Alllison terbaring lemas, nyaris telanjang. Mata hijaunya berputar, mengarah langit-langit kamar. Hanya satu hal yang keluar dari mulut Allison sejak Leon membawanya ke ranjang, desahan panjang. Memohon meminta perlakuan lebih.
Leon menyatukan kedua tangan mereka, meremasnya kuat. Mencumbu Allison semakin dalam, lidah mereka terus bertaut, seakan tidak memerlukan oksigen. Napas Allison sesak, namun, ia mengatasinya mudah.
Allison melepaskan salah satu tangannya, bergerak pelan, menekan d**a Leon dan merabanya turun.
"Allys..."Leon berbisik rendah, ketika jemari lembut gadis itu menyusup ke celah celananya. Memegang ujung gairah yang kekar. Allison tersenyum, menatap dua mata Leon tajam. Seperti tersiram bensin, Leon semakin terbakar. Siap hangus terpanggang dalam kegelapan.
"Kau sangat besar..."goda Allison sambil menggigit bibir bawahnya. Wajah Leon memerah, ia menelan ludah, tersenyum smirk. Mendengar pujian Allison, Leon terpacu. Ia memberanikan diri untuk beraksi lebih. Menurunkan ciumannya ke leher Allison, menghisap lembut hingga membentuk tanda.
Leher Allison terangkat, memberi akses terus menerus. Leon turun, menjamah tiap jengkal bagian kosong Allison. Gadis itu mendesah, terdengar berat, merasakan permukaan kasar lidah Leon yang basah. Allison di bimbing, hingga ia benar-benar polos, tanpa sehelai benang pun. Sprei merah terlihat berantakan, menjadi sasaran remasan jemari Allison, ketika Leon mencumbu bagian intinya. Allison bergetar, begitu melayang jauh.
"Ahhhh... Aku... Aku..."Allison menaikkan kepalanya sedikit, menekan perutnya kuat. "God...."erang Allison tegang, mendorong bahu Leon untuk menjauh darinya. Ia mengusap wajah, kembali menjatuhkan tubuh di ranjang untuk menarik napas.
Leon mengusap bibirnya dengan ibu jari, meloloskan diri dari sisa penghalang yang melekat di tubuhnya. Allison melirik, merasakan kedua pahanya di geser terbuka. Leon bersimpuh di sana. Menatap dirinya naked.
"Kau sangat indah..."puja Leon mengusap perut datar Allison. "Aku tidak punya pengaman... Kau siap?"tanya Leon, menyimpan kebohongan besar. Ia menelan ludah, sedikit mengalihkan pandangan ke pakaian mereka yang berserakan di lantai.
"Ya... Aku tetap ingin lebih...."balas Allison berani, mengangguk pelan.
"Okay. Katakan jika aku menyakitimu!"pinta Leon terdengar khawatir.
"Ya,"angguk Allison untuk kesekian kalinya.
Leon bergeser, mencari posisi aman. Memiringkan tubuh Allison dan menahan salah satu paha Allison lebih tinggi. Ia menelan ludah, bersiap membuka pintu masuk yang di miliki Allison. Gadis itu menekan tubuhnya ke dasar ranjang, mencoba menahan apapun yang akan terjadi nantinya.
Allison menutup mata, ketika milik mereka bergesekan. Napas gadis itu terasa kuat, Allison semakin berkeringat.
"Shhhh.. Awwhh..."Allison mendesis pelan. Membuka mata ketika rasa sakit menghantam miliknya. Leon berhenti, menahan diri sejenak.
"I'm okay..."papar Allison. Leon menarik napas, mengusap sudut paha gadis itu, dan mendorong dirinya masuk. Allison mengerutkan kening, menekan bahu Leon dengan kukunya yang tajam, seakan memberi pelajaran setimpal pada pria itu. Mereka bersatu. Dalam. Leon mengerang, merasakan miliknya di cengkeram kuat oleh gairah Allison. Menjatuhkan tubuh, hingga Allison menyambutnya dengan pelukan erat.
"You're special. You're first, Allison.."Leon berbisik, mengecup telinga gadisnya. Merasakan kemenangan bercampur hasrat yang sulit di gambarkan.
"Hmm.. Kau jugaa...."balas Allison, sekedar memberitahu bahwa pria yang tengah menguasai hasratnya, adalah pria yang baru saja mengambil hidup nya yang paling berharga. Ia tidak pernah tahu, bahwa kisahnya akan berakhir berbeda, jauh dari perkiraan, seharusnya, Jayler adalah raja tubuhnya. Nyatanya tidak, pria yang bahkan belum mengakui namanya ini, adalah sosok yang mati-matian menghajar tubuhnya.
Allison tidak peduli, meski ia dikatakan murahan. Rasanya tidak buruk, seakan sesuatu terlepas di bagian dirinya, bebas dan ringan. Leon menghajarnya, semakin detik semakin cepat. Allison tidak akan diam, ia bergerak liar, memuaskan Leon. Ruangan kamar semakin panas, bising dengan raungan desahan yang tidak akan mereka tahan. Baginya, ini adalah pengalaman bercinta paling hebat. Mereka berganti cara, terus menerus mengisi kelemahan masing-masing hingga letih. Leon dan Allison begitu cocok di ranjang, hebat, saling mengimbangi satu sama lain. Allison bergetar untuk kesekian kalinya, tubuh gadis itu kaku, namun masih merasakan Leon di dalamnya. Leon menuju puncak, menatap penyatuan mereka membuat pria itu semakin gila.
"Ahh shit... Allys...."sesak Leon parau. Menambah kecepatan meraih kenikmatan tertinggi. Allison menaikkan kepala, hingga Leon harus menahan pinggulnya agar gairah mereka tidak terlepas. Allison kembali bergetar lebih dulu, berteriak garang, lalu merasakan miliknya basah, hangat dalam satu waktu akibat pria itu. Leon mencari bibirnya, melumat bibir gadis itu tanpa memberi izin Allison untuk bernapas.
"Aku sangat letih..."ucap Allison pelan. Ketika Leon menyatukan kening mereka.
"Hmm... Bersihkan dirimu dan Istirahatlah.."Leon mengecup kening Allison. Memungut ciuman di bibir gadis itu lagi dan tersenyum puas. Allison mengangguk, seumur hidup, hanya Leon yang mampu membuatnya menurut. Ia bangun, mengikuti saran Leon, lalu kembali merebahkan tubuh nya di ranjang tanpa peduli dengan rasa sakit yang membekas di bagian intim nya. Kepala Allison pening, tidak kuasa lagi bertahan lebih lama.
______________________
Leon membakar rokok, memilih keluar dari kamar meninggalkan Allison setelah merapikan diri. Ini sudah jam dua pagi, Greendale berangsur tutup, kecuali lantai bawah yang memang di khususkan. Leon mengedarkan mata, mencari-cari seseorang.
"Halo tuan muda. Bagaimana? Kau mengikuti saran ku?"tanya Justin, muncul dari bagian belakang. Leon tersenyum, enggan menjawab.
"Senyum mu menandakan iya. Manis sekali, tampan seperti Zayn malik."
"Diam!"sergah Leon, memasang wajah merah.
"Ceritakan! Apa film-film yang sering aku kirim padamu menginspirasi?"tanya Justin.
"Justin sungguh, jika kau tidak bisa menutup mulutmu, akan ku congkel gigi mu satu persatu,"ancam Leon.
"Jadi.. Dia memanggil mu apa? Leon atau Vegas? Sudah berani menunjukkan dirimu?"
"Astaga... Kau...."
"Sombong sekali, mentang-mentang habis cuci baut dengan orang terkasih,"salip Justin. Leon geram, menangkap tengkuk Justin dan menekannya ke bawah.
"Masih belum mau diam? Hah???"
"You're special. You're first!! Ahh ahh ahh Ahh.. ahhh Akkkk! "
"Kau menyadap kamar ku? Hah? Berengsekkk!"
Plak!!
Leon menarik rambut Justin, menjambak nya sekuat tenaga. "Aduh. Leon, sakit. Leon."
"Rasakan! Ini hukuman mu,"Leon menjejal kepala Justin, membuat pria itu terus membungkuk.
"Sorry.. Aku harus mengganggu kalian,"tegur Trevor, membuat Leon terpaksa melepas pautannya dari Justin.
"Ada yang bisa aku bantu?"tanya Justin dengan napas sedikit tercekat.
"Greendale tutup sepuluh menit lagi. Kalian punya card penginapan?"
"Ya. Aku punya,"ucap Justin mengeluarkan card berwarna merah dari dalam dompetnya. Trevor meraih card tersebut, memeriksanya sesaat dan melirik ke arah Justin dan Leon bergantian.
"Aku tidak pernah melihat pasangan gay seperti mereka,"batin Trevor sambil tersenyum ramah.
"Jika kalian butuh sesuatu, panggil saja pelayan ku. Mereka semua di lantai dua,"ucap Trevor.
"Ya. Terimakasih,"ucap Leon mengangguk pelan.
"Kalau begitu aku pergi. Semoga kalian senang dengan penginapan private Greedale milikku."
"Pasti. Kami sangat menyukai tempat ini,"ujar Justin tersenyum lebar. Trevor mengangguk, lalu berputar arah untuk meninggalkan wilayah tersebut. Ia penat, ingin segera pulang. Zion sempat menelponnya, pria itu pulang lebih dulu setelah merasa pening akibat minuman keras. Trevor berpapasan dengan seorang pria, dengan tubuh tinggi, terlihat misterius namun tersenyum ke arahnya. Pria asing itu berjalan dengan langkah kaki yang cepat, mendekati Leon dan Justin.
"Kami sangat menyukai tempat ini, bro. Apalagi teman ku yang satu ini,"sindir Justin sambil menepuk pundak Leon dua kali.
Leon mengulum senyuman. Memalingkan pandangan ke arah pria misterius yang melangkah semakin dekat.
"Justin.... Awas....!!!"
Brakk!!!
Leon mendorong Justin, hingga pria itu menghantam tembok, ia bergeser ke kiri, lalu membulatkan mata ke arah pria misterius yang berdiri di depannya. Leon menelan ludah, menunduk ke arah perut. Sebuah pisau menancap sempurna di sana. Bahunya di tekan, hingga ujung pisau masuk semakin dalam.
"Leon..."Justin berdiri, membuat pria asing itu menarik pisau miliknya. Leon memegang lukanya, menyandarkan tubuhnya ke dinding.
"Leon bertahanlah..!!"Justin berteriak, membuat Trevor yang berada di ujung lorong menoleh ke sumber suara. Namun, belum sempat ia menyaksikan keadaan Leon, tubuh Trevor di tabrak keras oleh pria misterius tadi.
"HEY!"teriak Trevor, tidak berhasil membuat pria itu mengindahkan panggilannya. Trevor melirik ke arah Justin, pria itu menelpon anggota southsiders yang ada di lantai dua, dengan tangan berlumuran darah.
"s**t!"maki Trevor, menyadari sesuatu yang tidak beres di kelab nya. Ia berlari, menaiki tangga untuk mengejar pria asing itu hingga berhasil menangkap sosok tersebut.
"Siapa kau? Hah?"Trevor memutar tangan pria itu kebelakang, mendorong tubuh nya ke tembok hingga pisau yang ia pegang jatuh. Pria itu melawan, menendang sudut kaki Trevor begitu kuat, menyebabkan cengkeraman Trevor lepas. Trevor di tendang menjauh sekitar satu meter. Pria asing itu merogoh saku, mengambil obat kecil yang ia simpan dan menelannya. Seketika, ia mengelepar, kejang-kejang hingga mengeluarkan busa dari mulutnya. Orang asing itupun langsung tewas.
"Sial...."umpat Trevor, lantas, kembali memutar tubuhnya untuk membantu Justin. Wajah Leon pucat, ia terlihat kehabisan darah.
"Aku akan panggil Ambulance!"ucap Trevor.
"Sudah. Southsiders akan mengurus nya,"ucap Justin panik. Trevor diam, mengerutkan kening. Menatap wajah Leon dan Justin bergantian setelah nama dari musuh besar Loz Arcasas di sebutkan.
"Kalian harus hati-hati, aku belum mengetahui pemimpin Southsiders yang baru, Rick mengatakan bahwa pria ini jauh lebih berbahaya dari apa yang kalian lihat. Untuk memancing nya keluar, kita harus menyerang sahabatnya lebih dulu, Justin. Pria asal Indonesia ini kaki tangannya."
Setelah mengingat sebuah percakapan singkat anggota LA, Trevor melepas Justin, membiarkan pria itu membungkuk sendiri membawa Leon, hingga beberapa orang yang mengisi kelab malam nya hari ini datang membantu. Ia baru menyadari, Greendale di penuhi orang yang tidak biasa. Access card nya bertambah cukup banyak.
Trevor mengambil ponsel, tampak menghubungi seseorang di layar utama. Menunggu sebentar, tanpa mengalihkan pandangan dari Leon yang semakin jauh dari pandangannya.
"Aku tahu siapa pemimpin Southsiders yang baru,"ucap Trevor, menyampaikan berita penting yang harus ia sampaikan pada pemimpin utama Loz Arcasas.
Sementara, Jayler meniduri Axtena. Seperti biasa, mereka berbagi kenikmatan sejak lama. Hal yang membuat Jayler cukup sulit untuk melepaskan Axtena termasuk seks. Wanita itu tahu kebutuhannya, merawatnya baik. Memberinya ruang untuk menjadi pria sejati. Namun, jangan salah, Jayler terbiasa hidup dengan banyak wanita. Ia berpindah dari satu wanita ke wanita lainnya. Meskipun hanya Allison yang ia inginkan. Awalnya, ia dan Allison berteman biasa, hingga mereka menyadari sesuatu hal begitu terlambat. Allison dan Jayler saling mencintai, mereka bermain di belakang Axtena, Jayler berniat meninggalkan Axtena setelah Allison kembali ke Mississippi. Ya. Jayler akan mencari waktu yang tepat.