Dusk Till Dawn

1455 Words
Allison mual, memuntahkan isi perutnya. Suara musik diluar toilet terdengar pengap. Menambah rasa sakit yang menjalar sel kepalanya. Ia bergetar, dingin membungkus tubuh. Allison membongkar isi tas, mencari sebatang rokok lalu membakarnya. "Sial...."Allison mengumpat dan memukul d**a, berusaha, tetap sadar seutuhnya. Allison mengirim pesan, mencoba menghubungi Jayler. Pria itu tengah di sibukkan Axtena. "Minumlah!"tawarin Axtena pada Jayler, pria itu mengusap hidung, mulai mabuk. Meraih gelas berisi alkohol dan menenggaknya untuk kesekian kali. "Aku ada urusan. Kalian bersenang-senanglah,"ujar Trevor datar, bangkit dari tempatnya setelah melihat seseorang menuju lantai tiga.  "Aku akan mencari Allison,"tukas Zion, tanpa mengalihkan pandangan dari wajah Jayler yang merah padam. "Allison..."sebut Jayler pelan, tersenyum miring sambil meremas paha Axtena yang duduk di pangkuannya. "Jayler terlalu mabuk, aku akan mengantarnya pulang,"lirik Axtena pada Zion yang menjawab dengan anggukan pelan. Axtena merangkul Jayler, memeluk pria itu erat dan menariknya hingga berdiri tegap. "Jay..."panggil Axtena pelan, sekadar memastikan keadaan pria itu. Jayler bergeser, mengikuti Axtena. Menerobos puluhan manusia yang menari di lantai dansa dengan mata sedikit kabur. Brakk!! "f**k! Kau buta?"tegur Axtena sarkas. Menatap punggung tegap pria yang jelas lebih tinggi darinya. Putih dengan tatapan tajam, meskipun matanya kecil. "Kau yang buta..."balas pria itu, mengedarkan mata pada Axtena. "Berengsek, kau harus nya minta maaf!"teriak Axtena, mencoba mengalahkan suara musik yang tetap menggema. "Maaf? Memangnya kau siapa?" "Justin...."panggil Leon, menepuk punggung pria itu pelan. Justin menoleh, melirik Leon. "Jangan menarik perhatian,"gumam Leon pelan. Justin mengeluh, terpaksa mengalah pada Axtena. Jayler mengangkat kepala, menatap wajah dua pria yang berdiri di depannya. Langkah kaki Jayler mendadak kaku, kedua alis pria itu berkedut tegas, seakan memiliki kesadaran penuh. "Leon?"Jayler bergumam, berat, semakin tercekat ketika manik mata coklat mereka bertemu, penuh persaingan, sama seperti  tujuh belas tahun lalu. Leon tersenyum tipis, mengangkat dagu congkak, lantas memalingkan wajah lebih dulu,  memutar tubuh ke lain arah dan berjalan meninggalkan Jayler tanpa menyapa. "Kau kenal dia?"tanya Justin, mengikuti Leon. "Tidak,"jawab Leon singkat. "Dia menyebut namamu, itu artinya kau...." "Cari Allison! Aku belum melihatnya,"potong Leon, mengedarkan mata ke tiap sudut ruangan  Greendale. Menatap orang-orang Loz Arcasas yang tidak mungkin mengenalinya sebagai bagian dari Southsiders. Pribadi Leon sangat tertutup, namun berbahaya. George sengaja, mempersiapkan putranya untuk menjadi pewaris tunggal Phoenix kartel. Sementara Lucia, adik Leon,  terpaksa menikahi kepala keuangan sekaligus pengacara terkenal Phoenix, dengan umur mereka yang terpaut jauh, Matteo Dos Santos, akibat satu kesalahan kecil. _____________________ " Ada yang bisa kami bantu?"hadang seorang pria, melihat Allison keluar dari toilet. dua pria berdiri dengan senyuman licik. Menghalangi orang lain untuk masuk. "Aku tidak punya uang cash, sorry!"balas Allison, mencoba menerobos salah satu pria. Namun, langkah Allison berhenti, ketika mereka kembali menghadang nya. "Kau pikir, kami di sini untuk minta sumbangan?" Allison menutup hidung, sedikit melangkah mundur. "Sialan. Berapa tahun kau tidak menggosok gigi? Hmm?"tanya Allison sarkas. Kedua pria itu saling pandang, lalu tertawa lebar. "Jhon, sepertinya dia belum kenal siapa kita." "Kau benar, Travolta. Kita harusnya memberi salam perkenalan,"bincang dua pria itu terdengar jelas. "What? Kalian Jhon Travolta? Setahuku, sekarang Jhon itu botak, tua, sekarang kenapa jadi dua?"singgung Allison tidak jelas. Memijat kepalanya yang sakit. Terlihat sulit mengontrol diri. "Aku rasa, gadis ini mabuk." "Ya. Ini kesempatan bagus. Cepat!" Jhon maju, mendorong Allison ke dalam toilet. Travolta membantu, menutup pintu dan mengunci dari dalam. "Lepaskan aku berengsek!"Allison berang, melawan dua pria dengan setengah kemampuan. Lalu ditodong oleh sebuah senjata, handgun. "Diam, atau aku akan ledakkan ini di kepalamu,"ancam Jhon. "Coba saja kalau kau berani......." Allison meninju wajah Travolta, pria itu mundur hingga punggungnya menghantam wastafel, menendang tangan Jhon hingga handgun yang ada di tangan pria itu lepas. "Bitch.."umpat Jhon, berlari mendatangi Allison dan berhasil menampar wajah gadis itu. "Awww... Stupid!"kecam Allison, merasa mendidih dengan rasa sakit di bibirnya. Jhon tidak menghabiskan kesempatan, ia menendang perut Allison, tubuh gadis itu terpental, jatuh ke lantai. Jhon tersenyum, menang atas perkelahiannya. Ia melirik Travolta, pria itu berdiri. Menatap Allison yang berusaha menggerakkan tubuh. "Dasar sialan......" Brakk!!! Travolta yang semula ingin membalas Allison menghentikan gerakannya, pintu toilet rusak. Terbuka lebar akibat tendangan kuat dari Leon.  Pria itu mengepal tangan, menemukan Allison memegang bagian perut. Allison mengangkat kepala, menarik napas begitu dalam. Pandangan gadis itu kabur, samar, nyaris gelap. Meski tidak mengenali sosok itu, ia percaya bahwa bantuan untuknya datang.   "Berengsek...."gumam Leon pelan, mata pria itu merah, memicing penuh ancaman. "Mundur! Kau tidak tahu siapa kami? Hah?"teriak Jhon lantang. Leon berlari maju, Jhon dan Travolta juga sama. Justin menyusup masuk, membantu Allison bersama salah salah satu anggota wanita Southsiders. Hingga mereka mendengar suara tulang patah, Justin menoleh, memastikan asal suara. Travolta ambruk, memegang lengannya, ia menangis, berteriak kencang ke arah Leon yang baru saja mematahkan tangannya. Jhon tidak tinggal diam, ia mengeluarkan pisau dari salah satu bagian tubuhnya. Leon menahan tangan pria itu, memutarnya cepat dan malah menyayat dadanya sendiri. "Siapa yang mengirim mu?"tanya Leon, menekan pisau pria itu dalam. Tanpa peduli Jhon berteriak. "Ax.... Axtena... Dia membayar kami, aku mohon! Jangann.. Membunuh ku!"pinta Jhon serak. Leon melirik Allison, gadis itu sudah berdiri, menatap tidak percaya dengan nama yang baru saja di sebut pria asing itu. "Aku kenal wanita itu,"gumam Allison pelan. Leon mengangguk, mendorong tubuh Jhon hingga jatuh. Mereka bangkit, segera berlari keluar kelab. "Allison kau tidak apa-apa?"tanya Leon. "Dari mana kau tahu namaku?"serang Allison, tanpa mengalihkan pandangannya. Leon diam, tidak berkutik tanpa sepatah katapun. "Kau harus pulang... Kau terlihat buruk,"tegur Justin. "Tidak. Aku tidak mau pulang,"racau Allison melipat kedua tangannya di d**a. "Kalau begitu ikut dengan kami, aku mengambil kamar di bawah,"tawar Justin, membuat mata Leon langsung teralih ke arahnya. "Kau sendiri yang bilang, jangan menarik perhatian..."bisik Justin, melirik ke arah pintu, beberapa wanita berdiri, mengantri untuk masuk ke toilet. "Aku ikut dengan mu,"ucap Allison, mengarahkan mata hijaunya pada Leon. Justin langsung tersenyum, mendukung keputusan Allison. "Hmm... Ayo..."ajak Leon, melepas lapisan pakaian luarnya, dan menaruh di bahu Allison. Gadis itu tersenyum, merasa nyaman dengan aroma parfum yang cukup menyengat. "Kau gugup 'kan? Kamar besar Greendale dan kondom dariku akan ada gunanya,"sindir Justin berbisik pelan. Plak! "Diam kau!"Leon memukul kepala Justin, membuat pria itu tertawa geli. Allison tidak bersuara, merapatkan tangan di lengannya keras. Ia merapatkan paha, berjalan aneh. Bulir keringat muncul di keningnya, Allison takut, menatap punggung tegap Leon yang berjalan di depannya. "Sial. Pikiran kotor apa yang sedang aku pikirkan tentang pria ini,"Allison memukul kepalanya, hingga Justin menoleh. Menaikkan salah satu alis dan menggeleng kepala. Gadis itu menoleh ke meja yang sempat ia duduki bersama teman-temannya tadi. Kini, tempat itu berganti orang. Allison tidak menemukan Zion, Trevor ataupun Jayler, hingga ia turun ke lantai bawah Greendale. _______________________ "Aku butuh minum. Panggil aku jika kalian butuh sesuatu, okay!"Justin mengedipkan mata ke arah Leon, mengajak teman-teman lainnya ikut keluar. Allison mengangguk, mengambil tempat di sudut sofa merah yang empuk. Ia menggigit bibir, mati-matian menahan diri dari sisa obat dari Axtena. "Kau terlihat familiar. Apa kita saling kenal?"tanya Allison membuka suara setelah pintu kamar mereka di tutup rapat. "Menurut mu?"Leon mendekat, duduk di sofa yang sama di samping Allison. "Entahlah. Aku merasa begitu lama mengenal mu,"Allison menggerakkan kakinya, berusaha menenangkan diri yang semakin sulit di kontrol. "Kemari lah... Aku obati kau lebih dulu,"Leon menyentuh Allison lembut. Gadis itu menurut, mengikuti gerakan Leon, hingga kedua bola mata mereka menemukan tempatnya masing-masing. Allison tersenyum tipis, membiarkan ujung jari Leon menari di sudut bibirnya. Membersihkan luka, sebelum pria itu menaruh salep. "Aww...."Allison meringis perih, memegang sudut pipinya, tanpa sengaja menyentuh tangan Leon. "Maaf..."ucap Leon pelan. Perangainya benar-benar tidak berubah. Ia masih seperti Leon yang sama, begitu baik dan perhatian. Allison menelan ludah, menurunkan pandangan ke bibir Leon. Gadis itu meneguk saliva, merasa berdebar. "Kau bisa menaruh salep nya sendiri jika...." "f**k. Aku tidak tahan lagi,"Allison berdiri, berpindah di pangkuan Leon dan mendorong pria itu mundur. "Allison...." Leon menegang, menaikkan pandangan nya ke wajah Allison. Gadis itu mencium bibirnya, memungut rasa penasaran yang tertahan lama. Kedua tangan Allison meremas bahu tegap Leon, memancing pria itu untuk segera membalas. "Allys...."bisik Leon pelan. Lalu kembali terhenti ketika lidah gadis itu menyusup masuk ke dalam mulutnya. Sial, Leon menegang tanpa kompromi. Ia menarik napas, lalu membalas perlakuan Allison. Meremas paha gadis itu sekuat nya hingga satu desahan terlepas, membawa ciuman mereka semakin panas dan hilang kendali. Allison menggapai sudut pakaian Leon, menariknya ke atas hingga terlepas. Menahan d**a Leon dengan kedua tangannya, gadis itu berhenti, mengamati tatto sepasang mata yang tercetak jelas di d**a pria itu. "This is your eye, Allison. Aku mengenali mu, sangat mengenalimu,"sebut Leon serak.  "Kalau begitu bawa aku, penuhi tubuhku dengan mu di ranjang. Aku mohon...."pinta Allison tidak kuasa menahan keinginan diri. Ia ingin jatuh, tidak peduli dengan siapa akan menjadi patah. Kening Allison berkedut, menggantungkan diri pada Leon seorang. Kelopak mata Allison basah, sayu, penuh dengan permohonan. Leon menahan napas, masih berpikir untuk mengambil tindakan. Keputusan yang ia ambil mungkin berisiko.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD