Bab 2

1164 Words
“ Dia kan cuma adik kamu, dan aku istri kamu. Kamu keberatan ditemani aku dan lebih memilih ditemani Adik kamu? "Tanya Marissa yang sudah tidak bisa berkata lebih halus lagi terhadap Varo, membuat Varo kehilangan selera makan. “ Aku bukannya tidak mau ditemani kamu, aku hanya ingin membuatmu nyaman. Kamu kan baru pulang, aku hanya tidak ingin merepotkan kamu hanya menemaniku makan. Lagipula, kamu ataupun Jihan, itu sama-sama penting, sama-sama Aku hargai. Cobalah Mengerti. Jangan berpikir negatif terus. "Ujar Varo menahan emosi, agar tidak lepas kendali. "Sudahlah. Aku juga capek. Kak Varo biar ditemani sama Kak Marisa saja. Aku ke kamar dulu. "Ujar Jihan dengan nada datarnya, Lalu setelah itu langsung pergi membuat Varo langsung berdiri secara refleknya, untuk menahan agar Jihan tidak pergi. Sayangnya Jihan sudah terlanjur pergi, dan Varo hanya bisa mengepalkan Tangannya tanpa disadari oleh Marissa. “ Kamu denger sendiri kan apa kata Jihan. Jihan capek." Ujar Marissa yang langsung pergi begitu saja, membuat Varo tidak mengerti kenapa Marisa malah ikut pergi, Padahal tadi Marissa dengan jelas mengatakan ingin menemani Varo, nyatanya Marisa ikut pergi. Dengan Kasar Varo kembali duduk di kursi, dan menyantap nasi goreng buatan Jihan secara kasar. Kalau bukan karena makanan atau nasi goreng buatan Jihan yang enak, mungkin Varo juga tidak akan melanjutkan makanannya, karena selera untuk makanannya juga sudah hancur hanya karena perdebatan kecil tadi. “ Heran, selalu saja Mas Faro lebih memprioritaskan Jihan dibandingkan aku. Dia kan cuma adiknya, bukan istrinya, harusnya yang menjadi prioritas utama itu aku, bukan dia. "Ujar Marissa dengan nada kesalnya, lalu membanting tubuhnya keranjang, dan mengambil ponselnya, dan entah apa yang dikerjakan oleh jari Marisa, hingga detik berikutnya wajah cemberut Marisa seketika terlihat bersinar. Marisa baru meletakkan ponselnya di atas nakas setelah melihat Varo datang. Marissa langsung menyelimuti tubuhnya dan membelakangi Varo, membuat Varo mendesah kasar. Dengan perlahan Varo mendekati Marisa, dan mengelus pundak Marisa dengan lembut. "Kamu tidak merindukan aku? Kamu sudah satu minggu ninggalin aku di sini sendirian. Kamu tidak Rindu Aku? "bisik Varo dengan nada pelannya, dan Marisa langsung menepis tangan Varo secara kasar tanpa membalikkan badannya untuk menghadap pada Varo. “ Sayang, aku capek. “ Ujar Marisa dengan nada datarnya, dan kembali membenarkan selimutnya. Mendengar kata capek dari Marissa, Varo memejamkan matanya dengan kuat, karena sudah terbiasa mendengar kata capek dari Marissa saat Marissa pulang dari luar kota ataupun luar negeri Karena urusan pekerjaannya. Karena Varo mencoba menjadi suami pengertian, akhirnya Varo tidak lagi memaksa Marissa, dan membiarkan Marissa tidur, berharap besok ia bisa dilayani oleh Marissa. Keesokan harinya, Varo berangkat ke kantor, dan sesampainya di kantor, Varo selalu marah-marah, membuat karyawannya langsung mengerti kalau Varo pasti ada masalah dengan Marissa. Seharian penuh Varo tidak bisa mengerjakan pekerjaannya dengan konsen, dan itu karena Varo menahan amarah yang di ciptakan oleh Marissa. Berulang kali Varo melihat jam, menunggu waktu pulang, hingga tepat di jam 04.00 sore, Varo langsung pulang. Sesampainya di rumah, Varo melihat Marisa sedang bersantai, dan Varo memperlihatkan sikap lembutnya, agar Marisa merasa nyaman didekatnya. Setelah selesai makan malam, Varo langsung berterua terang kalau Varo menginginkan Marisa, tapi lagi-lagi Marisa menolak, dan Varo sudah tidak bisa menahan emosi yang mulai perlahan meledak. “ Sayang, apa kamu tidak bisa sedikit saja meluangkan waktu atau Jangan terlalu fokus sama kerjaan kamu. Aku juga kerja, dan aku masih mampu untuk menghidupi kamu. Segala kebutuhan kamu, akan aku penuhi sekalipun Kamu tidak kerja. "Ujar Varo mencoba untuk membujuk Marissa agar punya waktu untuk Varo. Marisa yang mendengar bujukan Varo langsung duduk secara kasar, dan sebenarnya ini bukan permintaan Varo untuk yang pertama kalinya, tapi sudah yang kesekian kalinya. Sejak menikah Varo hanya bertahan beberapa bulan saja, namun bulan berikutnya, Varo mulai meminta Marisa untuk tidak terlalu fokus pada pekerjaannya, yang secara tidak langsung Varo meminta separuh waktu Marissa untuk bersama dengan dirinya. Dan hingga sekarang, Varo tetap meminta Marisa untuk sedikit berbagi waktu untuk dirinya, hingga membuat Marisa merasa geram mendengar permintaan Varo yang tidak hanya satu atau dua kali saja. "Mas, sejak kita pacaran dulu, kamu juga sudah tahu gimana caranya aku agar masuk ke pekerjaan yang menjadi impian aku. Dan sekarang setelah impian aku tercapai, dengan mudahnya kamu meminta aku untuk tidak fokus dengan pekerjaan aku? Mas, pekerjaanku ini adalah impianku, cita-citaku. Lagipula sejak dulu kamu sudah tahu kalau ini cita-citaku, dan kamu juga sudah bilang kalau kamu tidak akan mempermasalahkan soal pekerjaan. Tapi kenapa sekarang kamu tiba-tiba ngoceh terus tiap aku pulang kerja agar tidak fokus dengan pekerjaan aku? "Ujar Marisa yang sudah emosi, dan Varo hanya bisa diam saja, karena Varo sadar, dari dulu sejak mengenal Marisa Varo memang pernah berkata kalau ia tidak akan mempermasalahkan soal pekerjaan. Tapi Varo tidak bisa tinggal diam setelah melihat kelakuan Marisa yang tidak pernah punya waktu untuk dirinya, selalu pergi ke luar kota, atau ke luar negeri, dengan waktu yang cukup lama. Bahkan Varo juga pernah ditinggal hingga 1 bulan penuh dan itu karena pekerjaan Marissa. Menurut Varo, Varo masih sangat wajar meminta Marisa untuk berbagi waktu terhadap dirinya secara baik-baik karena Varo sudah mencoba untuk bersabar menunggu kepulangan Marissa karena Varo ingin mencoba memberi pengertian akan kesibukan Marisa. Tapi setelah bertahun-tahun bersama, Varo jadi merasa bosan juga kalau tiap saat ia ditinggalkan, apalagi setiap pulang Varo seperti diabaikan, dan tidak pernah di layani urusan ranjangnya. Marissa tidak sadar, kalau karirnya bisa berjalan lancar itu karena Varo. “ Marisa, aku tidak mempermasalahkan soal kerjaan kamu, aku hanya minta sedikit waktu kamu buat aku. Kamu sadar nggak sih, selama kita menikah, aku merasa diabaikan sama kamu. "Ujar Varo yang entah kenapa ia jadi ikut tersulut emosi, karena Varo sudah mencoba ingin bicara baik-baik, tapi Marissa selalu menggunakan nada tingginya. ” Itu sama saja. Kamu jadi mempermasalahkan Soal kerjaan aku. Sebenarnya mau kamu itu apa sih, Mas? Kalau memang kamu udah nggak sayang lagi sama aku, kamu bisa Ceraikan aku! "Ujar Marissa mengancam Varo, yang sebenarnya Marissa tidak ingin pisah dengan Varo. Mendengar ucapan Marissa, emosi Varo langsung membuncah, karena Marissa tidak pernah berubah kalau ada masalah, ujung-ujungnya Marissa selalu saja minta cerai sebagai ancaman. “ Marisa, Stop! Jangan karena aku mencintai kamu, kamu dengan mudahnya selalu membawa-bawa kata cerai. Kenapa sih, kamu selalu aja mudah mengatakan kalimat itu? Kamu tahu aku cinta sama kamu, Makanya kamu dikit-dikit minta cerai, dikit-dikit minta cerai? Jangan tanyakan soal cinta aku sama kamu, karena tanpa aku jawab kamu juga sudah tahu. Yang pantas bertanya di sini Siapa yang mencintai itu, aku, aku yang pantas bertanya Sebenarnya kamu itu cinta nggak sama aku! Sejak kamu kerja, kamu jadi berubah. Kamu nggak ada waktu buat aku. Kamu selalu marah-marah sama aku, kamu selalu bicara tidak sopan sama aku, bahkan kamu dengan entengnya mengucapkan kalimat yang selalu aku larang. Sudah jelas di sini Siapa yang cinta dan siapa yang enggak cinta! "ujar Varo membentak Marissa, hingga membuat Marissa langsung turun dari ranjang dan menuju ke ruang ganti, membuat Varo bingung. “ Sayang, kamu mau kemana? “ tanya Varo saat melihat Marissa keluar dari ruang ganti dengan pakaian yang sudah sangat rapi dan terlihat begitu sangat seksi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD