Detterence

1051 Words
Allison keluar dari Buggati berwarna putih, berjalan mendekati seorang pria dengan tampang seram. Bertubuh gempal, lebih tinggi darinya beberapa senti. "Mana barang ku?"tanya Allison sambil menghisap rokok. Mengembuskan asap dari celah mulut. "Aku tidak menjual apapun lagi padamu!"ujar pria itu cepat. "Apa? Jangan main-main denganku!"sergah Allison. Melepas kacamata hitam yang terlihat bermerk dari wajahnya. "Kau tidak perlu menghubungi ku lagi mulai hari ini!" "Martin! Aku butuh barang itu!"tahan Allison. "Sorry, Allys,"Martin mundur, mengayun langkahnya jauh. Mengabaikan teriakan Allison yang memanggilnya beberapa kali. "Berengsek!"Allison mengumpat. Meremas kacamatanya hingga patah. Membuang nya ke tanah dan menginjak benda tersebut hingga remuk, tidak berbentuk. Martin meninggalkan lokasi transaksi narkotika, sekilas mengawasi Allison lewat spion kecilnya. "Aku harus hubungi Trevor. Dia mungkin punya apa yang aku butuhkan,"Allison menekan layar ponsel. Mencari nama salah satu sahabat terbaiknya. Namun, panggilan itu sulit tersambung. Ponsel Trevor mati. "Sialan. Lihat saja nanti, aku harus mendapatkan penjual lain,"Allison terdengar optimis, meletakkan kedua tangan di pinggang sambil melihat-lihat area sekitar. Sepi tanpa penghuni. Lalu segera beralih ke mobilnya, meninggalkan tempat. ____________________ Markas Loz Arcasas | Biloxi, Ms. Tiga hari terasa singkat, untuk Leon memulihkan diri. Ia sampai di kota Biloxi tadi pagi. Mendaratkan private jet nya di tengah kota, membaur bersama tiap kalangan yang ingin ia temui. Mengurus satu persatu pekerjaan penting di sana. "Minumlah!"tawar Marshal ramah. Menjamu Anggota musuh dengan baik. "Aku tidak bisa terlalu lama di sini,"celetuk Leon tegas. Marshal tersenyum, bergerak maju, mengarahkan ujung jari ke arah Leon. "Aku kasihan padamu. Kau masih sangat muda untuk menangani semua ini,"rujuk Marshal. Terdengar menghina. Leon tidak membalas, tetap bersikap tenang. Posisi pria itu membuat Marshal sedikit takut. Orang seperti Leon, biasanya menerkam lebih dalam.  "Baiklah! Kau menang. Aku akan menandatangani perjanjian ini, dengan catatan Mississippi akan terpecah dua wilayah. Southsiders, Loz Arcasas." "Akan ada perang jika kau melanggar perjanjian!"tunjuk Leon pada berkas-berkas di atas meja. "Bukan hanya karena Loz Arcasas, aku juga tidak segan membunuh orang-orang Southsider jika mengganggu wilayah ku,"ucap Marshal terdengar tidak kalah. Leon tersenyum tipis, mengangguk setuju, lantas, memerhatikan Marshal menandatangani berkas. Deklarasi damai antara kedua belah pihak, untuk tidak saling bersaing. Leon menunjukkan diri, mengumumkan informasi yang di butuhkan LA, bahwa Leon adalah leader utama Southsiders.  Dengan ini, Leon berusaha melindungi seluruh anggotanya. Ia tidak menginginkan korban. "Aku senang bekerja sama dengan mu, Leon,"puji Marshal. "Aku hanya berharap kau tidak melanggar poin utama,"jelas Leon. "Tenang saja. Loz Arcasas patuh,"Marshal tersenyum luwes, menatap Leon sesaat, hingga kedua mata mereka bertemu sekian detik. Trevor yang berada di sudut ruangan ikut mengarahkan pandangan. Bergantian ke arah Leon dan Marshal, ia jelas berpihak pada Loz Arcasas, tempat dimana Trevor begitu di akui. Memahami isi perjanjian dan mengingat seluruh anggota Southsider yang tengah berada tidak jauh darinya. Sampai akhirnya Leon pergi. "Dia pasti memiliki rencana,"gumam Trevor pelan. Saat memastikan tidak ada lagi satupun anggota Southsiders di sana. "Ya. Kalau begitu kita juga harus memiliki rencana, tetap hati-hati,"singgung Marshal. "Kita akan menang!"tutur Trevor penuh keyakinan. _____________________ Mobil Limousine Leon berhenti di pinggir restauran mewah yang ada di Biloxi, beberapa saat. Memerhatikan Allison seksama, memastikan gadis itu aman.  "Martin sudah memutuskan penjualan kokain padanya,"sebut Justin, duduk di samping pengemudi. Ikut menatap Allison dari kejauhan. "Ya,"jawab Leon singkat. "Kau tidak cemburu melihat Allison bersama pria itu?"tunjuk Justin, melirik Jayler. Mereka terlihat mesra. Saling mendukung satu sama lain. "Jika aku di posisi mu, mungkin dia sudah ku jadikan sop,"sambung Justin tidak mendapatkan jawaban apapun dari Leon perkara komentarnya. "Kita kembali ke Bogota sekarang!" "What? Kau tidak menyapanya?"selidik Justin, menoleh ke belakang. "Belum waktunya!"sergah Leon tegas. Memalingkan mata ke arah jalan, meminta sopir untuk bergerak ke bandara. "Okay. Terserah kau,"jawab Justin pasrah. ___________________ "Aku ingin pertunangan kita berada di jalur serius. Bukan hanya bisnis atau semacamnya. Kau mau menikah denganku?"tanya Jayler, menggenggam tangan kiri Allison. "Kau melamar ku?"kekeh Allison tersenyum puas. "Hmm. Aku ingin bersamamu." Allison mengusap tengkuknya. Memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk berpikir, tanpa mengalihkan mata nya dari Jayler. "Ya. Aku mau. Aku tidak mungkin menolak pria yang aku cintai,"jelas Allison. "Aku akan bicara pada orang tuaku. Kita akan menikah secepatnya! Aku mencintai mu,"Jayler mengecup punggung tangan Allison, tersenyum puas. Jawaban gadis itu membuatnya bahagia. "Aku juga." "Sial. Aku ingin mencium mu,"gumam Jayler. "Cium saja..."tantang Allison melebarkan senyuman yang khas. "Kita pergi dari sini. Follow me!"Jayler menarik dompet, meletakkan beberapa lembar uang, guna membayar makanan, sebelum keduanya pergi meninggalkan restauran. ____________________ Jayler Penthouse, White Glasses. Allison berbaring di sisi sofa, menerima ciuman panas Jayler. Membungkam mulutnya lama, Jayler menuntunnya, mengajak gadis itu terjun ke dalam gairah. Allison menutup mata, menikmati tiap sentuhan, Meski menyenangkan, Allison mendadak mengingat sesuatu yang membuatnya memilih mundur. "Jayler,"dorong Allison keras. Menahan d**a pria itu untuk berhenti menyentuhnya. "Kenapa?"tanya Jayler, menatap gadis itu ingin. Ia menelan ludah, merasa menahan tegangan di bawah sana. "Aku tidak bisa melakukannya sekarang!" "Allison. Aku mencintai mu, dan akan bertanggung jawab atas ini,"janji Jayler. Allison menelan ludah, mengusap wajahnya dengan dua tangan. Wajah Leon terlintas, membuatnya takut, jika Jayler akan pergi setelah mendapatkan nya mudah. "Sorry... Aku ....." "Aku menginginkan mu." "Jayler!" Plak! Allison membulatkan mata, menutup mulutnya. Sontak menampar wajah Jayler saat pria itu berusaha mencium lehernya. Wajah Jayler panas. Ia menggenggam tangan cukup kuat, hingga otot-otot lengannya muncul ke permukaan.  "Aku harus pergi,"Allison bangkit, berusaha melepaskan diri, dan mengancing pakaian yang sedikit terbuka. Jayler duduk, diam tanpa suara. Memerhatikan Allison berkemas dan pergi dari hadapannya dengan wajah muram. "Sial!"decak Jayler menatap Allison kecewa. Gadis itu benar-benar pergi. Tidak meninggalkan alasan yang bisa di pahami Jayler. "Aku harus sabar. Aku harus mendapatkan Allison lebih dari ini. Tidak akan ada satu orang pun yang bisa merebutnya dariku, tidak akan!" Bersamaan dengan hal itu, bel penthouse berbunyi, membuat Jayler berangsur menuju pintu. Bergerak cepat dan membukanya, lalu, menemukan Axtena. "Jay. Kita harus...." "Masuklah!"pinta Jayler, melihat keadaan luar lorong. Axtena tidak mungkin berpapasan bersama Allison, jalan keluar dan masuk penthouse di buat berbeda jalur. Axtena mengangguk, melangkah masuk, sambil menutup pintu yang otomatis terkunci. "Jay..."Axtena terkejut. Jayler memutar tubuhnya, meminta ia berpegang pada tembok. "Diam!"Jayler menarik bawahannya lepas. Lalu memasuki Axtena. Menggunakan wanita itu untuk menuntaskan nafsu yang harusnya tersalurkan pada Allison. "Ahh.."Axtena mencoba mendesah, merasakan dirinya begitu penuh. Menerima Jayler beberapa saat, hingga pria itu sampai ke puncak. Jayler hanya bertahan beberapa detik, seperti biasa. Axtena harus kecewa pada seks mereka. Namun, meski demikian, perasaannya nyata pada pria tersebut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD