"Kau gila?"
Elea kaget sekali mendengar permintaan Rain itu. Tinggal bersama maksudnya mereka akan satu atap bersama Kakaknya dan akan melakukan pengkhianatan di depannya begitu? Elea membayangkan saja sudah merinding.
"Apa yang kau pikirkan?" Rain tersenyum tipis melihat wajah kaget Elea.
"Apalagi? Kau ini ingin semuanya terbongkar sekarang ya? Di rumah itu ada Kak Vania, bisa-bisa mereka curiga kalau aku tinggal di rumahmu," celetuk Elea.
"Hah! Ternyata kau tidak secerdas yang aku kira, Nona."
Rain menghela napas panjang, ia melepaskan Elea lalu bangkit dari duduknya. Pria itu mengambil bajunya lalu memakainya dengan cepat.
Elea yang melihat itu hanya bisa diam. Sial sekali, Rain ini ternyata sangat menggoda meskipun hanya diam saja. Bahkan hanya memakai baju saja gerakannya begitu menggoda iman. Kalau seperti ini terus, Elea takut hatinya akan serakah.
"Persiapkan saja semua keperluanmu. Setelah pulang kuliah Mario akan datang mengantarmu ke Apartemen yang baru," ucap Rain sambil lalu.
"Apartemen baru?" Mata Elea membelalak, kaget tentunya mendengar perkataan Rain.
Rain mengangguk singkat. "Aku tidak ingin saat aku membutuhkanmu kau banyak alasan. Mulai sekarang kau harus tinggal di tempat yang aku sediakan," kata Rain.
Elea menggelengkan kepalanya perlahan, masih kebingungan akan sikap Rain ini. "Tunggu, Rain. Kau ingin aku pisah rumah dengan orang tuaku? Bagaimana kalau mereka bertanya?"
Elea adalah anak rumahan yang sangat sekali pergi berhari-hari tidak pulang. Kecuali setelah malam panas itu Elea masih sangat syok sehingga ia tidak berani pulang ke rumah. Selebihnya ia selalu pulang ke rumah meski di rumah pun sama seperti di neraka. Tiada hari tanpa amarah dari ibunya meski Elea tidak melakukan kesalahan. Sepertinya di mata ibunya Elea hanya tempatnya salah.
"Itu urusanmu. Yang jelas aku tidak ingin repot," sahut Rain sedikit ketus. "Hari ini aku akan bekerja, uang jajanmu sudah aku transfer. Kalau kau bisa bekerja lebih dari semalam, aku akan memberikanmu bonus."
Elea semakin syok, buru-buru ia mengambil ponselnya dan mengecek sebuah notifikasi masuk. Saat melihat nominal yang tertulis disana Elea bertambah syok.
"500 juta? Astaga, dia membayarku sebanyak ini?"
Jiwa miskin Elea seolah meronta-ronta melihat uang yang dinilai sangat banyak itu. Bahkan uang sebelumnya masih sangat banyak, tapi Rain memberikannya uang lagi. Belum kartu unlimited yang diberikan Rain sebelumnya. Benar-benar definisi uang adalah segalanya.
"Apakah cukup?"
Elea melirik sekilas sebelum mengangguk pelan. Ia sedikit berdehem untuk menormalkan ekspresinya yang kaget tadi. "Aku rasa ini sepadan dengan apa yang aku berikan semalam. Jika ingin lebih, hancurkan dulu Mega Alexander. Maka semua yang kau katakan akan aku lakukan."
Rain terkekeh-kekeh, pria itu mendekati Elea yang masih bergelung dalam selimutnya yang tebal itu. Ia meraih dagunya dengan cukup kuat.
"Jangan menantangku kelinci kecil. Aku berani bertaruh setelah ini kau tidak bisa berjalan. Apa kau masih yakin bisa memberikanku service lebih?" bisiknya menggoda.
"A-apa?"
"Sssst, beristirahatlah. Malam ini kau masih banyak tugas," kata Rain mencium bibir Elea sekilas sebelum beranjak dari sana.
Elea mengerjapkan matanya, ia masih syok mendengar perkataan Rain barusan. Wanita itu buru-buru menarik selimutnya lalu perlahan menurunkan kakinya, tapi baru satu kaki yang turun miliknya terasa sangat sakit.
"Arghhhhh Rain sialan! Dia kembali merobeknya!" umpat Elea kesal sendiri rasanya.
Elea tak mengerti tubuh Rain itu terbuat dari apa. Semalam ia sudah begitu kelelahan tapi Rain justru terus menggempurnya habis-habisan hingga tak berdaya. Sekarang miliknya juga masih sangat perih sekali. Sepertinya hari ini ia tidak ada bisa pergi kemana pun.
"Ahh biarlah, aku akan tidur hari ini. Nanti malam dia pasti akan menggempurku lagi. Dasar pria gila!"
Elea mengomel sendiri tidak jelas, wanita itu memutuskan untuk kembali tidur untuk mengisi energinya. Mungkin setelah ia tidur ia akan kembali membaik. Elea seolah lupa jika telah melakukan pengkhianatan terbesar dalam hidupnya.
***
Dua bulan berlalu tanpa terasa. Pengkhianatan yang terjadi antara ipar itu nyatanya terus berlanjut karena tidak terbongkar. Rain sangat bermain rapi, bersikap seperti biasa seolah tidak terjadi apa pun. Tapi pria itu lupa jika ada wanita yang hatinya telah ia hancurkan dengan sikapnya yang abai.
Vania, wanita cantik yang hanya meratapi nasibnya yang menyedihkan. Diberikan rumah megah bak istana, memakai baju bermerek dan status sosial yang sangat diinginkan semua orang. Sayangnya hatinya dibuat hancur habis-habisan oleh sikap sang suami yang tidak pernah mencintainya.
Pagi itu Vania memasak seperti biasa, berharap suaminya itu akan makan walaupun hanya sesuap.
"Mas Rain."
Vania memberanikan memanggil nama pria itu, seorang pria tampan yang hanya bisa dilihatnya tanpa bisa mendekat. Tembok yang dibangun Rain sangat tinggi hingga Vania tak mampu merobohkannya.
"Hem?" Rain menyahut pelan.
"Aku menyerah, Mas."
Rain menghentikan aktivitasnya, pria itu mengerutkan dahinya sesaat mendengar perkataan Vania.
"Aku rasa sudah cukup semua kepura-puraan ini. Setiap hari aku selalu bertanya kepada diriku sendiri, apakah aku ini punya salah? Apanya yang salah? Dimana salahnya aku? Tapi aku tidak pernah menemukan jawabannya, Mas. Tapi aku sadar sekarang, bukan aku wanita yang kau inginkan bukan?" Vania berbicara perlahan seraya menahan air matanya yang ingin tumpah. "Sebelumnya aku ingin meminta maaf kalau kehadiranku membuat Mas Rain muak. Aku juga tidak pernah ingin diposisi seperti ini. Aku sudah berusaha, tapi hatiku ternyata tidak sekuat itu. Jadi, lebih baik pulangkan saja aku."
Rain terdiam dengan wajahnya yang sangat dingin. Hatinya merasa iba melihat Vania menangis seperti ini. Tapi bagaimana lagi? Hatinya benar-benar tidak bisa berbohong jika ia tidak pernah menginginkan wanita ini.
"Apa kau tahu konsekuensinya jika itu semua terjadi?"
"Apa kata orang nanti? Pernikahan yang baru saja berjalan dua bulan harus kandas hanya karena sikapmu yang kekanakan seperti ini, Vania. Bukankah kau tahu perasaan itu tidak bisa dipaksa?"
Vania mendongak menatap Rain, wanita itu nyatanya cukup tergelitik dengan ucapan suaminya ini. "Aku kekanakan, Mas? Lalu bagaimana denganmu? Kau selalu bersikap seenaknya tanpa memikirkan perasaanku. Bahkan sedikit pun kau tidak pernah memberikanku ruang, Mas! Kau tidak pernah ingin aku mendekati hatimu apalagi membuatmu jatuh cinta. Sekarang aku tanya, kalau sudah seperti itu apa yang harus aku lakukan, Rain!"
"Itu artinya usahamu belum sempurna! Lagipula kenapa kau harus repot, sudah aku katakan bukan, carilah pria diluar sana yang memenuhi ekspektasimu." Rain tidak ingin kalah, egonya terlalu besar untuk mengakui kesalahan itu.
"Kenapa harus pria lain? Aku menginginkanmu, Rain! Kau adalah suamiku dan kau satu-satunya pria yang aku cintai!"
Vania menjerit penuh emosi, matanya tak henti mengeluarkan cairan bening yang membasahi pipinya. Bodoh memang, tapi ia memang sangat mencintai pria di depannya ini sejak pertama kali mereka bertemu.
Bersambung.