"Cukup!"
Ratna kembali membentak dengan suara yang sangat tinggi. Wanita itu mencekal tangan Elea dengan cukup kuat hingga wanita itu kesakitan. "Katakan, apa maksudmu berbuat seperti itu? Kau ingin membuat keluarga kakakmu malu, iya?" sergah Ratna begitu geram.
"Ibu, aku hanya terkejut. Kenapa kakak tiba-tiba menikah? Apa ibu tahu siapa pria itu?" Elea mencoba sebaik mungkin tidak membongkar rahasia itu di depan ibunya. Tapi ia juga harus memberitahu mereka kalau Rain bukanlah pria yang baik untuk kakaknya.
"Tentu saja, dia Rain Arthur Alvarendra. Pewaris tunggal perusahaan High Empire. Kenapa? Apa kau merasa iri dengan kakakmu? Dia bisa menikah dengan orang yang berada?" tuding Ratna.
"Ck, ini bukan tentang kekayaan. Tapi pria itu bukanlah pria yang baik untuk kak Vania, dia–"
"Sebelum kau mengolok-olok menantuku, lebih baik berkaca pada dirimu. Lihat, sudah berapa lama kau tidak pulang ke rumah, ha? Anak perempuan tidak tahu diri, kalau kau memang sudah tidak mau diatur lagi, lebih baik enyah dari rumah ini!" hardik Ratna menatap Elea penuh amarah.
Bagaimana tidak marah, Elea sudah tidak pulang berhari-hari, tapi sekalinya pulang justru hampir saja merusak suasana pernikahan putri pertamanya.
Elea mengeraskan rahangnya, rasa kesal itu kian bertambah mendengar ucapan itu dari mulut ibunya sendiri. "Aku tidak pulang punya alasan–"
"Alasan apa? Jangan mencoba menutupi kesalahanmu ya, Elea. Aku tahu betul, kau tidak pulang karena dugem bersama teman-temanmu yang liar itu 'kan?"
Elea ingin membantah tapi Ratna sudah lebih dulu mengangkat tangannya. "Untuk kali ini ibu memaafkanmu, tapi sekali saja kamu membuat keributan atau membuat nama keluarga kami malu. Bersiaplah untuk angkat kaki dari rumah ini," tukas Ratna.
"Tidak perlu menunggu lain kali, hari ini juga aku akan pergi dari sini."
Elea langsung berontak, hatinya sudah lelah untuk bertahan dengan keluarga yang sangat egois ini. Untuk apa terus bertahan jika kehadirannya tidak dianggap? Lebih baik tidak ada sekalian.
"Ibu sepertinya memang sangat membenciku 'kan? Aku akan mewujudkan keinginan ibu, detik ini juga. Aku akan pergi dari rumah ini," ucap Elea berusaha untuk tidak menangis, ia langsung pergi meninggalkan ibunya tapi wanita mencoba mencegah.
"Dasar anak gila, mau apalagi dia?"
Ratna terlihat semakin marah, ia menyusul Elea agar anak itu tidak membuat keributan lagi. Tapi Elea yang benar-benar sudah muak tak peduli, wanita itu masuk ke dalam kamar dan mengambil semua pakaiannya yang ada di lemari.
"Elea, hentikan tingkahmu ini. Diluar masih ada banyak tamu, kau ingin membuat ibumu ini malu?" seru Ratna.
Elea tidak menggubrisnya, wanita itu tetap memasukkan semua baju-baju itu. Hingga terlihat Damar–ayah Elea beserta Vania–kakak Elea datang menghampirinya ke kamar.
"Elea, ada apa ini?" tanya Damar bingung.
"Anakmu itu memang gila, Mas. Dia ingin membuat keluarga kita malu, cepat hentikan dia," omel Ratna.
"Elea, tenangkan dirimu. Kita bisa bicara baik-baik nanti. Ayah mohon, tenanglah, Nak." Damar kembali membujuk putrinya, pria itu mendekati Elea lalu menyentuh lengannya dengan lembut.
Sentuhan itu nyatanya mampu membuat rasa marah dalam diri Elea mulai meredup. Tatapan mata sayu itu ia perlihatkan kepada sang ayah.
"Kalau aku memang anak ayah, kenapa harus merahasiakan hal sebesar ini? Apa aku memang tidak pantas untuk mendapatkan kabar bahagia kakak?" lirih Elea.
"Elea, itu sama sekali tidak benar." Vania ikut mendekati adiknya, wanita yang masih menggunakan gaun pengantin itu segera memeluk Elea dengan perlahan. "Maafkan kakak kalau tidak menunggumu pulang. Ini semua benar-benar diluar kendali kami dan kami tidak bisa menolak. Percayalah kakak sangat ingin kamu ada, tapi–"
"Intinya sama saja 'kan? Kakak tetap menikah tanpa kehadiranku," tukas Elea.
"Bukan seperti itu, kamu dengarkan kakak dulu."
"Tidak, sekarang aku sudah tahu posisiku disini. Lebih baik aku pergi 'kan? Ada dan tidaknya aku, tidak berpengaruh untuk kalian." Elea melepaskan pelukan kakaknya, sudah tak ingin lagi menambah luka hatinya dengan terus bertahan di rumah yang bahkan tidak pernah menganggapnya ada.
Bukan sekali dua kali kejadian seperti ini terjadi. Tapi sering sekali, bahkan hampir setiap ada hal yang penting, Elea tidak pernah terlibat didalamnya. Ibunya selalu menganggap kalau Elea adalah orang yang akan merusak segalanya. Ia tahu sikapnya terkadang kekanakan, tapi bukankah membiarkannya akan lebih baik? Bukan seperti ini.
Ayah dan Kakak Elea masih berusaha membujuk, tapi hal itu tidak merubah keinginan Elea sama sekali. Ia tetap ingin pergi dari rumah itu sebelum terdengar suara bass yang mengejutkan seluruh orang yang ada di kamar itu.
"Permisi, apa aku boleh berbicara sebentar?" Rain, sosok pria gagah dengan mata setajam elang itu berdiri diambang pintu. Entah sejak kapan pria itu ada disana, tapi tatapan pria itu hanya berpusat kepada satu orang, yaitu Elea.
"Nak Rain, ya ampun. Maaf sampai harus membuatmu menunggu, Vania sebentar lagi kesana. Nak Rain mungkin bisa menunggu diluar. Ayo Vania, temani suamimu," tutur Ratna segera pasang badan, tidak akan membiarkan menantunya yang kaya itu akan melihat tingkah menyebalkan dari Elea.
"Oh tidak apa-apa, Bibi. Aku rasa disini ada kesalahpahaman sedikit. Bolehkah aku berkenalan, siapa wanita cantik disamping istriku ini?" Rain tersenyum tipis tanpa beban, dengan tenang mendekati Vania yang berdiri di samping Elea.
"Mas." Vania sedikit gugup, pasalnya baru pertama kali ini suaminya ini menyebut dirinya sebagai seorang istri. Sebelumnya hanya obrolan formal yang sangat canggung.
Rain kembali tersenyum meski risih dengan panggilan itu. "Ya, Vania. Aku tidak pernah melihat gadis ini sebelumnya, apakah dia kerabatmu dari jauh?" tanya Rain secara terang-terangan menatap kearah Elea.
"Bukan, Mas. Dia ini Elea, adikku." Vania mengenalkan Elea dengan bangga.
"Dia adikmu?" Rain terlihat cukup terkejut, sama sekali tidak menyangka jika wanita yang 3 hari lalu menyerahkan keperawanan padanya itu adalah adik dari istrinya saat ini. "Selamat datang adik ipar, namaku Rain," ucapnya sambil mengulurkan tangan.
Elea menggigit bibirnya, entahlah kenapa ia takut sekali dengan tatapan mata Rain ini. Tapi disatu sisi ia juga sangat muak, pria ini jelas sangat mengetahui siapa dirinya. Elea jadi yakin kalau pria ini memanglah pria brengsekkk yang gemar berganti-ganti wanita.
Sebagai formalitas, Elea menyambut uluran tangan itu. Namun, tiba-tiba saja Rain langsung menarik tubuhnya dengan cukup kuat hingga keduanya berpelukan.
"Kau–"
"Pepatah mengatakan tak kenal maka tak sayang, sekarang aku adalah suami kakakmu. Jadi, anggaplah aku sebagai kakakmu sendiri, oke?" ucap Rain tersenyum tipis sambil melirik kearah Vania. Namun, perlahan ia berbisik lembut di telinga Elea.
"Bukankah sudah aku katakan, larilah sejauh yang kau bisa karena sekali aku melihatmu, aku tidak akan melepaskanmu," bisik Rain sembari mengembuskan napas di telinga gadis itu.
Elea terkesiap, ia hampir saja mendorong Rain dengan kasar tapi pria itu sudah lebih dulu melepaskan pelukannya dan dengan santai mengulas senyuman tak berdosa.
"Aku rasa adikmu sudah bisa mengerti sekarang. Ayo kita ke depan, kamu dicariin Mama," ujar Rain pada Vania yang tampak tersenyum senang itu.
Sikap Rain tadi itu nyatanya tak membuat Vania marah, ia justru senang karena suaminya mau menerima adiknya dengan sepenuh hati.
"Elea, jangan marah lagi, ya. Percayalah kakak sangat menyayangimu, sekarang ayo berdandanlah yang cantik. Kau harus berkenalan dengan keluarga suami kakak," ujar Vania lembut.
"Tapi kak–"
"Sudah, biarkan kakakmu keluar. Kau bersiaplah, jangan membuat keributan kali. Ayo Vania, ajak suamimu keluar," tukas Ratna yang langsung memotong ucapan Elea. Wanita itu sudah muak dengan drama anak manjanya ini.
Elea menggigit bibirnya, sumpah demi apa pun ia ingin menjerit sekarang ini. Bingung harus bagaimana agar bisa keluar dari takdir yang sangat menyiksa ini.
"Arghhhhhhhh, aku harap ini benar-benar lelucon!" jerit batin Elea.
Bersambung