Pertemuan

1841 Words
Dering alarm berbunyi nyaring memekakkan telinga, memenuhi ruangan gelap. Tapi tak sedikit pun mengusik seseorang yang tengah tertidur pulas di atas ranjang empuk berukuran king. Tak lama seseorang masuk, berjalan cepat menuju nakas mematikan alarm. Kemudian melangkah ke jendela, menyingkap horden. Posisi kamar yang menghadap timur otomatis membuat cahaya matahari menembus masuk ke ruangan yang gelap dan besar, sinarnya tepat mengenai wajah sang pemilik kamar. Dia melenguh, merasa terusik akan sinar matahari yang menyilaukan mata. Sementara orang yang berdiri di depan jendela menggeleng miris, melihat tubuh yang hanya berbalut boxer ketat terdampar di atas ranjang. "Bara bangun!" Suara lantangnya bergema di ruang kamar yang begitu luas dan mewah. Ya, pria yang tengah tertidur memang Bara. Bukannya bangun, Bara malah semakin erat mendekap bantal guling dalam pelukannya. Kembali ke alam mimpi. Orang itu menghela napas kasar melihat kelakuan Bara yang memancing emosinya setiap pagi. "Sabar, sabar, ngurusin bayi singa emang harus sabar," gumamnya, berusaha menyugesti diri sendiri. "Bara! Bangun!" Orang itu berjalan mendekat, menggoyang-goyangkan lengan kekar Bara yang berotot. Beruntung dia pria normal, jika tidak maka Bara sudah dia terjang. Bagaimana tidak, tubuh Bara yang nyaris telanjang benar-benar sangat menggoda iman. Punggung tegap, dada bidang, lengan kekar berotot dan perut sixpack, kombinasi sempurna. Tubuh atletis Bara, idaman bagi pria-pria di luaran sana dan juga dambaan para wanita. "BARA BRAMANTYO!!" Lelah membangungkan Bara yang tak kunjung bangun juga, dia akhirnya menarik guling yang Bara dekap dengan kasar. Kemudian melemparnya ke wajah Bara. "BRIKOM!!!" Bara seketika terbangun, matanya terbuka lebar, menatap garang pria yang berdiri di samping ranjang. "WHY? WHY? WHY?" balas pria itu tak kalah lantang, tak gentar sedikit pun. Dia malah berkacak pinggang, seolah menantang Bara. Bara berdecak, kesal. "Masih ngantuk Bri." Bara kembali menelungkupkan wajahnya ke atas bantal. Rasa kantuk menguasai matanya yang kembali terpejam. Tapi pria itu tak membiarkan Bara kembali tidur, dia menarik lengan Bara. Memaksa Bara bangun. "Kamu mabuk?" tanyanya saat mengendus Bara yang berbau alkohol, lalu berdecak. "Sudah aku bilang jangan parti, susah sekali dikasih tahunya. Jangan bilang kamu juga lupa soal meeting pagi ini sama perwakilan MC Group?" Bara memaksakan kesadarannya, menoleh ke pria bernama Brian, sepupu sekaligus asisten pribadinya. "Bukannya besok?" Brian mengembuskan napas kasar, sudah dia duga kalau Bara melupakan meeting penting pagi ini. "Bar, aku heran. Sebenernya kepala kamu ada isinya gak si?" Ini bukan pertama kalinya Bara melupakan meeting penting. Dan Brian harus ekstra sabar mengingatkan Bara setiap detiknya. Bara terdiam, otaknya berpikir keras mengingat-ingat. Bara mengerjap saat mengingat ucapan Brian semalam di pesta perayaan perusahaannya. "Bar, besok pihak MC group bakal kirim perwakilannya buat meninjau project kerjasama yang kita ajuin. Jadi jangan sampai bangun kesiangan, pihak MC group gak akan mentolerir keterlambatan dan bisa saja mereka membatalkan kerjasama." "ASTAGA BRIKOM MEJIKOM!!" Bara menepuk jidatnya. "Jam berapa sekarang?" menoleh ke Brian. "Jam setengah tujuh, kamu punya tiga puluh menit untuk sampai di kantor," kata Brian, menunjukkan arlogi yang melingkar di pergelangan tangannya ke depan Bara. "Mampus!!" Sontak saja Bara langsung loncat dari atas ranjang, berlari ke kamar mandi. "Brian, siapin baju kerja!!!" teriak Bara bersamaan dengan suara pintu kamar mandi yang ditutup. Brian mengembuskan napas kasar, berusaha sabar. Rutinitas pagi yang begitu melelahkan bagi Brian karena harus mengurus Bara. Dia yang mempersiapkan semua perlengakapan Bara selama ini, selaku asisten pribadi. Brian juga merangkap jadi sekretaris, mengatur semua jadwal kerja Bara yang sangat sibuk. Kadang Brian juga yang menghandle urusan kantor di saat Bara ada keperluan mendesak. Betapa multitalentanya Brian, namun hal itu justru yang membuat Brian jomblo sampai detik ini. "Kamu sudah siapkan semua berkasnya?" tanya Bara saat keluar dari kamar mandi, melilitkan handuk di pinggang lalu berjalan ke tepi ranjang di mana Brian sudah menyiapkan pakaian kerjanya. "Hm." Brian hanya bergumam menanggapi pertanyaan Bara, matanya tengah fokus menatap layar ipad-nya. "Kencan online?" tebak Bara, melirik Brian yang tampak serius. Biasanya kalau ekspresi serius begitu Brian sedang memilih patner kencannya. "Bukan," jawab Brian tanpa mengalihkan perhatiannya. "Terus?" Bara mengernyit, heran sekaligus penasaran. Dia berjalan ke depan cermin, memakai dasi sembari menatap pantulan diri di cermin. "Milih calon sekretaris buat kamu," kata Brian. Bara menoleh. "Kau mau resign?" Brian menghela napas panjang. "Gaklah, aku cuma butuh tambahan patner kerja buat membantu mengurusi kamu yang susah diatur," ujar Brian. "Lagian aku bukan robot Bar, aku gak bisa kerja merangkap begini. Aku butuh me time, kamu gak kasian? Gara-gara aku sibuk ngurusin kamu, aku sampai tak punya pasangan. Padahal umurku sudah memasuki kepala tiga dan mama sudah terus menuntut cucu padaku." Brian menambahkan, curhat terselubung. Bara mendengus, kembali menghadap depan. "Terserah, tapi aku gak mau orang sembarangan. Kamu kirimkan saja CV-nya nanti biar aku yang pilih sendiri." "Oke." Brian mengirimkan beberapa CV ke email Bara. "Jadwal hari ini apa saja?" Bara kembali bersuara. Brian membuka jadwal di ipad-nya. "Pagi meeting sama MC group, siangnya wawancara majalah Zalfon." "Ada lagi?" Brian menggeleng. "Kalau begitu kosongkan jadwal hari ini kecuali dua itu," ucap Bara. "Memangnya kau mau ke mana?" tanya Brian, memicingkan mata menatap Bara penuh selidik. "Jangan bilang mau parti la----" "Aku mau ke acara reuni SMA," sela Bara. "Jadi jangan lupa kosongkan semua jadwalku." "Oh, mau reuni sama mantan," gumam Brian. "Apa kau bilang?" Bara menyorot tajam Brian. Brian menyengir. "Gak papa. Oh ya, aku siapkan mobil dulu. Oke bye." Brian segera lari sebelum dirinya menjadi samsak Bara. Karena pria itu begitu sensitif jika mendengar kata mantan. ----------------- "Pertanyaan terakhir Pak Bara, mungkin ini juga pertanyaan yang mewakili rasa penasaran dari sebagian besar wanita di luaran sana. Apakah ada sosok wanita hebat yang berada di belakang kesuksesan Pak Bara sekarang?" Bara mendengus pelan, menyamarkannya dengan senyuman hangat. Pertanyaan yang selalu dibenci Bara setiap kali melakukan wawancara, entah kenapa mereka begitu penasaran dengan kehidupan pribadi Bara, terutama soal percintaannya. "Ada," jawab Bara dengan senyum yang masih terpatri di wajah tampannya. "Mama saya, wanita terhebat yang membawa saya bisa sampai ke puncak kejayaan. Seandainya tidak ada mama saya, mungkin saya tidak akan berada di sini, duduk berhadapan dengan Anda." Bara tertawa puas dalam hati, memangnya mereka pikir semudah itu mengkorek kehidupan pribadinya? Tidak semudah itu ferguso. "Wah, saya sampai tidak bisa berkata-kata mendengar jawaban Anda. Memang benar, sosok ibu sangat berpengaruh besar pada kehidupan anak-anaknya dan ibu Anda sangat luar biasa karena bisa membawa putranya sampai ke puncak kejayaan, di mana posisi Anda saat ini pasti menjadi dambaan orang-orang di luaran sana," komentar seorang wartawan dari majalah Zalfon, majalah bisnis yang sedang popular. "Tapi Pak Bara, mungkinkah ada wanita lain yang sangat berpengaruh selain ibu Anda. Wanita spesial mungkin?" Hm! Wartawan sialan! Ingin sekali Bara mengumpatnya, namun tentu saja Bara tidak mungkin merealisasikan keinginannya. Bara tidak sebodoh itu untuk membunuh image yang susah payah dia bangun selama ini. "Tidak ada." Bara menggeleng. "Hanya mama saya." Bara kembali menegaskan. Dia sudah mulai tidak nyaman dengan wawancara ini. "Baik, itu artinya Anda menegaskan kalau status Anda saat ini single?" Entah sampai kapan wanita di depan Bara ini akan terus bertahan, dia terus berusaha memancing pertanyaan sensitif. "Sebenarnya pertanyaan ini sudah keluar dari konteks ya, tapi gak papa. Saya akan tetap menjawabnya sekaligus menegaskan bahwa saya memang masih single dan menurut saya kehidupan pribadi saya bukan untuk dikonsumsi publik. Ya, Anda tahulah, saya bukan seorang artis walaupun saya sering disorot kamera tapi saya lebih suka bercerita tentang karir saya dari pada urusan pribadi yang lain, biarlah hanya saya dan Tuhan yang tahu untuk urusan asmara saya." Wanita di depan Bara merasa tertohok dengan pernyataan Bara, terlihat dari ekspresinya, tersenyum canggung dan tidak nyaman. Bara sendiri bersorak dalam hati, menertawakan betapa lucunya ekspresi wartawan itu. "Terima kasih Pak Bara atas jawaban Anda, sekaligus menjadi penutup untuk wawancara hari ini." Wanita itu menyalami Bara. Setelah selesai wawancara yang membuat otak Bara medidih, dia segera melajukan mobilnya ke rumah mewahnya yang berada di komplek perumahan elit Jakarta Utara. Sesampainya di rumah Bara segera menuju kamar, melepas seluruh pakaian dan melenggang ke kamar mandi. Bara butuh mendinginkan otaknya yang membara dengan berendam di bathub mampu merilekskan kembali pikiran Bara. Tepat pukul tujuh malam, Bara sudah bersiap untuk menghadiri acara reuni SMA yang ke-9. Di mana acara rutin itu diselenggarakan di hotel papanya selaku donatur dalam acara tahunan itu. Secara papa Bara pemilik yayasan Bina Bangsa Elit School, jadi wajar jika beliau mau menjadi donatur untuk acara reuni angkatan Bara. Bara berdiri di depan cermin, memakai setelan jas lengkap berwarna hitam. Dia menyisir rambutnya ke belakang, membuat Bara terlihat cool dan maskulin. Bara tersenyum tipis, mengangumi pahatan wajahnya yang begitu sempurna. "Perfect," gumam Bara. Setelah itu, Bara meninggalkan kediaman mewahnya. Mengendarai mobil Ferrari 488 Pista warna merah menuju hotel Agung Residence. Membutuhkan waktu lima belas menit bagi Bara untuk sampai di sana, karena posisi hotel yang memang tidak begitu jauh dari rumahnya. Kedatangan Bara mencuri perhatian, terutama mobil sport milik Bara yang merupakan keluaran terbaru dan belum banyak orang yang punya. Bara keluar dari mobil, karismanya yang begitu kuat membuat beberapa pasang mata terpesona sampai tak berkedip melihat betapa tampannya Bara malam ini. Bara tak menghiraukan, ia memberikan kunci mobilnya pada petugas parkir valet untuk memarkirkan mobilnya. Lalu Bara melangkah masuk langsung menuju ballroom, di mana acara reuni diadakan. Bara memasuki ruangan, suara musik kencang menyambutnya. Ditengah hiruk pikuk suara-suara bising, Bara mengedarkan matanya ke sekeliling. Bara tersenyum miring menyadari tatapan-tatapan takjub yang mengarah padanya, sorot mata penuh damba dari wanita-wanita di ruangan, belum lagi bisikan-bisikan memuja yang masih terdengar oleh telinga Bara. Bara mengacuhkannya ketika melihat tiga orang pria melambaikan tangan padanya. Bara segera menghampiri meja paling ujung, di mana Sean, Leon dan Rehan berada. "Ke mana saja kau?" semprot Rehan. "Janjian jam berapa, datang jam berapa. Acaranya sudah dibuka." "Sorry, pemain emang datangnya terakhir," ucap Bara dengan santainya. Matanya mengedar, memperhatikan teman-teman seangkatannya. "Gak ada yang berubah dari tahun kemarin." "Hm, bener." Sean ikut menimpali, sedari tadi matanya terus jelalatan mencari mangsa. "Jadi siapa targetnya?" Leon membuka suara, menyebulkan asap rokok elektriknya ke udara. Matanya terus menyoroti beberapa wanita seksi yang berada di depan sana. "Gimana kalau Stela?" Leon menaik turunkan alisnya kedua alisnya saat Bara dan yang lain menatapnya. "Ogah, kamu saja sana. aku denger-denger doi simpenan om-om," seru Rehan disela-sela suara musik yang berbunyi keras memenuhi ruangan. Bara tersenyum geli melihat Rehan bergidik. "Padahal dia sendiri juga om-om, gak sadar diri emang," cibir Bara. "Sialann!" umpat Rehan, melempar kulit kacang ke Bara tapi meleset. Ditengah perdebatan mereka, tiba-tiba musik berhenti. Lantas keempatnya menoleh ke atas panggung di mana seseorang berdiri di depan sana. Dia Arga, penanggung jawab acara, mantan ketua osis dulu. "Cek,cek." Arga mengetes mikrofonnya. "Malam semua, sorry, aku meminta perhatian sebentar." "Mau ngapain dia? Pidato lagi?" celetuk Rehan. Sean mengedikkan bahu, tak tahu. Sementara Leon terlihat cuek meski matanya masih melihat ke depan. Sedangkan Bara tak peduli dan memilih menikmati minuman di depannya. "Jadi reuni kali ini sangat spesial, karena semua alumni hadir dan teman kita yang selama ini tidak pernah hadir pun kali ini hadir. Kalian masih ingat kan dengan Regita Safira?" Saat Arga menyebut nama Regita Safira, spontan semua mata langsung tertuju padanya, tak terkecuali Bara yang awalnya tidak peduli. Bara meluruskan pandangannya ke depan, dadanya berdebar menunggu Arga kembali bersuara. "Dan kali ini aku mau mengundang Regita naik ke atas panggung untuk menyapa kalian semua sekaligus menyanyikan satu buah lagu sebagai salam pembuka untuk pertemuan perdana setelah sembilan tahun tidak berjumpa," kata Arga, matanya menatap perempuan yang berada di bawah panggung. Arga tersenyum. "Ayo Re, naik." Menginteruksi perempuan bernama Regita untuk naik. Awalnya Regita tidak mau, tapi Arga memaksa. Menariknya ke atas panggung dan meninggalkannya begitu saja. Regita menelan ludah kasar saat semua mata tertuju padanya. Meski gugup dia memaksakan senyum manisnya, lalu menyapa. "Hai, aku Regita Safira. Kalian masih ingat aku?" Bara tertegun, matanya tak berkedip. Dadanya serasa berhenti berdetak saat perempuan di depan sana memperkenalkan diri dengan nama Regita Safira. "Gita," gumam Bara tanpa sadar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD