Part 2

964 Words
"Zela!" "Azela!" "Azela! Ada apa sayang?" Azela mengerjapkan matanya, nafasnya terengah, kembali memejamkan matanya sebelum tersenyum tipis menyadari siapa yang tengah menatapnya dengan cemas. "Hanya mimpi, Bu," Sahutnya menggeliat merenggangkan tubuh mungilnya yang masih bergelung di balik selimut. "Ya sudah, sebaiknya kau bergegas kekantor." Azela mengangguk membiarkan ibunya menghilang dibalik pintu kamarnya. Ia menarik nafasnya dalam-dalam.  Menyentuh dadanya dimana detak jantungnya masih menggila. Mata tajam itu. Nafas yang terengah. Bibir yang menggeram rendah. Dan jemari jamari yang meninggalkan jejak panas yang membara ditubuhnya. Azela memejamkan matanya sejenak, menghembuskan nafasnya dengan pelan berusaha menenagkan dirinya sebelum kedua kakinya beringsut dari balik se limut, bergegas bangkit merenggangkan tubuh mungilnya sebelum menyentuh rambut coklat berantakannya dengan jemari jemari lentiknya.  Getaran ponsel di nakasnya mebuat ia menoleh sebelum meraih dan mengusap layar yang sedang menunjukkan nama kekasihnya disana.  "Morning, Azela." "Morning."  "Kau dimana, Sayang? Jam kerja sudah dimulai. Kau bahkan tidak datang ke acara-" Kedua mata coklat itu bergerak cepat kearah jam di atas nakasnya, membulat menyadari angka disana sebelum membating ponselnya dan melesat cepat mengambil handuk dan memasuki kamar mandi dengan suara bedebum keras. Azela terlambat. ** Azela melangkah cepat memasuki lobby perusahaan. Tangannya sama sekali tidak lepas dari tasnya mencari kacamatanya yang sialnya entah dimana saat ini. "Ya Tuhan! Kacamataku!"  Grutu Azela, Ia memekik saat seseorang menabrak bahunya dengan keras hingga ia nyaris terjatuh. "Ah, Maaf!"  Gumamnya. Namun, ia tetap berjalan dengan berbagai gerutuan dan tangan yang masih mengaduk isi tasnya. Gadis itu sama sekali tidak mengetahui bahwa pria yang baru saja menabrak bahunya sedang menatapnya dengan tatapan mengerikannya. "Aku bahkan tidak melihatnya," geramnya kembali melangkah menuju mobil yang sudah siap menunggunya. Ia ada rapat penting di luar sana dan gadis yang entah datang dari mana itu mengacaukan segalanya.  "Harry, apa kau melihatnya?" "Melihat apa Tuan?" Tanya Harry pada tuannya, Leo menghela nafasnya. Teringat dengan suara yang membuat sesuatu dalam dirinya begejolak.  "Lupakan." Ia mengetatkan rahangnya, mengingat siapa gadis tersebut yang mungkin akan menemui kekasihnya yang tidak lain adalah bawahannya yang sempat mengundangnya makan malam kemarin. Ah, ia harus menemui seseorang. ***    Pria itu melangkahkan kakinya memasuki gang sempit yang cukup gelap karena dihimpit oleh gedung-gedung pencakar langit yang menjulang, Ia menghentikan langkahnya saat bertemu seorang pria yang sedang bersandar pada dinding lembab dengan lintingan mematikan yang terselip di antara bibirnya. Pria dengan kedua tangan yang dimasukkan kedalam saku celana pudarnya yang sobek di bagian lutut itu jelas menyadari kehadirannya. "Aku sudah selesai." "Baiklah." Suara berat itu terdengar, melempar sisa lintingan kelantai sebelum berdiri dengan tegak menghadap pria yang sedang melepas simpul pada dasinya. "Hanya sebentar dan aku sudah muak melihat tumpukan kertas sialan itu." Pria itu melepaskan jasnya bersamaan dengan pria di hadapannya yang juga melepas hoodie abu abunya. "Kembali dan temui Stevan." Bisik pria dengan tatapan tajam dengan kilat mengerikan itu. Sekilas mereka terlihat sama tanpa cela, hidung yang begitu angkuh disana atau bongkahan bisep yang terlihat sama kokohnya, Namun pria dengan lengkungan bibir yang mebuat siapapun menelan ludahnya itu memiliki sepasang mata dan rambut legam yang membuatnya lebih mempesona. "Aku memang akan pulang." "Tetap berhati hati." "Aku sudah bosan mendengarnya, ah yah. Harry menunggumu diluar, mungkin dengan segelas Chapuchino?" "Kenapa bukan kau saja yang membeli dan memberikannnya padaku?" Pria dengan setelan kantornya itu tertawa sinis, sebelum memutar bolamata hijaunya dengan sedikit kesal. "Aku mungkin bisa berpura-pura menjadi dirimu. Tapi aku bersumpah, mencium baunya saja sudah membuatku mual."  "Terserah kau saja, Kalvian. Aku ingin menemui ibuku."  "Ya. Jangan lupa untuk mencari calon istrimu." "Brengsek" Leo melangkah memasuki lobby perusahaannya. Semua orang menunduk memberi hormat padanya dan seperti biasa ia hanya berjalan tanpa menjawab bahkan menoleh. "Rafa. Kau dimana?" Lagi-lagi dengan mudahnya segala perhatiannya teralihkan ketika mendengar suara itu lagi. Ini bukan kedua kalinya ia terganggu dengan suara itu. Leo menajamkan matanya, memberi tanda agar Louis dan Harry menjauh dan memberi ruang untuknya dan gadis entah siapa yang berani berkeliaran di perusahannya hanya karna dia kekasih salah satu Manager disin. "Kemana kau setelah makan siang?" Leo menoleh menatap gadis dengan pakaian yang ia gunakan sama seperti pagi tadi. Apa yang dilakukan gadis yang seharusnya mengunjungi dosen pembimbingnya berkeliaran diperusahaannya? Oh sayang sekali, dia harus berhadapan dengannya dalam suasana yang sangat buruk. "Sudah bertemu kekasihmu, Nona?" Gadis itu mengangkat wajahnya, keningnya mengerut seraya memperbaiki letak kacamatanya yang mengendur. "Maaf, kau bicara padaku?"  "Tentu saja. Memangnya siapa lagi?" Kepalanya bergerak seolah mencari mahluk lain di sekitar mereka namun Leo sudah mengusir Harry dan Louis-sekretarisnya. "Hmm, ada yang bisa aku bantu?" "Kenapa kau berkeliaran di perusahaanku?" "Perusahaanmu?!"  Leo mengernyit tidak nyaman saat gadis dihadapannya menjerit tertahankan. Apa apaan ini? "Maaf, apa aku melakukan sesuatu?" "Ya, kau melakukan sesuatu seperti menabrakku dan minta maaf dengan cara tidak sopan." "Ya Tuhan. Maafkan aku." Gadis itu menunduk takut-takut menatap wajahnya.  "Satu lagi." Leo benar-benar tidak nyaman dengan kacamata yang menghalangi pemandangannya untuk menikmati ketakutan gadis di hadapannya. "Bagaimana bisa anak kecil sepertimu berkeliaran di sini?"  "Anak kecil? Maaf, Tuan. Aku bukan anak kecil. Dan aku sudah bekerja di sini hampir dua tahun," Sahutnya tidak terima yang membuat Leo terdiam seraya mengusap dagunya dengan mata menajam penuh perhitungan pada sosok gadis yang hanya setinggi dagunya.   "Kau sedang tidak membohongiku, bukan?" "Tidak sama sekali, Tuan bisa bertanya pada Manager Rafael." Leo makin memicingkan matanya saat gadis itu menggigit bibir bawahnya yang entah mengapa begitu menggoda untuk segera dilumat olehnya. A-pa? Leo diam diam mengepalkan jemarinya. Gadis itu jelas sedang gelisah, entah karena tidak nyaman dengan kehadirannya atau ia sedang terburu-buru untuk pergi kesuatu tempat. "Sekali lagi, maafkan aku karena sudah menabrakmu dan meminta maaf dengan cara tidak sopan Tuan. Tapi aku harus pergi, Permisi." Ia menuduk sekilas memberi hormat sebelum melangkah dengan cepat hingga menabrak beberapa orang yang dilaluinya didepan loby. Gadis yang ceroboh dan.. Brengsek. Leo mengetatkan rahangnya. Ada yang sedang dalam dirinya bergejolak, membangunkan sesuatu yang tak pernah bisa ia kendalikan selama hidupnya. Bagaimana bisa seorang Leo, goyah semudah ini?    Oh, tidak.    Leo harus segera mencari tahu. "Harry!" ** 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD