Prolog

1642 Words
Tepuk tangan yang begitu meriah bergema memenuhi ballroom, setelah pendiri Bee Start Entertaiment selesai memberikan sambutan sekaligus pembukaan acara perayaan ulang tahun BS Entertaintment yang ke-5. Pria tampan berstelan jas warna navi dengan rambut klimis bergaya slicked back undercut, sangat cocok dengan wajah ovalnya, berahang tegas, hidung mancung, bibir tipis ditambah alis yang sedikit tebal. Kombinasi yang sangat sempurna, visual pria itu bahkan nyaris mendekati sempurna. Tak heran jika ketampanannya mampu menghipnotis banyak pasang mata di ruangan, terutama para wanita yang terus berdecak kagum, tak henti-hentinya memuji. Tatapan penuh damba yang terisrat jelas dari sorot mata, begitu mendambakan sosoknya. Tak ada yang bisa mengelak pesona pria itu, karismanya begitu kentara ditambah senyuman manis yang terpatri di wajah tampannya, mampu melelehkan hati para wanita. Pria itu terus mengukir senyum menawannya, berjalan menuruni tangga sembari melambaikan tangan, lalu menyalami para tamu VVIP yang ada di barisan depan. "Selamat Pak Bara, semoga kedepannya Bee Start Entertainment akan semakin sukses menghasilkan artis-artis yang berkualitas. Saya harap kerja sama kita juga akan semakin lancar," ujar seorang pria paruh baya, mengulurkan tangannya. "Terima kasih Pak Wijaya, tentu. Saya nantikan project kerja sama selanjutnya," tutur pria yang dipanggil Bara, menyambut hangat uluran tangan lawan bicaranya. Namanya Bara Bramantyo, pemilik sekaligus pendiri Bee Start Entertainment dengan jabatan sebagai CEO. Bee Start Entertaiment sendiri merupakan perusahaan yang bergerak di bidang industri hiburan, namanya sedang jadi perbincangan hangat di masyarakat karena berhasil mendebutkan banyak artis papan atas, musisi berkualitas dan juga model-model dengan visual yang nyaris sempurna. Pantas saja jika di umurnya yang masih terbilang muda di dunia hiburan, namun siapa sangka jika pengaruhnya sudah begitu besar bagi industri hiburan tanah air. Di tahun ke-5, sudah banyak artis terkenal debutan BS Entertaiment yang berseliweran di televisi dan juga bioskop, bahkan ada yang sampai go internasional dengan membintangi film Hollywood. Belum lagi musisi dan model debutan BS yang tak kalah berkualitas, suara emas musisinya patut diacungi jempol, ditambah visual-visual BS selalu yang terbaik di kalangan agensi-agensi lain. "Bara." Bara menoleh ketika mendengar namanya dipanggil. "Iya, Pa." Bara berbalik, menyambut seorang pria paruh baya yang tak lain papanya sendiri. Agung Bramantyo, pebisnis legendaris pendiri Agung Group. Salah satu perusahaan terbesar di Indonesia yang memiliki banyak cabang perusahaan dari berbagai bidang seperti properti, kesehatan dan elektronik. Namanya sangat berpengaruh di dunia bisnis, banyak pembangunan di Indonesia yang dikerjakan oleh perusahaan konstruksi miliknya, Agung Karya (persero), tbk. "Papa mau kenalkan kamu ke teman papa," kata Agung saat tiba di depan Bara. "Siapa?" Bara menaikkan sebelah alisnya. "Om Hans, kamu masih ingat kan?" jawab Agung. "Dia datang sama anaknya." Agung menambahkan. Sudah Bara duga, pasti ujung-ujungnya papa berniat menjodohkan Bara. Ini bukan kali pertama papanya menjodohkan Bara dengan anak-anak koleganya. Belum lagi sang mama, wanita sosialita itu selalu saja melelang Bara pada ibu-ibu arisan. Mamanya lebih gila, kadang juga menjebak Bara dalam kencan buta yang sudah dia rencanakan dan Bara membenci semua itu. Bara belum ingin berkomitmen, ia tidak mau terikat dengan hubungan apa pun. Bara masih ingin bermain-main, menikmati masa mudanya yang sebentar lagi akan berakhir karena dirinya kini sudah menginjak umur dua puluh delapan tahun dan sebentar lagi Bara akan memasuki kepala tiga. "Bara gak bisa Pa, Bara------" Bara tercekat ketika suara lain menginterupsi, mengalihkan atensi Bara dan papanya. "Bar." Bara mengembuskan napas kasar, memejamkan mata, menelan kekesalannya saat melihat sang mama datang dengan dua orang di sampingnya. "Bar, kenalin ini Moza anaknya Om Hans, kamu ingat kan? Teman kecil kamu, ingat kan? Dulu kalian sering banget main berdua," ujar mamanya, Anggita Bramantyo. Bara melirik wanita cantik di samping mamanya, dia ingat. Namanya Mozakilla, anak perempuan yang selalu mengikutinya ke mana pun Bara pergi dan Bara tidak menyukainya, karena Moza cengeng, manja dan berisik. Bagi Bara hanya pengganggu. "Selamat ya, Bar." Moza mengulurkan tangannya ke depan Bara. Bara mengangguk, meski enggan tapi dia harus tetap melakukannya jika tidak kedua orangtuanya akan berubah jadi beruang ganas yang siap menerkamnya. "Selamat Bar, om gak nyangka kamu sekarang sesukses ini. Padahal seingat om baru kemarin lihat kamu main sama Moza." Pria di samping Moza yang tak lain papanya, Hans Hutomo. Berganti menyalami Bara. "Makasih Om," balas Bara. "Oh, ya Om. Bara masih harus menyapa tamu yang lain jadi Bara pamit undur diri." Bara beralih ke mama papanya. "Ma, Pa. Bara ke sana dulu." Bara mengulas senyum. "Permisi." Setelah itu Bara segera pergi, dia tidak suka berada di situasi yang membuatnya tidak nyaman. Acara selesai pukul sebelas malam, Bara tak langsung pulang ke rumahnya. Bara melajukan mobilnya menuju club yang sering dia datangi bersama teman-temannya. Membutuhkan waktu tiga puluh menit dari hotel papanya menuju club. Karena jalanan yang begitu lenggang, akhirnya Bara tiba di club tepat waktu. Bara masuk, disambut beberapa wanita yang langsung bergelayutan manja di lengannya. "Malam ini sama aku yuk," ajak wanita bergaun seksi dengan belahan dada rendah, berbisik di telinga Bara. Suaranya yang seksi jelas begitu menggoda, apalagi bodinya tak perlu diragukan lagi. Dada sebesar pepaya gandul dan pantat seperti semangka sekal jelas menggiurkan untuk permainan satu malamnya. Sayangnya tujuan Bara bukan untuk itu. "Sorry girl, aku sudah ada janji," ucap Bara di telinga wanita itu, tangannya meremas semangka sekal milik wanita itu. "Kalau gitu sama aku aja gimana?" wanita di samping kiri mulai beraksi, sangaja menempelkan pepaya gandulnya di lengan Bara. Astaga! Resiko masuk rumah setan, banyak godaannya. "Sorry Pretty, aku sudah ada yang membooking malam ini. Bye." Tangan laknat Bara menampar pantat wanita yang ia panggil Pretty sebelum pergi, melambaikan tangannya pada kedua wanita seksi itu. "Next time ya Bar!" teriak wanita berbelahan dada rendah, masih berharap. Tapi Bara hanya mengacungkan jempolnya. Bara si tukang modus, pengumbar banyak janji tapi tak pernah ditepati. Hobi mempermainkan wanita dan anti berkomitmen. Begitu banyak korban rayuan Bara, membuat dirinya mendapat julukan Playboy Kampret dari para wanita yang sudah Bara sakiti. Meski begitu para wanita masih banyak yang mengantri pada Bara, pesona Bara membuat mereka berbondong mendatangi Bara bahkan dengan suka rela memberikan aset mereka secara cuma-cuma. Tapi Bara ini tipikal cowok pemilih, tidak semua wanita cantik masuk kriteria teman tidur sesaatnya. "Hai Mabrow," seru seorang pria yang duduk di sofa, beranjak berdiri menyambut kedatangan Bara. Pria dengan pakaian necis, rambut klimis dan sedikit kumis tipis. Wajahnya blasteran Rusia-Indonseia. Tampan? Sudah pasti, hidungnya mancung, bibirnya seksi, alisnya tebal. Dia, Leon Artadipura. Ibunya asli Rusia, sementara Ayahnya asli Indonesia. Seorang mantan Hakim yang memiliki firma hukum dan Leon salah satu pengacara yang bekerja di firma hukum ayahnya. "Kirain gak bakal datang," ucap pria yang duduk di sofa. Kalau yang ini namanya Sean, pria tampan, berkarisma. Visualnya tak kalah tampan dari Leon, hanya saja Sean berdarah campuran Korea-Indonesia. Orangtuanya seorang selebritas, sementara Sean sendiri mengikuti jejak mereka hanya beda jalur. Sean mengambil jalur musik, menjadi musisi dan sekarang dia sudah memiliki label rekaman sendiri, Sean juga memilki beberapa kafe yang dikelola untuk mengisi waktu luangnya. Bara terkekeh, menyalami mereka satu-satu dengan gaya laki yang sering mereka pakai. Yaitu mempertemukan dua tangan yang saling terkepal. "Gimana acaranya?" tanya pria yang duduk di ujung. Nah, yang satu ini buaya darat kelas kakap. Paling gila di antara mereka. Namanya Rehan Dirgantara, seorang Ceo perusahaan start-up Goflash. Perushaan yang bergerak di bidang aplikasi smartphone, Rehan sendiri merupakan anak Aryo Digantara, pemilik perusahaan salah satu maskapai penerbangan. Mereka berteman dari SMA dengan latar belakang dan sifat yang berbeda-beda. Tapi mereka berempat memiliki kesamaan yang membuat mereka bisa sejauh ini. Sama-sama memilki hobi mempermainkan wanita, hal itu sudah mendarah daging semenjak mereka SMA. "Baik." Bara duduk di sebelah Sean, meraih botol wine dan menuangkannya ke gelas sloki. "Kalian sudah ada rencana?" tanya Rehan. Ketiganya menoleh, menatap Rehan dengan tatapan bertanya. Rehan menghela napas kasar. Apa hanya dirinya yang antusias, sampai hanya dia sendiri yang ingat? "Reuni besok," ucap Rehan. "Oh, palingan juga sama saja seperti tahun kemarin," kata Bara, tampak tak berminat. "Gak ada yang menarik." "Jadi gimana soal targetnya? Kamu sudah menemukannya?" sahut Sean, mengambil gelas bir-nya, meneguk bir sampai tersisa setengah. "Gimana kalau Sarah? Dia sekarang makin seksi." Rehan memberikan ipadnya ke Sean, di mana terdapat kumpulan calon target yang sudah Rehan kumpulkan. "Cantik," komentar Sean. "Menurut kamu gimana Bar?" Sean menunjukkan foto Sarah ke Bara. "Gak ada yang lain?" ucapnya. "Jangan yang pernah jadi target kita, bosen." Ketiganya mengernyit, berpikir. "Terus siapa?" Leon angkat bicara. "Hampir semua cewek di angkatn kita sudah pernah kita jadikan target," tutur Leon, mengingat kejayaan mereka waktu SMA karena berhasil menaklukkan banyak anak perempuan di sekolahannya. "Ada satu," celetuk Rehan. "Siapa?" Serempak Leon dan Sean bertanya, sementara Bara menoleh ke Rehan. Ketiganya menunggu Rehan menyebutkan siapa perempuan yang belum pernah menjadi target permainan mereka. "Regita Safira," ucap Rehan. Ketiganya terdiam. Nama yang sangat familiar, jelas saja, karena itu nama salah satu siswa di angkatannya dan dulu satu kelas dengan mereka berempat saat kelas XII. Cewek cupu yang selalu jadi objek buli mereka berempat dan selalu menerima penindasan serta perlakuan tidak menyenangkan dari mereka. Bukan tanpa alasan dia menjadi target pembulian oleh Bara dan teman-temannya, karena cewek itu menolak mereka berempat sehingga memancing kemarahan keempatnya hingga akhirnya dijadikan target bulian selama satu tahun. Leon mendecih. "Si cupu?" beonya. "Dia saja gak tahu ada di mana, gak ada kabar. Menghilang bagai ditelan bumi." Leon mendramatisir. Tapi memang benar ucapan Leon, cewek bernama Regita memang tidak pernah muncul setiap kali reuni diadakan. Selama sembilan tahun tidak ada yang tahu keberadaan Regita di mana, hingga detik ini pun sepertinya tidak ada yang tahu. Bara termenung, mendengar nama itu kembali disebut mengingatkannya pada kejadian sembilan tahun yang lalu, kejadian yang membuat otaknya mendidih dan membakar hatinya. Bara berdiri di depan pintu toilet, napasnya memburu, di matanya berkilat amarahnya yang sudah mengebu-gebu. Saat seseorang melangkah keluar dari toilet, Bara langsung menarik lengan cewek itu, mendorong tubuhnya ke dinding lalu menghimpitnya. "Bara!" cewek itu memekik, matanya melotot. Bara menyeringai, memposisikan kedua tangannya di kedua sisi kepala cewek itu, mengurungnya. Kepalanya tertunduk, mata Bara menjurus ke bibir ranum yang membuatnya menelan ludah kasar setiap kali melihatnya. "Mau apa kam-----mmmp!" Bara membungkam cewek itu, menciumnya tanpa izin. Cewek itu memberontak, mengumpulkan seluruh tenaganya, kemudian mendorong Bara mundur. Tangannya melayang menampar pipi Bara. Bara tercengang, tak menyangka akan mendapat perlakuan memalukan. Dia menatap cewek yang kini tengah menangis di depannya. Bara mendecih, dia benci setiap kali mengingatnya. Bahkan Bara bersumpah, jika dia bertemu dengan cewek itu lagi. Bara tak akan melepaskannya, Bara akan menjadikannya target permainan, kalau perlu menyeretnya ke ranjang. Bara benar-benar mendambakan hari itu. Regita Safira! Target selanjutnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD