." "Tapi orangnya mau ketemu langsung sama---" Bara mematikan sambungan telepon sepihak, bahkan sebelum Brian selesai bicara. Bara kemudian melirik ke Gita yang tengah menunduk, meremas jemari tangannya. Dia menghela napas panjang, meredam emosinya yang menggebu-gebu. "Siapkan pakaianku." Gita mengangkat wajahnya, melihat punggung bosnya yang sudah berjalan lebih dulu. Tak ingin membuat Bara kembali marah-marah, Gita segera menyusul, mengikuti Bara ke kamar. Gita masuk ke kamar setelah Bara masuk ke kamar mandi. Matanya jelalatan melihat kamar Bara yang begitu besar dan sangat mewah, ranjang berukuran king dengan warna keemasan di bagian kerangkanya, ada satu set TV LCD, di sebelah kiri ada ruangan bersekat kaca. Sepertinya itu ruangan wardrobe. Gita segera masuk ke ruangan itu, dia tampak bingung. Pasalnya di dalam banyak sekali lemari berisi pakaian milik Bara, ada lemari khusus sepatu dan aksesoris pria itu seperti jam tangan. "Yang mana ya?" Gita memilah-milah beberapa kemeja yang tergantung. "Kayanya yang ini cocok." Gita tersenyum tipis mengambil satu kemeja berwarna biru polos, lalu memadukannya dengan dasi bermotif. Setelah menyiapkan semua pakaian Bara di atas ranjang, dia segera keluar untuk membersihkan tumpahan kopi yang tadi dan membuat kopi baru untuk Bara sebagai bentuk permintaan maafnya. -------- Bara keluar dari kamar mandi, mengusap-usap rambutnya yang basah. Matanya terfokus ke atas ranjang, di mana pakaiannya sudah disiapkan. Sementara orang yang menyiapkan sudah tidak da di kamar. Bara mendengus pelan, mengingat wajah ketakutan Gita membuatnya kepikiran, kenapa wajah imut itu justru sangat menggemaskan. Bara sampai tak tega untuk memakinya, ada apa ini? Perasaan aneh itu kembali muncul. Bara berdecak, menepis pemikiran konyol. "Fokus Bar, dia cuma mainan nggak lebih." Bara menyugesti dirinya sendiri. Ponsel kembali berdering, Bara melirik layar ponselnya yang menyala tertera nama Brian di sana. Lantas Bara menyambar ponsel di atas nakas, langsung mengangkat panggilan telepon dari Brian. "Bawel, setengah jam lagi aku sampai. Kalau dia nggak mau nunggu, batalin saja investasinya!" Setelah itu Bara mematikan kembali sambungan telepon secara sepihak, bahkan pria itu tak memberikan kesempatan pada Brian untuk bicara. Bara memakai pakaiannya dengan cepat, kemudian tak berselang lama suara ketukan pintu terdengar, mengalihkan atensi Bara yang sedang mengancingkan kemeja. "Masuk," suruh Bara. Suara derit pintu terdengar halus, bersamaan langkah kaki Gita mendekat. "Saya buatkan kopi baru untuk Pak Bara, sebagai permintaan maaf karena tanpa sengaja sudah menumpahkan kopi ke baju Pak Bara." Percayalah, setengah jam Gita merangkai kalimat ini. Meski bibirnya enggan berujar semanis itu, tapi rasa bersalah mendorong Gita untuk melakukannya, melupakan sesaat rasa bencinya pada pria itu. Bara menaikkan satu alisnya, menatap Gita yang menundukkan pandangan terkesan menghindari tatapannya. "Buat saya?" beo Bara, dibalas anggukan kepala oleh Gita. "Kalau begitu bawa sini." Bara menginteruksi Gita untuk mendekat ke depannya. Gita menelan saliva, kini dia berjalan hati-hati, matanya mengawasi setiap langkahnya agar tidak mengulang kesalahan yang sama dan hal itu membuat Bara gemas, karena Gita begitu lelet. Lantas dengan gerakan cepat, sebelah tangan Bara menarik tangan Gita dan sebelahnya lagi meraih cangkir kopi yang wanita itu pegang. Gita terkesiap, jantungnya mencelos, seakan baru saja diterjun bebaskan dari ketinggian. Napasnya nyaris berhenti, namun dia lega karena cangkir kopi itu selamat. Keseimbangan Bara membuat kopi di cangkir sama sekali tak tumpah, meski sedikit terombang-ambing. "Pakai gula?" tanya Bara, menginterupsi Gita. Gita mengangguk pelan. "Pak Bara kan tidak suka pahit, jadi saya pakaikan gula di kopinya." "Bagus." Bara tersenyum tipis, menyeruput kopi buatan Gita, tanpa mengalihkan pandangan dari wanita itu yang masih berdiri kaku di hadapannya. "Tapi kenapa rasanya tidak manis?" "Ya?" Refleks Gita mendongak, matanya beradu dengan tatapan Bara. "Tapi saya tadi pakai gula." Gita sangat yakin kalau dia tadi sudah menambahkan gula ke kopinya. Lalu bagaimana kopinya berubah rasa? Apa gulanya kurang banyak? Gita jadi bingung sendiri. "Kau mau tahu bagaimana kopinya agar terasa manis? "Maksudnya?" Gita berkedip, sorot mata Bara seolah menyihirnya. Dia terpaku, tubuhnya tak bisa bergerak. Dia tahu apa yang akan Bara lakukan dan Gita membenci hal itu. Jangan mendekat! Gita menjerit dalam hatinya, menginteruksi tubuhnya yang tak mampu menerima respon dari otak untuk menghindar. Gita, lari! Lari Gita!! Bodoh, lari sekarang juga!! Terlambat, Bara sudah berjarak sejengkal di depan wajah Gita. Pria itu semakin menepis jarak pandang dan berhasil mendaratkan sebuah kecupan hangat di bibir Gita yang setengah terbuka. Sensasi aneh mengacak-ngacak perasaan Gita, sentuhan bibir Bara seperti sengatan listrik yang menjalar ke seluruh tubuhnya, memicu detak jantung berdetak cepat seperti dikejar-kejar setan. Membuat napasnya tertahan sesaat, lalu memburunya sampai terengah-engah. Why? Kenapa tubuhnya bereaksi seperti ini? Perasaan macam apa ini? Gita mengutuk respon tubuhnya yang tak masuk akal! Bukankah, harusnya dia marah? Bara menarik kembali tubuhnya, tersenyum tipis menatap ekspresi cengo Gita. Sebelah tangannya yang bebas terangkat ke atas, mengusap bibir bawah Gita. "Lain kali, sajikan dengan senyum agar kopinya lebih manis."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD