Markus menghadap MacBook, memeriksa sesuatu di dalam sana. Ia mengusap bibir, memikirkan hal yang jauh berbeda dengan apa yang tengah dilihatnya.
"Sir, kau lihat Sky dan Paris?"sergah Taylor, membuat pria itu menggeleng kepala pelan. Taylor menaikkan salah satu alis, melipat tangan di d**a. "Kau terlihat tidak baik. Allison membuat ulah apa lagi?"tanya Taylor paham.
Markus mengeluh kasar, menggeser Macbook sedikit menjauh. Bersandar di sofa dengan wajah kaku. "Dia memakai narkoba."
"Apa? Kau yakin, sir?"
"Ya."
"Anak itu seperti mu, sir. Lincah. Kau pasti baru mengetahui nya 'kan?"tuding Taylor.
"Jangan beritahu Megan. Leon sudah mengatasi nya."
"Leon? Ck. Anak itu sangat mencintai putri mu rupanya. Kapan dia siap menemui Allison?"tanya Taylor mendekat.
"Entahlah. Dimana Megan? Kalian jadi pergi?"
"Sure. Istri mu tengah memimpikan memiliki villa terpencil di Salt lake city."
"Villa terpencil?"tanya Markus.
"Ya. Cocok untuk menenangkan diri. Tapi harganya mahal, belum di renovasi."
"Kirimkan padaku link nya!"pinta Markus cepat.
"Link Villa itu? Kau ingin membelinya, sir?"
"Aku tahu caranya,"gumam Markus.
"Maksud mu?"Taylor mengerutkan kening. Terlihat kurang memahami.
"Aku punya cara untuk memaksa Leon mendekati Allison."
"Kalian sedang membicarakan apa?"tandas Megan, datang dari lawan arah. Menjinjing tas kecil begitu elegant.
"Sebelum pergi, kirimkan link villa itu. Aku akan membelinya langsung!"
"Villa apa?"tanya Megan. Melirik Taylor.
"Sudah,"jawab Taylor pada Markus.
"Tidak ada yang mau menjawab pertanyaan ku?"
"Kau akan tahu nanti. Ayo, kita pergi! Bersenang-senang,"ajak Taylor, menarik lengan Megan, sengaja meninggalkan Markus yang lebih tertarik pada Villa yang diinginkan Megan.
___________________
"Eh. Om George. Kenapa dekat-dekat? Kangen?"tanya Justin, mengulum senyuman singkat. Sedikit bergeser, memberi tempat pada pria itu.
"Ada yang ingin aku tanyakan!"
"Kebetulan! Aku memang lagi mau buka sesi tanya jawab, Nih,"celetuk Justin, menaikkan salah satu kaki nya ke lutut. Melebarkan senyuman. George mengeluh, heran pada tingkah Justin.
"Untung kau tidak menjadi anakku!"
"Ya. Aku juga gak mau jadi anak Om,"sergah Justin cepat. Menangkap sorot mata George yang lebih tajam dari sebelumnya. "Becanda, Om. Sensitif banget kaya anak Kos habis stok Indomie."
"Diam kau!"
Plak!!
George memukul tengkuk Justin, menekannya kuat hingga pria itu mengaduh sakit. "Tutup mulutmu hingga aku meminta mu bicara. Paham?"
"I.. Iya Om. Aduh, sakit! Mau nanya apa sih, Om?"tutur Justin, membuat George melarikan darinya.
"Bagaimana Leon dan Allison berhubungan?"tanya George penasaran. Menatap Justin seksama. Lantas, menunggu jawaban dari pria itu beberapa detik. Justin diam, mengunci bibir. Belum menjawab hingga George mulai frustrasi.
"Kau tidak dengar pertanyaan ku?"
"Oh. Sudah boleh jawab ya Om?"tanya Justin. George membisu, mengelus d**a sambil menelan ludah.
"Hehh!!"George menaikkan tinju, hendak memukul Justin hingga pria itu berdiri dan memasang kuda-kuda. Siap melawan George tanpa takut.
"Kenapa sih Om? Malah marah, tadi katanya jangan ngomong sampai di suruh ngomong. Waktu diam malah mau di pukul,"tutur Justin.
"Aku heran, kenapa Leon malah memilih bersahabat dengan mu,"decak George.
"Iya. Om juga aneh. Kenapa juga nanya cara Leon manjain burung. Anak udah dua, burung udah pensiun, masih aja nyari referensi gaya, mau main sama siapa sih?"tunjuk Justin pada bagian intim George.
"Dasar berengsek! justin!"George berteriak, menarik handgun dari tempat persembunyiannya. Justin lari, mengambil langkah cepat dan panik. Lagi, Justin beruntung ketika ponsel George bergetar, seseorang menyelamatkan nyawanya. George mengangkat panggilan, mengetahui nama Markus tertera jelas di layar. Ia mendengarkan pria itu seksama, sesekali berbalas kalimat, penuh transaksi.
George menoleh ke arah Leon, saat putranya tanpa sengaja melintas di tengah pembicaraan, hendak pergi ke satu tempat. George mengangguk, tersenyum tipis mendengar suara Markus. "Ya. Aku setuju. Jika bukan orang tua yang membahagiakan anak-anaknya, siapa lagi?"George terlihat serius. Mengambil tempat di sofa sambil menyisipkan senjata miliknya. "Ya. Akan aku usahakan,"tutup George. Mengakhiri panggilan. Lantas melihat Justin berlari mengejar Leon. Berjalan keluar mansion.
____________________
Tangan Allison lurus, memegang senjata berat. Matanya terlihat tajam, menjelajahi angka kecil yang terlihat pada papan bidik. Empat peluru yang ia lepaskan sebelumnya tepat sasaran. Mengenai nomor utama, tanpa meleset sedikitpun.
Dor!!
Allison menembak sekali lagi, lantas, memiringkan bibirnya puas. Melepas kacamata, menyingkirkan seluruh perlengkapan menembak dari tubuhnya.
"Terlalu mudah,"jelas Allison, menggerai rambut blonde yang terlihat panjang.
"Kau selalu luar biasa,"puji Jayler memeluk Allison rapat. Gadis itu tersenyum, mendorong mundur pria itu sedikit untuk meraih ponsel.
"Kau terlihat menunggu seseorang. Siapa?"tanya Jayler.
"Tidak ada,"jawab Allison singkat, mematikan layar ponselnya.
"Aku ingin memberitahu mu sesuatu,"tutur Jayler, mengusap helai rambut Allison halus.
"Apa?"
"Aku sudah membicarakan tentang pertunangan kita pada kedua orang tuaku. Mereka sangat setuju, tapi—"
"Tapi?"sergah Allison cepat.
"Masalah ini ada pada daddy mu. Dia menolak,"sebut Jayler, membuat Allison terdiam sesaat.
"Daddy?"
"Ya. Dia hanya ingin pertunangan ini murni hanya sebatas bisnis. Tidak lebih."
"Kalau begitu aku akan bicara padanya,"tandas Allison.
"Ya. Menurutku juga begitu.
"Baiklah. Aku harus pulang sekarang,"Allison mundur, menarik handbag dan memegang talinya kuat.
"Allison..."panggil Jayler menghentikan aktivitas gadis itu sesaat. "I love you,"tuturnya lagi, mengulum bibir yang terlihat begitu merah. Allison diam, membalas tatapan Jayler yang begitu menuntut. Gadis itu mendekat, memberikan pelukan yang ia pikir layak di dapatkan Jayler. Tersenyum suka sebagaimana harapannya semula.
______________________
"Trevor cepatlah!"pinta Allison. Membuat pria itu menyelipkan sesuatu di dalam tas mahal nya.
"Hanya ini. Aku tidak akan membantu mu lagi,"tegur Trevor.
"Ya. Carikan aku penjualan lain."
"Aku tidak menjual narkoba. Kau tahu itu, jadi cukup. Hanya ini atau...."
"Okay. Aku tidak akan meminta bantuan mu lagi,"potong Allison, menaruh beberapa lembar dollar di atas meja.
"Bawa uang mu. Aku sudah bilang, aku tidak menjual narkoba!"tutur Trevor tegas.
"Ini uang tutup mulut. Jangan beritahu siapapun. Sepertinya, seseorang membocorkan transaksi ku bersama Martin, aku tidak bisa menghubungi nya, ataupun teman-temannya. Aku di block!"
"Mungkin seseorang sengaja melakukan itu,"hardik Trevor membuat Allison terdiam dari aktivitasnya.
"Sengaja?"
"Kau tahu. Peredaran narkoba Martin dari siapa?"tanya Trevor.
"Aku tidak pernah menanyakan itu. Yang penting aku masih memperoleh produk,"ucap Allison.
"Hmm.. Akan ku cari tahu jika kau ingin,"tawar Trevor.
"Kau lebih baik mencarikan ku penjual. Aku tidak peduli pada seseorang yang mungkin membatasi ku."
"Aku tidak akan mengenalkan mu dengan siapapun. Berhenti menggunakan narkoba atau kau mati overdosis,"nasehat Trevor.
"I don't care,"sanggah Allison, sambil membakar rokok. "Aku harus pulang. Ada yang ingin ku bicarakan bersama daddy. Bye. Thanks."
Trevor mengeluh, menggeleng kan kepalanya pelan. Menatap Allison melangkah menuju Bugatti miliknya, hingga memastikan mobil gadis itu pergi, menghilang dari pandangan.
____________________

Sesampainya di mansion, Allison mempertegas langkah. Berlari kecil memasuki ruang besar yang ia tempati sejak kecil. Mata nya beredar, menatap tiap sudut ruangan.
"Dimana daddy?"tanya Allison pada salah satu pelayan.
"Daddy mu di kandang kuda, nona,"jawab pelayan itu, tersenyum ramah.
"Kandang kuda? Kenapa dia di sana?"
"Tuan ingin kau pergi sendiri untuk melihatnya,"jelas pelayan itu lagi. Allison sigap, memutar pandangan ke lain arah. Seakan tidak letih, ia pergi, menuju tempat yang cukup lama ia abaikan sejak kematian seluruh kudanya secara mendadak. Mereka di racun, hingga saat ini, keluarga Grint percaya bahwa kuda milik Allison mati karena keracunan makanan.
"Dad...."panggil Allison dari kejauhan. Markus menoleh. Memastikan putrinya bergerak semakin dekat.
Allison melangkah pelan, setelah jarak mereka tersisa sekitar satu meter. Gadis itu menelan ludah, menatap dua kuda jenis termahal di dalam sana, Arabian Horse. "Dad... Kuda... Siapa?"tanya Allison terbata.
"Kuda yang coklat bernama Alle dan abu-abu Leo. Ini milikmu,"Tutur Markus. Seketika kedua mata Allison membulat, tercengang menatap isi kandang.
"Dad... Kau serius? Ini milikku?"tanya Allison di ambang kepercayaan.
"Ya... Aku serius. Tapi, ini bukan hadiah dariku,"cakap Markus tegas.
"So?"
"Teman lama mu,"jawab Markus singkat.
"Teman? Siapa? Aku...."
"Dia ingin kau benar-benar merawatnya. Ini spesial, terutama Alle, dia sering memenangkan kejuaraan pacu kuda di Bogota."
"Ya. Aku akan merawatnya. Aku janji, aku akan mengurangi aktivitas di luar mansion,"janji Allison.
"Kau yakin?"tanya Markus.
"I promise, dad. Kau bisa pegang kata-kata ku. Ah.. Thanks dad.."Allison melingkarkan kedua tangannya di leher Markus. Memeluk pria itu hangat. Menyatakan kebahagiaan nya, hingga pembicaraan seharusnya terhubung Jayler ia lupakan. Allison fokus, begitu mudah teralihkan pada kuda.
"Aku harus menelpon mommy mu. Dia sedang di luar bersama Taylor,"ucap Markus berbohong.
"Aku ingin mengenal AlleLeo,"Allison tersenyum, berada di antara dua kuda sambil mengusap wajah kuda itu.
Markus menjauh, terlihat menghubungi seseorang. Ia tersenyum, menunggu sambutan yang akhirnya terhubung pada detik ke sepuluh. "Leon. Allison menyukai dua kuda dari mu. Aku ingin berterima kasih,"cakap Markus pelan.
"Ya. Senang mendengarnya, sir."
"Ah. Aku lupa memberitahu mu. Aku baru membeli villa. Namun, saat ini sedang tahap renovasi. Jika kau tidak keberatan, aku ingin kau datang sekaligus merayakan hari jadi pernikahan ku. Aku juga akan mengundang keluarga mu,"pinta Markus.
"Akan aku usahakan,"jawab Leon ragu.
"Baiklah,"Markus menutup panggilan, kembali menoleh Allison sekejap. Gadis itu menunggangi Leo, tampak bersahabat. Allison melambaikan tangan dari kejauhan. Mendapati wajah penuh senyuman yang di rindukan Markus. Gadis itu melupakan Jayler.
____________________

Markas Soutsiders Bogota.
Leon berdiri di ambang kaca. Menatap pemandangan luar selepas hujan. Memikirkan kekuatan Southsiders dan Loz Arcasas yang hampir imbang. LA hanya kalah jumlah, untuk strategi, mereka memiliki Trevor. Ia memiliki pemikiran bagus. Susah ditebak.
"Kau terlihat lelah,"tegur seorang wanita, datang-datang memeluk Leon dari belakang. Pria itu mengeluh, memberi jarak secepat mungkin.
"Alexa,"sebut Leon tidak nyaman. Memutar pandangan ke arah wanita itu.
"Sudah ku katakan sebelumnya. Kau lebih aman di sini. Mississippi tidak cocok untuk mu,"tutur Alexa penuh peringatan. Leon tidak bersuara. Mengabaikan wanita itu sepenuhnya.
Alexa kembali mendekat, mencoba mendekati Leon lebih agresif.
"Alexa!"teriak Leon sarkas.
"Kau selalu mengabaikan ku, kenapa? Kau membenci ku?"tanya Alexa.
"Aku tidak pernah membenci mu."
"Kalau begitu biarkan aku mendekati mu. Aku mencintai mu, Leon. Kau sangat tahu bagaimana perasaan ku."
Leon memicingkan mata, menatap Alexa sesaat, dan menggelengkan kepala. "Sorry. Aku tidak bisa memberi harapan untuk wanita yang tidak aku cintai."
"Apa karena gadis itu?"tanya Alexa lebih paham dari apa yang Leon pikirkan. Leon tidak langsung menjawab, memutar pandangan ke lain arah. Alexa menelan ludah, melirik Justin yang mendadak hadir seakan mengusiknya.
"Kalian bodoh!"sentak Alexa tegas. Berlari menjauhi keduanya.
"Kau yang bodoh!"balas Justin tidak ingin kalah, menatap kepergian Alexa hingga hilang dari pandangannya. Seakan menunggu untuk membalas jika wanita itu menyerang nya.
"Leon..."
"Aku sedang tidak ingin membicarakan Alexa. Bagaimana pengiriman hari ini?"tanya Leon mengarah lebih pada bisnis.
"Tepat waktu. Mereka sudah membayar uang nya,"terang Justin, membuat Leon membalas dengan anggukan pelan. Memutar tubuh meninggalkan Justin.
______________________
IG : shineamanda9