Reuni

2426 Words
Langkah kakinya semakin cepat saat dirinya dipanggil ke ruangan Direktur. Meremas ke sepuluh jari, harap-harap cemas. Otaknya berpikir keras mengingat hal apa saja yang telah dilakukan, adakah kesalahan yang terselip hingga dia harus dipanggil ke ruangan Direktur. Tiga kali ketukan pintu, akhirnya bersambut dengan suara tegas dari dalam ruangan. Menarik napas kuat-kuat, memberanikan diri melangkah masuk. "Permisi Pak, apa Bapak panggil saya?" ucapnya dengan sopan. Pria yang duduk di kursi mengangkat wajahnya, membenarkan letak kaca mata yang sedikit merosot. Pria paru baya itu memicingkan mata. "Regita Safira?" tanyanya, memastikan. Perempuan yang baru saja masuk mengulas senyum tipis. "Iya, Pak. Saya Regita Safira." Regita Safira, bekerja sebagai karyawan kontrak di divisi pemasaran. Namun kemampuan dan ketekunannya dalam melakukan pemasaran tak perlu diragukan lagi, hal itu juga yang membuat Gita menjadi salah satu karyawan yang mampu melampaui target penjualan setiap bulannya dan ini tahun keduanya bekerja di perusahaan Agung Cipta tbk. Perusahaan properti salah satu anak cabang Agung Group Company. "Duduk," suruh pria tua selaku Direktur perusahaan, namanya pak Galih. Gita mengangguk, menarik kursi lalu duduk tegap di hadapan pak Galih. Rasa gugup menyergap, ini pertama kalinya Gita dipanggil oleh Direktur. Banyak pertanyaan muncul dalam benaknya, apakah mungkin dirinya melakukan kesalahan? Hal itu terus mengusiknya, mengingat status Gita yang masih karyawan kontrak. "Sudah berapa tahun kamu bekerja?" tanya pak Galih, matanya menatap lembar resume di tangannya. "Bulan ini tepat dua tahun Pak," jawab Gita. "Dua tahun?" Pak Galih melirik Gita di balik kaca mata bulatnya. "Dan kamu masih karyawan kontrak?" Gita tersenyum simpul. "Iya Pak." Pak Galih mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian meneliti laporan penilaian kerja Gita selama dua periode. "Kamu masih ingin bekerja di sini?" "Ya?" Spontan mata  Gita membulat, pertanyaan macam apa itu. Tentu saja masih mau, ini satu-satunya sumber penghasilan Gita untuk bertahan hidup. "Begini Gita, saya rasa kamu tidak cocok berada di sini," ucap pak Galih. "Maksud Bapak?" Bagai disambar petir, rasanya Gita ingin menangis mendengar ucapan pak Galih. Apa itu artinya Gita akan dipecat? Tapi atas dasar apa? Selama ini Gita bekerja dengan baik, hasil kerjanya juga memuaskan. Gita selalu mencapai target penjualan, bahkan lebih. Lalu kenapa dia malah dibilang tidak cocok di sini, apa kehadirannya merugikan perusahaan? Ah, rasanya ini tidak masuk akal. "Apa saya akan  dipecat?" tanya Gita, pasrah jika memang dirinya memang benar akan dipecat. Pak Galih menghela napas panjang, mengambil satu map coklat dari lacinya. Kemudian memberikan pada Gita. "Apa ini Pak?" tanya Gita saat menerimanya. "Buka saja." Astaga! Apa ini surat pemecatannya. Jantung Gita seperti akan berhenti, napasnya tercekat ketika tangan Gita membuka map itu. Dia mengeluarkan selembar kertas di dalamnya, mata Gita mengerjap saat membaca isi dari selembar kertas itu. Gita beralih menatap pak Galih. "Ini benar Pak?" Pak Galih tersenyum, mengangguk. "Selamat Gita kamu diangkat menjadi karyawan tetap dan mendapat kesempatan untuk bekerja di kantor pusat. Saya rekomendasikan kamu ke pak Hari dan ternyata kamu lolos kualifikasi, jadi mulai senin kamu bisa bekerja di Agung Group Company," ujar pak Galih. Gita tersenyum lebar, tak mampu menyembunyikan rasa bahagianya. Akhirnya, setelah penantian dua tahun Gita bisa menjadi karyawan tetap. Bukan hanya itu, Gita juga dipindahkan ke kantor pusat. Di mana banyak karyawan menginginkan kesempatan itu. "Terima kasih Pak, terima kasih sebanyak-banyaknya." Berkali-kali Gita mengucapkan terima kasih pada pak Galih. "Hari ini kamu bisa mengurus kepindahan kamu, lapor ke pihak HRD. Senin kamu baru ke kantor pusat, menemui pak Hari di sana," kata pak Galih. "Siap Pak." Gita bangkit, permisi undur diri. Senyum Gita mengembang, berjalan menuju pintu. Kamu hebat Gita. ———————— Embusan angin menerpa wajah Gita Udara pagi yang menyejukkan di tengah kota, sebelum banyak asap knalpot mendominasi. "Iya Kak. Ini sudah mau sampai," ucap Gita pada kakaknya melalui sambungan telepon. Berhubung kantor pusat terletak di Jakarta pusat, Gita terpaksa harus berpindah tempat dari Bekasi ke Jakarta dan untuk sementara waktu Gita menginap di tempat kakaknya sampai Gita menemukan tempat tinggal baru. "Iya kakak sayang, ini udah masuk ke komplek." Gita mengulas senyumnya, mendengar suara anak kecil yang tak lain keponakannya. "Hai Amira, ante juga kangen." Mobil taksi online yang Gita tumpangi berhenti di depan gerbang rumah minimalis. "Aku sudah sampai kak, aku matiin ya teleponnya." "Sudah sampai Mba," kata sopir taksi online, memberitahu. "Iya Pak." Gita turun, memutari mobil mengambil koper yang sudah diambilkan oleh sopir dari bagasi. "Makasih Pak." "Sama-sama Mba, kalau begitu saya permisi." Gita mengangguk, dia menggeret kopernya. Gita tersenyum saat melihat kakak perempuannya keluar dari rumah, menggendong anak perempuan yang baru berumur lima tahun. "Ante Gigit," seru anak kecil bernama Amira, merentangkan tangannya. "Amira Sayang." Gita menyambut, mengambil alih Amira dari gendongan mamanya. "Ih, Amira berat sekarang ya. Makannya pasti banyak." Amira mengangguk. "Ante Gigit juga antik cekalang." "Iya dong, antenya siapa dulu." "Antenya Amila dong." "Kabar kamu gimana Git?" Gita menoleh ketika suara merdu kakaknya menginterupsi. "Baik Kak. Kak Gina sendiri, sehat kan? Gita kangen banget." Gita mendekat, setengah tangannya memeluk kakaknya. "Kakak baik kok, ayo masuk. Kebetulan mas Andre juga masih ada di dalam, belum berangkat kerja," ajak Gina. Gita terdiam sesaat, mendengar nama suami kakaknya membuat jantung Gita berpacu dengan cepat. Memori kisah lama kembali berputar memenuhi otak Gita yang seketika buntu. "Ante Gigit, Ante gak papa?" Suara Amira menyentak Gita dari lamunan singkatnya. Gita mengulas senyum tipis, menggeleng pelan. "Apa ada masalah Git?" tanya Gina khawatir. "Gak kok Kak, ayo." Gita menggandeng lengan kakaknya, lalu keduanya berjalan masuk. Sejujurnya Gita berat harus menerima tawaran kakaknya tinggal di rumahnya, banyak hal yang jadi faktor terutama keberadaan suaminya. Gita memiliki kenangan buruk dengan pria itu, rasanya setiap kali mengingatnya membuat Gita ingin membunuh pria itu. "Mas." Gina menghampiri suaminya yang sedang mengopi di meja makan. Andre menoleh, matanya lebih fokus ke Gita yang berjalan di belakang Gina. Tatapan Andre membuat Gita tidak nyaman, seberusaha mungkin Gita menghindari mata Andre, melihat ke segala arah asal bukan ke Andre. "Hai Git," sapa Andre. Gita hanya mengangguk. Kembali melengos. Namun suara kakaknya kembali menginterupsi Gita. "Kamu gak salim sama Mas Andre?" Gita menelan ludahnya, meski enggan Gita mau tidak mau menyalami Andre. Rasanya Gita ingin menepis tangan Andre yang dengan lancang mengusap bahunya, memberikan sengatan listrik yang membuat alarm dalam tubuh Gita berbunyi memperingati. "Ayo sarapan bareng Git," ucap Andre, tersenyum hangat tapi bagi Gita senyuman itu seperti senyuman iblis. Gita menggeleng. "Gita belum laper, Gita ke kamar———" "Jangan gitu Git, kamu kebiasaan nunda sarapan. Ingat kamu punya maag, ayo makan." Gina menarik lengan Gita, membawanya duduk di sebelah kiri Andre. Sementara Gina berpindah ke sebelah kanan Andre. "Kamu harus biasain sarapan rutin Git, jangan keseringan nunda makan. Nanti kalau maag kamu kumat gimana, kakak gak mau ya kalau kamu sampai sakit." Gina mengambilkan nasi ke piring Gita beserta lauk pauknya. "Ayo makan." Gita mengangguk, menurut. Dia makan dalam diam, namun ketenangan Gita terusik ketika merasakan sentuhan di kakinya terus merambat naik ke atas betis. Gita melirik Andre, laki-laki itu menyunggingkan senyumnya. Sama sekali tak merasa bersalah atau pun segan. Gita menarik kakinya, tapi sialnya Andre tak menyerah. Kini tangannya dengan lancang mengusap paha Gita. Jelas Gita tak bisa tinggal diam, namun Gita juga tak bisa mengatakannya pada Gina, Gita tidak mau jika kejadian sembilan tahun lalu terulang lagi. Di mana kakaknya mengusir Gita karena lebih percaya dengan mulut suaminya yang seperti iblis. "Ada apa Gita?" Gina mengerutkan keningnya saat melihat Gita tiba-tiba beranjak dari duduknya. "Maaf Kak, tiba-tiba perut aku sakit. Aku ke toilet dulu ya." Tanpa menunggu jawaban kakaknya, Gita segera pergi. Dia melirik tajam Andre sebelum melangkah pergi dari ruang makan. Dalam hati Gita menyumpah serapah Andre. Sepertinya Gita harus segera mencari tempat tinggal baru, dia tidak tahan jika harus satu atap dengan manusia titisan setan. —————— Gita menoleh ketika mendengar suara langkah kaki, sontak dia menoleh melihat Gita berjalan ke arahnya. Adiknya itu begitu cantik memakai dress selutut dengan rambut panjang yang tergerai dan tas selempang yang tersampir di bahunya. "Mau ke mana?" tanya Gina saat Gita berhenti di depannya. "Ante Gigit mau pelgi ya?" Amira ikut bertanya. Gita mengangguk, mengusap lembut kepala Amira. "Aku mau jalan-jalan Kak, lihat kantor baru sekalian ngapalin jalannya biar gak kesasar," ucap Gita diselingi kekehan kecil. "Oh yaudah, hati-hati. Jangan pulang kemalaman ya, kabarin kakak kalau ada apa-apa. Jangan sampai nyasar." Gina memperingati, pasalnya Gita ini sering sekali nyasar kalau berada di tempat baru. Gita mengangguk, mengacungkan jempolnya. "Siap Kak, kalau gitu Gita berangkat dulu ya." Gita mengecup pipi Gina sebelum berlari keluar rumah. Gita menghirup udara sore, tempat tinggal kakaknya yang berada di perkomplekan asri. Sehingga udara di sini begitu menyejukkan, karena banyak pohon rindang dan tanaman hias di setiap pinggir jalan. Gita memesan ojek online, dia sengaja memesan ojek online karena ingin merasakan sensasi naik ojek online menuju kantor barunya. Tak butuh waktu lama, Gita tiba di depan Agung Group Company. "Ambil aja Bang kembalian," kata Gita saat turun dari motor. "Makasih Mba." Ojek online pun pergi. Gita tercengang saat menatap gedung tinggi bertingkat di depannya, rasa takjub terpancar jelas dari sorot mata Gita. Tidak menyangka kalau kantor barunya sebesar ini, tak heran jika Agung Group Company jadi salah satu perusahaan terbesar di Indonesia. Gita benar-benar beruntung karena dirinya akan bekerja di sini, dia tak sabar menunggu hari senin. "Awww!" Gita memekik ketika bahunya tersenggol dan kopi panas menyiram kakinya. "Maaf-maaf Mba, ya ampun." Wanita yang baru saja menabrak Gita membungkuk, membersihkan dress Gita yang terkena tumpahan kopi. "Sekali lagi maaf Mba." "Eh, iya gak papa Mba," ucap Gita. Wanita itu mengangkat wajahnya, terdiam saat melihat wajah Gita. Seolah tengah mengamati, matanya memicing. "Gita?" Gita terkejut, keningnya mengkerut menatap wanita di depannya. Siapa? Sepertinya Gita tidak mengenalnya, tapi kenapa wanita itu mengenal Gita. "Kamu Gita kan?" ucap wanita itu. Gita mengangguk. "Mba kenal sama saya?" tanyanya, penasaran juga dengan sosok wanita itu. Wajahnya memang cukup familiar, tapi Gita tidak mengingatnya. "Kamu lupa sama aku Git? Aku Sandra, kamu ingat? Dulu kita satu kelas di SMA Bina Bangsa." Gita berusaha mengingat, hingga dia teringat dengan sosok gadis cantik yang dulu sering menolongnya. "Sandra Gustav?" Sandra mengangguk. "Ya ampun Gita, akhirnya aku ketemu kamu." Sandra memeluk Gita. "Aku kangen kamu Gita, ke mana aja kamu selama ini? Tiba-tiba ngilang." Gita tersenyum tipis, bingung harus menjawab apa. "Gimana kalau kita ngobrol di kafe, sekalian ketemu Arga. Kamu masih ingat Arga kan?" Gita terdiam, jelas dia ingat dengan Arga. Satu-satunya cowok yang pernah Gita dambakan waktu SMA. Ketua osis yang selalu jadi pujaan gadis-gadis di SMA-nya. "Ayo, Arga pasti seneng ketemu kamu." Sandra menarik tangan Gita, membawanya menuju kafe yang terletak di seberang jalan. ———————— Gita termenung di depan meja rias, menatap pantulan dirinya di cermin. Ucapan Arga sore tadi terus terngiang-ngiang di pikiran Gita. "Lo banyak berubah Git, gak nyangka sekarang lo secantik ini." Sudut bibir Gita terangkat ke atas, mengingat bagaiman Arga terus memuji penampilannya yang sekarang. Gita meraba pipinya, pipinya kini tirus sudah tak secubby dulu. Penampilannya memang sudah berbeda seratus delapan puluh derajat dengan penampilan Gita waktu SMA. Gita melirik foto di depannya, foto sembilan tahun lalu. Foto dirinya saat memakai seragam SMA yang kebesaran dengan kaca mata bulat besar dan rambut yang dikepang dua, ditambah ukuran tubuhnya yang pendek dan sedikit gemuk. "Gita." Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Gita. "Iya Kak." Gita menoleh saat kakaknya membuka pintu kamar. "Sudah ditungguin temen kamu di bawah." Gita mengangguk. "Bentar lagi aku turun," ucap Gita. Setelah Gina pergi, Gita kembali menatap pantulan dirinya di cermin. Menyunggingkan senyuman manis, Gita harap penampilannya kali ini tidak akan membuat dirinya jadi bahan buli lagi. Gita turun menghampiri Sandra di ruang tamu. "Daebak, Gita. Kamu cantik banget," komentar Sandra saat melihat Gita memakai dress sabrina selutut, rambutnya yang panjang tergerai indah. "Apaan si San, kamu lebih cantik." Gita tersenyum malu, tanpa sengaja netranya bertemu dengan tatapan mata Andre yang baru saja keluar dari dapur. "Kak, aku berangkat ya." Gita cepat-cepat menyalami Gina, lalu menarik Sandra. Beruntung Sandra tidak banyak tanya. Sepanjang perjalanan, Sandra lebih banyak membicarakan tentang reuni SMA yang selalu digelar dengan meriah setiap tahunnya. Hal itu membuat Gita jadi penasaran, ini pertama kalinya dia menghadiri reuni. "Ayo." Mobil Sandra tiba di depan lobi hotel. Keduanya bergegas turun. Gita deg-degan saat melangkah menuju ballroom, sangat gugup. Bahkan Gita sudah berpikir negatif akan respon teman-teman SMA-nya saat melihat kehadiran dirinya. Mengingat masa SMA Gita yang buruk jelas membuat Gita cemas, dia bersikap waspada ketika memasuki ruangan. Gita tertegun saat suara musik bersambut, matanya tak henti memandang sekitar. Di mana ruangan besar itu dipenuhi oleh orang-orang dengan pakaian glamor, jelas mereka semua dari kalangan atas bukan seperti dirinya. Gita menunduk, melihat penampilannya yang sederhana, padahal dia mati-matian memoles diri secantik mungkin. Tapi tetap saja tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan semua orang yang ada di sini. Gita terus menunduk, menyadari tatapan semua orang tertuju padanya. Rasanya seperti de javu, seakan dirinya kembali ke masa-masa SMA. Mengingatkannya bagaimana tatapan-tatapan itu seolah membunuhnya. Tatapan sinis, mencemooh dan memandang jijik dirinya. "Git, kamu lihat?" Suara Sandra menarik paksa Gita dari ingatan kelamnya. "Mereka semua ngelihatin kamu sampai terpesona gitu," bisik Sandra. Gita memalingkan wajahnya, mengedarkan pandangan ke setiap orang yang dia lewati. Benar, mereka semua menatap Gita dengan pandangan berbeda. Jelas bukan tatapan merendahkan, lebih ke mendambakan. "Eh, itu Arga." Gita menoleh, mengikuti arah telunjuk Sandra. "Hai Git," sapa Arga saat menghampirinya. Gita membalasnya dengan senyuman. "Gita doang, aku gak?" celetuk Sandra. Arga menyengir. "Lupa, abis kamu mungil banget si San, gak kelihatan." Arga mengacak-acak rambut Sandra. "Kalian tunggu sini, aku punya kejutan buat kamu Git." Arga beranjak pergi. "Eh." Gita tak berhasil menghentikan langkah Arga. "Mau ngapain dia?" tanya Sandra saat Arga berjalan ke atas panggung. Gita mengedikkan bahunya, dia juga tidak tahu apa yang mau dilakukan Arga di atas panggung. "Cek,cek." Arga mengetes mikrofon. "Malam semua. Sorry, aku minta perhatian sebentar." Semua orang mengalihkan perhatiannya ke Arga. "Jadi reuni kali ini sangat spesial, karena semua alumni hadir dan teman kita yang selama ini tidak pernah hadir pun kali ini hadir. Kalian masih ingat kan dengan Regita Safira?" Gita tertegun saat Arga menyebut namanya. Astaga, apa yang sebenarnya ingin pria itu lakukan? Gita mulai cemas, gugup kembali menyergap. Apalagi saat selentingan santer terdengar oleh telinganya. Kata-kata yang tak pernah ingin Gita dengar lagi. "Dan kali ini aku mau mengundang Regita naik ke atas panggung untuk menyapa kalian semua sekaligus menyanyikan satu buah lagu sebagai salam pembuka untuk pertemuan perdana setelah sembilan tahun tidak berjumpa," kata Arga, matanya menatap Gita yang berada di bawah panggung. Arga tersenyum. "Ayo Re, naik." Arga menginteruksi  Gita untuk naik ke atas panggung. Awalnya Gita tidak mau, tapi Arga memaksa. Menariknya ke atas panggung dan meninggalkan Gita begitu saja. Gita menelan ludah kasar saat semua mata tertuju padanya. Meski gugup dia memaksakan senyum manisnya, lalu menyapa. "Hai, aku Regita Safira. Kalian masih ingat aku?" Gita mengumpulkan seluruh keberaniannya, dia tidak boleh membuat dirinya kembali seperti dulu. Kini Gita bukan lagi Gita yang dulu, Gita yang sekarang sudah berbeda dengan sembilan tahun yang lalu. "Aku ...." Gita tercekat ketika tatapannya tanpa sengaja tertuju ke salah satu meja yang ada di belakang. Meski jarak yang cukup jauh, namun tatapan itu begitu jelas di mata Gita. Tatapan yang membuat sekujur tubuhnya tiba-tiba membeku, bibirnya kelu. Semua kata yang susah payah Gita rangkai tercekat di tenggorokan. Tubuh Gita tak merespon perintah otak, bahkan telinganya tak mampu mendengar suara-suara di sekitarnya. Matanya terkunci oleh sorot mata tajam beriris hitam milik seorang pria yang duduk di antara tiga orang pria lainnya. Mungkinkah dia orang yang sama? Pria itu ... Apakah dia, Bara Bramantyo? Astaga, boleh mati lampu gak. Gita mau menghilang saja dari sini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD