Bab 9: Back to Campus

1298 Words
“Tidur aja lagi kalau masih ngantuk, daripada ketiduran di kelas. Aku paling gak suka lihat mahasiswa ketiduran saat kuliah,” kata Evan tanpa berpaling dari layar monitornya saat Amara meletakkan gelas kopinya. Gadis itu hanya memberengut. Ia jadi membayangkan tipe dosen seperti apa suaminya itu. Dingin. Hanya ngomong seperlunya. Killer? Amara bergidik ngeri. Ia memilih kembali ke ruang tidur dan merebahkan diri. Tapi ia tak bisa tidur lagi. Rasanya aneh ia malah kembali tertidur sementara suaminya yang memiliki tempat yang ia tinggali sedang bekerja. Amara akhirnya mengambil air wudhu dan mengerjakan solat malam. Setelahnya ia membuka laptopnya sambil duduk berselonjor di atas tempat tidur. Saat subuh akhirnya tiba, Evan muncul di ambang ruang tidur. “Gak tidur lagi? Ayo solat,” ajaknya. Evan tampak sudah mengenakan sarungnya. Apa sejak tadi ia bersarung? Amara bangkit mengikuti suaminya menuju space kecil yang difungsikan Evan sebagai mushola. Ia belum melepas mukenanya sejak tadi. Suasana pagi seperti ini memang terasa lebih syahdu. Dunia masih begitu tenang. Tak ada hiruk pikuk. Evan melanjutkan kegiatannya dengan berolahraga di luar. Ada jogging track sebagai bagian dari fasilitas apartemen. Biasanya selepas subuh belum begitu ramai. Berbeda dengan Evan, Amara lebih memilih menyiapkan sarapan mereka. Ia masih memiliki nasi yang bisa ia olah menjadi nasi goreng dengan menambah sosis dan menggoreng telor mata sapi nanti. “Kamu punya sepatu olahraga kan?” tanya Evan sambil mengikat tali sepatunya. “Ada.” “Nanti diambil. Kapan-kapan kita jogging bareng.” “Mas Evan aku siapkan nasi goreng buat sarapan gak apa-apa kan? Nasi semalem masih ada.” “Iya. Aku keluar. Gak usah masukin orang kalau aku gak ada.” “Iya.” * Begitu Evan selesai jogging empat puluh menit kemudian, sudah tersedia nasi goreng dan telor mata sapi serta kerupuk di atas meja. Amara tidak terlihat tapi terdengar bunyi air dari kamar mandi. Evan mengambil air putih dan meneguknya dengan cepat beberapa tegukan. Ia kemudian menyalakan televisi mendengarkan berita pagi. Tak lama Amara keluar dari kamar mandi dengan wajah segar. Evan ganti menuju kamar mandi. “Mas Evan, mau dibikinin minum apa?” tanya Amara sebelum Evan menutup pintu kamar mandi. “Kopi.” “Tadi sudah ngopi lho, Mas.” Amara menyalakan ketel listrik kemudian beranjak ke ruang tidur untuk mengganti bajunya. Ia sedang menyeduh dua gelas teh saat Evan keluar dari kamar mandi hanya dengan mengenakan handuk di pinggangnya. Evan terbiasa keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk di pinggangnya, tak ingat jika sekarang ia hidup berdua dengan seorang perempuan. Begitu selesai berpakaian, ia segera bergabung dengan Amara yang juga sudah siap dengan pakaian untuk ke kampus. Evan menyeruput teh yang sudah disediakan istrinya, kemudian mengambil piring kosong dan menyendok nasi goreng ke piringnya. “Ini nasi semalam kamu goreng semua?” “Iya. Mas pulang sore kan hari ini?” “Iya. Jadi ambil motor? Nanti motormu ditaroh aja di parkiran. Nanti aku tunjukkan tempatnya.” “Pulangnya aku sekalian belanja ya, Mas?” “Kalau butuh perabot kamu catat dulu, nanti Sabtu atau Minggu kita belinya kalau libur.” Amara tersenyum mengiyakan. Ada saat tertentu Evan terasa begitu hangat dan perhatian. Tapi ia lebih banyak terkesan begitu dingin dan jauh. “Itu nasi goreng lebihannya masukin kotak bekal aja, Ra, biar aku bawa buat siang.” Amara tertegun sesaat tapi lalu beranjak mencari kotak bekal. “Aku bikinin telor gorengnya ya.” “Didadar aja, Ra,” kata Evan sambil mengemasi laptop dan perangkat mengajarnya ke dalam tas. Amara mengangguk. Ia paham kini, suaminya lebih menyukai telur dadar daripada telur mata sapi. Sambil menunggu telurnya masak sempurna, ia mengambil kotak bekal dan memindahkan nasinya. Setelah bekal untuk suaminya siap, ia memoles sedikit wajahnya dengan skincare dan bedak kemudian mengenakan kerudungnya. Evan sudah selesai dengan tas dan sepatunya, ia kemudian menuju dispenser untuk mengisi tumblernya. Amara memperhatikan apa saja kebiasaan suaminya itu. “Mas selalu bawa tumbler?” “Iya. Masalah sampah di kota ini sudah cukup kritis. Kita yang harus mengurangi sampah-sampah itu dari diri kita sendiri.” Amara hanya mengangguk. Mereka kemudian meninggalkan apartemen jam 6.30 dengan Amara yang masih meninggalkan PR cucian piring kotor. * Amara membonceng Evan menuju rumah kedua orang tuanya. Ia sudah mengabari mereka akan mampir ke rumah untuk mengambil motornya. “Aku langsung ya. Ada yang harus kusiapkan.” “Iya. Makasih ya, Mas. Hati-hati,” Amara mengulurkan tangan ke hadapan Evan kemudian mencium punggung tangan suaminya itu. “Assalamualaikum,” Evan kembali menarik gas motornya. Dia memang harus mengecek lab komputer terlebih dahulu sebelum memulai kelasnya. “Lho kok sendiri?” tanya ibunya saat Amara masuk ke dalam rumah. “Mas Evan ngajar pagi, jadi langsung ke kampus. Ara cuma ambil motor ya, Bu, nanti habis dari kampus Ara mampir ke sini lagi. “Mau kamu bawa kan, motornya?” tanya bapak. “Nggih, Pak. Biar gak usah antar jemput. Mas Evan padat jadwal ngajarnya.” “Dia baik kan, Nduk?” “Baik kok, Bu. Ibuk, Ara perlu bumbu-bumbu deh buat di apartemen.” “Bumbu dasar saja ya. Biar nanti Ibu siapkan.” “Nanti Ara mampir sini habis dari kampus. Ara pergi dulu,” Amara mencium tangan ibu bapaknya dengan buru-buru sebelum kembali keluar. Motornya sudah siap di depan sejak tadi ia memberi kabar. * Evan baru saja duduk di kursinya saat Haryo, kawannya yang satu angkatan dengannya, mendekat dengan kedua tangan ia simpan di saku celananya. “Gimana? Udah gol?” tanyanya menggoda Evan. Haryo tahu Evan tak pernah dekat dengan satu perempuan pun, bahkan teman laki-lakinya pun bisa dihitung jari, jadi ketika sahabatnya itu mengabarinya akan menikah, Haryo seperti mendapat serangan jantung. Ia hadir di acara pernikahan Evan, baik saat ijab maupun resepsi, dan ia tahu bagaimana sahabatnya itu tiba-tiba saja menikah. “Jangan berisik. Awas aja kalau sampai ramai.” “Yayaya. Asal uang tutup mulutnya sesuai, bereslah.” “Aku ada kelas di lab,” Evan mengambil beberapa berkas yang dibutuhkannya sebelum kembali bersiap keluar dari ruangan yang ditempati bersama beberapa dosen lain itu. “Nanti siang di kantin, aku mau dengar ceritamu,” kata Haryo. “Aku bawa bekal. Gak ke kantin.” “What? Gak bisa gitu dong bro,” Haryo kecewa karena kehilangan kesempatan makan siang gratis. Evan melangkah cuek meninggalkan sahabatnya. Ia tahu Haryo tak akan menyerah untuk mengorek keterangan apapun yang diinginkannya. Tapi Evan juga bukan orang yang mudah berbagi cerita pribadinya. Ia tak ingin rekan kerjanya tahu banyak tentang kehidupan pribadinya. Sama seperti ia juga tak ingin tahu tentang kehidupan pribadi rekan-rekannya yang lain. Bagi Evan, ia datang ke tempat itu untuk bekerja. Dan cukuplah hubungan itu sebatas rekan kerja. Dia akan melakukan pekerjaannya sebaik dan seprofesional mungkin, tanpa perlu terlibat dalam hal-hal pribadi orang lain. * Amara sampai ke parkiran kampus berbarengan dengan dua sahabatnya yang datang berboncengan. Mereka sudah saling mengenal sejak awal ospek dulu saat masih baru lulus dari sekolah menengah atas. “Ciye ciye ciye,” goda mereka pada Amara yang masih belum turun dari motornya. “Ssst awas berisik,” ancam Amara sambil melotot pada keduanya. Mereka hanya tertawa renyah. Bahkan pesan mereka belum Amara balas sejak tiga hari lalu. “Gimana pak dosen? Sibuk bener sampai chat kita dianggurin.” “Chat gak bener,” semprot Amara sewot. “Kayaknya kamu malah dapet ganti yang lebih baik ya, Ra. Dosen negeri. Udah punya penghasilan dan kelihatan lebih bertanggung jawab daripada pacar kamu yang tukang selengki itu.” “Selingkuh membawa berkah. Iya enggak, Ra?” “Doain aja aku bakal baik-baik saja sama Mas Evan.” “Oh, Mas Evan?” “Kapan kita mau dikenalin? Siapa tahu ada teman dosennya yang jomblo.” Amara hanya menggelengkan kepala sambil berjalan meninggalkan tempat parkir. Sekilas ia melihat Darrel dari kejauhan. “Ra, itu bukannya…” Amara bergegas masuk ke gedung kampus diikuti kedua sahabatnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD