bc

KETIKA AKU HAMIL 2

book_age18+
4.9K
FOLLOW
65.2K
READ
sex
family
sweet
YA Fiction Writing Contest
wife
like
intro-logo
Blurb

[21+ Mengandung Cerita Dewasa] Kisah kehidupan Ara dan Edward masih berlanjut. Kehidupan rumah tangga memang tidak selamanya indah, akan ada masalah yang harus dihadapi. Masalah itu akan menjadi penentu, apakah benar-benar cinta untuk selamanya, atau sesaat. Mampukah Edward dan Ara melaluinya?

chap-preview
Free preview
Bab 1 | Malam Pengantin
Setelah ucap janji pria kepada wanitanya terlantun tulus, sepasang suami istri akan semakin yakin saat mendengar ucap itu Malam pertama juga tak luput dari kejadian yang dinantikan bagi pasangan pengantin baru. Banyak perasaan yang berkecamuk saat itu. Bagi sebagian orang, malam pengantin merupakan momen yang tepat untuk saling menggunakan waktu meluapkan dan mengungkapkan rasa cinta kepada pasangan. Tidak ada lagi keraguan, dan kepura-puraan. Begitu juga yang aku dan Edward rasakan di hari pertama kami menjadi pengantin. Edward begitu lembut, ia memperlakukan ku seperti ratu semalam, selain itu Edward juga semakin manja. Aku turun dari tempat tidur, mengenakan baju tidurku yang sudah ditanggalkan Edward semalam. Satu persatu kancing baju ke pasangkan, mataku melirik ke Edward yang masih tetidur lelap di bawah selimut. Dibalik selimut itu lelaki berkulit sawo matang itu tidak mengenakan sehelai benangpun. Aku berjalan ke balkon kamar, membuka tirai merasakan angin segar yang langsung berhamburan masuk. Aku memeluk tubuhku sendiri, mengusap-usap pundakku yang terasa dingin karena terpaan angin pagi ini yang terasa lebih dingin dari biasanya. Aku suka suasana villa ini, begitu asri dan tenang berbeda seperti di Jakarta, udaranya tidak terasa sesegar ini. Aku menekan ponselku, menekan nomor ponsel Bunda yang berada di rumah menjaga Billy kecil yang harus ku tinggali karena aku harus memenuhi kewajibanku sebagai istri Edward, "Halo, Bunda.." aku membuka setelah mendengar suara bunda menjawab telepon, "Ya, Ra. Ada apa?" Tanya bunda dengan nada suara terburu-buru, seperti sedang melakukan kegiatan lain. Aku mendengar tangisan bayi di belakang, pasti suara Billy yang sedang menangis. Biasanya kalau pagi hari begini Billy menangis karena lapar atau popok yang basah. Ini kali pertama aku jauh dari Billy. Rasanya berat sekali, payudaraku juga terasa menggempal, penuh, sesak, karena produksi ASI yang tidak bisa diajak kompromi. "Billy menangis, Bun? Ada apa?" Tanyaku setelah mendengar Billy nangis dan tidak berhenti. "Tidak apa-apa, baru selesai mandi, sebentar lagi mau berjemur.." jawab Bunda menenangkan. Aku tersenyum mendengar jawaban Bunda, memang jam segini biasanya Billy berjemur, gayanya akan sangat menggemaskan, terlentang tanpa baju dan menggunakan kaca mata hitam. Mirip turis yang bersantai di pantai. Kegiatan berjemur rutin di lakukan, karena Billy sempat sedikit kuning dan membuatku panik. Tapi dokter mengatakan kalau tidak ada masalah, Billy hanya diminta untuk lebih sering diberi ASI dan berjemur di matahari pagi. "Syukurlah, Bun. Hari ini akan ada staff Edward yang mengantarkan ASI ke rumah, nanti langsung letakkan di freezer saja.." ucapku kepada Bunda, "Iya. Kamu tenang-tenang saja. Di sini Billy banyak yang menjaga. Lagi pula Billy bukan bayi yang rewel. Dia jarang sekali menangis.." ucap Bunda kembali menenangkan ku. Billy memang masih ASI eksklusif, sengaja tidak aku berikan tambahan susu formula karena menurut dokter ASI jauh lebih bagus. Terbukti dengan daya tahan tubuh Billy yang cukup baik. Sebelum memutuskan meninggalkan Billy bersama bunda, aku sudah membeli lemari pendingin khusus untuk menyimpan cadangan ASI perah yang bisa digunakan sewaktu aku tidak bisa menyusui Billy langsung. "Syukurlah, Bun.." "Sudah dulu ya, itu Billy dengan Ayah. Ayahmu tidak pandai mengurus anak." Aku tersenyum mendengarnya. Ayahku adalah orang yang paling antusias bila diminta menggendong Billy, sama halnya dengan Edward, Ayah masih terlalu kaku saat menggendong cucu pertamanya itu. Aku menutup sambungan telepon dan menarik nafas dalam, menikmati semilir angin yang di barengi kicauan burung yang hinggap di pepohonan. Tiba-tiba sebuah tangan memelukku dari belakang, "Pagi, cantik.." bisik Edward manja, Aku mengusap pipi Edward yang menunduk dengan dagu yang ia letakkan di atas bahuku. "Hari ini, minta staf mu mengantarkan ASI ke rumah ya, Ward. Untuk Billy." Ucapku, "Iya, Mama. Mama sexy.." bisiknya lembut, tangannya sudah bergerilya menelusuri pinggang dan bokongku. Aku menepuk pipinya dua kali, lalu melepaskan pelukannya. Aku tau maksud Edward, karena aku merasakan sesuatu kembali terbangun. Aku pura-pura tidak merasakan apapun, kalau aku balas keisengannya, permainan kami akan berlanjut. Aku meraih alat penghisap ASI di dalam kamar. Aku duduk di sofa, lalu menyiapkan alat penghisap ASI itu. Aku menurunkan sedikit bajuku, meraih air hangat untuk mengusapnya beberapa kali. Aku harus membersihkan nya benar-benar, karena semalam Edward sudah menguasai milik Billy ini. Setelah aku yakinkan bersih, aku lalu meletakkan alat itu di atas payudara ku. Perlahan cairan putih keluar, Edward duduk di depanku, aku yakin, ia tidak sedang melihat ASI yang di hasilkan, tapi tempat penampung ASI yang sudah membuat gila semalaman. Aku tersenyum melihat Edward menatapku dengan tatapan sayu dengan banyak makna. "Setelah ini aku ya," pinta Edward manja mukannya memelas sekali, ia menempelkan kepalanya di bahuku. Aku tersenyum dan menggelengkan kepala. "Ward, lebih baik kamu mandi dulu," sanggahku mendorong pelan pundaknya menjauh. "Tunggu kamu saja, kita mandi sama-sama ya.." pinta Edward lagi. Aku kembali tersenyum. Edward tidur di sofa, meluruskan kakinya menungguku. Aku menggelengkan kepala melihat tingkah Edward semakin seperti anak kecil, sangat manja. Berubah seperti dulu saat pacaran dan sebelum menikah. Aku mengemas ASI, lalu aku menuliskan waktu saat ini, sebagai penanda. Aku memasukkan satu botol ke dalam plastik, lalu berdiri. "Ward, hubungi staf mu, ayo.. keburu siang," aku membangunkan Edward. Edward bangun, duduk, masih dengan mata terpejam, "Faisal sudah di depan, sudah dari tadi.." jawabnya malas. "Di depan? Depan mana?" Tanyaku heran. "Di depan villa," jawab Edward, sambil memaksa membuka mata. "Ya sudah, ini, antarkan.." Aku menyodorkan botol itu pada Edward. Edward meraihnya dan berjalan lunglai keluar kamar. Aku menarik nafas dan menggelengkan kepala melihat tanggapan Edward. Siapa sangka kalau ia adalah atasan dan pemilik perusahaan bila tingkahnya seperti itu. Aku berdiri dan berjalan masuk ke kamar mandi. Aku membuka baju dan membuka kran bath up, mengisinya dengan air hangat. Aku berdiri di depan cermin, dan melihat bayanganku. Aku tidak lagi melihat perempuan hamil dengan aura kesedihan, aku melihat wanita berkulit putih, dengan senyum yang menghiasi wajah. Walaupun ada sedikit guratan di perutku yang tidak selangsing sebelumnya, namun aku melihat badanku masih terlihat sexy. Aku bersyukur, karena wajah bahagiaku masih bisa kembali, aku sempat menyangka hidupku akan gelap selamanya. Ternyata tidak. Aku tidak ingin hal buruk kembali menimpa pernikahanku. Semoga Edward bisa menjadi lelaki setia, tidak seperti Romi yang sudah menghancurkan rasa percayaku. Pintu terbuka, Edward masuk ke dalam. Ia masih telanjang dada, datang langsung memelukku dari belakang. Ia menyandarkan kepalanya di bahuku. "Terimakasih sayang," ucapku mengusap pipinya, menatap Edward dari cermin. "Terimakasih apa?" Tanya Edward, "Terimakasih sudah mencintaiku.." jawabku seraya mengusap rambutnya perlahan. "Tidak ada yang gratis." Jawab Edward asal, lalu mengecup pundakku pelan. "Lalu?" Edward membalikkan tubuhku, aku menatapnya dalam. Wajah kami sangat dekat, nafas Edward yang memburu terdengar jelas di sela suara deru air yang keluar dari kran. Edward memegang daguku, lalu menariknya mendekat ke arahku. Aku memejamkan mata menikmati sentuhan lembut Edward. Edward menciumku lembut, tanganku aku lingkarkan di lehernya, sementara tangan Edward sudah bergerilya ke bawah sambil sesekali mencengkram bagian sensitif ku. Aku yang sudah tidak menggunakan apa-apa membuat lelaki berbadan kekar itu semakin mudah melakukan niatnya. Bibir kami masih saling terpaut. Edward menggendongku, menaikkan aku ke atas meja westafel. Ia membuka lebar pahaku. Kali ini, kecupannya berada diantara nya. Aku menggigit bibir, menahan keindahan. Edward begitu lembut dan piaway memainkan semua, aku hanya bisa menahan dan menikmati setiap kejutannya. Aku tidak memintanya melakukan semua, aku pasrah, menikmati setiap suguhannya. Edward membuka celananya, senjatanya yang sedari tadi sudah berdiri gagah, ia arahkan. Aku meringis saat benda tumpul itu kembali masuk, Edward sudah melakukan ini yang ketiga kalinya sejak kemarin sore datang ke villa, dan aku menikmati permainannya. Kami melenguh bersama, rasanya begitu indah. Baru sebentar aku sudah ingin berteriak. Untung villa ini smcukup besar jadi suara kami tidak terdengar penjaga villa. Edward yang berdiri di hadapanku mulai memaju mundurkan badannya. Ritmenya stabil, bahkan cenderung semakin cepat. Aku menyukainya, aku nyaris mendapatkan keindahan, namun Edward menghentikannya. "Ward," Edward mengecup lagi bibirku, tidak membiarkan aku perotes lebih lama. Aku kesal karena Edward menghentikan nya di saat tidak tepat. Aku melingkarkan kakiku, membawa Edward masuk lebih dalam. Edward menurunkanku, membalikkan badan dan memintaku membelakanginya. Ia kembali bermain dengan posisi aku membelakanginya. Aku memegang erat ujung meja marmer itu, aku benar-benar nyaris dibuat gila oleh keindahan yang Edward sajikan "Ward, sayang..." Aku tidak bisa diam. Tidak mungkin bisa diam di momen indah seperti ini. Edward semakin dalam memajukan senjatanya, "Ra,!" Edward seperti orang yang belingsatan, "Ward, sayang...." Aku merasakan hentakan yang indah. Edward memelukku dari belakang. "Kamu, harus tanggung jawab," bisik Edward, "aku saat ini sangat mencintaimu. Sangat. Sampai mau mati rasanya.." Edward berkata lalu menggigit pelan telingaku. Aku tersenyum mendengarnya. Aku juga merasakan hal itu. Kesedihan ku kemarin tidak lagi ku sesali, justru aku bersyukur, karena aku kini bisa bersama dengan lelaki yang aku cintai, lelaki yang benar-benar bisa membuktikan cintanya kepadaku. Aku memegang kedua rahang Edward, mengecup bibirnya kilat. "Jangan sakiti aku.." pintaku. Edward mengangguk, lalu bibir kami kembali terpaut. *** Billy Putwanka Mahakarsa, nama gagah itu Edward yang membuat. Billy artinya penjaga yang gagah, Putwanka adalah nama belakang Edward, Mahakarsa nama belakang Romi. Aku tidak menolak, karena Billy memang milik mereka berdua. Billy nantinya mungkin akan memiliki adik yang juga memiliki nama akhir yang sama, Mahakarsa, atau mungkin Putwanka. Keduanya saudara Billy. Billy bayi yang tenang, ia tidak terlalu sering menangis, menangis sebentar hanya pertanda popoknya terisi, atau pertanda ia mulai lapar. Edward tidak pernah absen menggendongnya, bahkan kalau malah terbangun, Edward akan menjaganya sampai pagi. Terkadang aku kasihan melihatnya mengantuk di saat meeting pagi, tapi Edward tidak bisa di larang. Aku akan menghandle pekerjaannya bila ia sudah mulai mengantuk. Aku dan Edward memang tidak mengambil cuti terlalu lama, karena kami bisa honeymoon kapanpun dan di manapun yang kami mau. Aku juga tidak mau memberikan contoh yang buruk untuk karyawan yang lain. Aku sudah terlalu lama absen di kantor semenjak hamil, itu saja sudah cukup membuatku dicibir banyak karyawan. Posisiku kali ini memang terbilang aman, aku istri dari atasanku sendiri. Aku bisa saja dengan bebas memarahi atasanku, karena saat ini dia suamiku. Tapi, aku tidak seperti itu, aku tetap bawahan Edward di kantor, dan istri Edward di rumah. Aku yang meminta Edward untuk tidak terlalu lama berlibur. Edward juga memiliki banyak beban nantinya bila terlalu lama keluar kantor. Pagi ini aku datang lebih pagi, ada beberapa berkas yang harus aku selesaikan. Aku melirik ke meja Queen, Queen juga sudah datang. Dia memang terkenal karyawan Edward yang rajin, Edward selalu bisa mengandalkan nya dalam segala hal. "Pagi sekali? Ada apa nih?" Tanyaku melihat Queen yang masih fokus dengan ketikannya, "Pak Edward kemarin meminta gue membuat catatan untuk di serahkan kebagian keuangan, tapi lo kan tau, matematika gue nol besar. Otak gue buntu kalau liat angka-angka begini" keluh Queen, aku tersenyum ke arahnya. "Ya udah, yang lo gak ngerti biar gue yang kerjain, sini." Aku menawarkan diri. Mata Queen berbinar seperti baru saja mendapatkan hadiah. "Serius?" Tanya Queen takjub, "Dua rius!" Aku meyakinkan. Queen tersenyum, mengangkat laptopnya, lalu menjelaskan pekerjaan nya yang belum selesai sedari tadi. Aku mengangguk dan mengerti. Sudah lama aku menjadi asisten Edward, pekerjaan seperti ini sudah biasa ku kerjakan. Aku mengerjakan pekerjaan yang menjadi tugas Queen. Aku sudah hafal betul teknik yang Edward mau. Bila menggunakan teknik penghitungan lain, Edward akan perotes. "Ehem." Sebuah suara berdeham mengagetkanku, Edward datang dan sudah berdiri di hadapan aku dan Edwaed. Edward datang lebih pagi dari biasanya. "Ara, masuk ke ruangan saya sekarang. Bawa berkas untuk ke PT Tunas Trans." Ucap Edward dingin. "B-baik, Pak." Jawabku, aku langsung buru-buru meraih tumpukan berkas yang ku bawa. "Ta-tapi, Pak. Bu Ara sedang membantu saya mengerjakan i-" "Itu tugasmu, bukan tugas dia. Masuk!" Perintah Edward tidak pandang bulu. Queen menghembuskan nafasnya kesal melihat keketuaan Edward. Aku mengikuti langkah Edward. "Suami istri yang aneh, ga ada mesra-mesranya!" Celetuk Queen pelan, "Kalau gue dan Pak Edward romantis, nanti lo pingin.." jawabku berbisik sambil senyum ke arahnya. Muka Queen masam. Aku mengetuk pelan pintu ruangan Edward. Edward mempersilahkan aku duduk di hadapannya. Mejanya masih sama, tidak penuh, hanya ada papan nama, tempat pena, telepon dan laptop. Kini ditambah sebuah foto pernikahan mungil di sisi menanya. "Ra," panggil Edward. "Aku mencintaimu," ucap Edward, matanya masih terus memperhatikan layar laptop. "Ward, ini kantor. Jam kantor. Ini sudah aku bawa berkas untu PT. Tunas Trans, nah, jadi.." aku meletakkan tumpukan berkas ke atas meja, seperti yang ia pinta "Sampai kapan kita datang sendiri-sendiri seperti ini?" Potong Edward lagi, "Ward, please. Kita tetap profesional kerja di kantor." Aku memohon, "Ra, tapi kamu itu, istriku, istri kebanggaan ku, istri kesayanganku!" Edward meyakinkan. Ara beridiri, lalu kembali mengangkat berkas-berkas dan memundurkan kursi. "Kalau sudah ada yang tidak ingin dibicarakan, saya permisi, Pak." Ara pamit, "Oh ya," Edward membalikkan badannya lagi, "aku juga mencintaimu." Ucapku pelan. Edward tersenyum mendengarnya. Aku berjalan keluar ruangan. Di luar sudah ada Queen yang menunggu. "Kok cepat sekali?" Tanya Queen, "Hanya bilang, kalau dia cinta aku." Ucapku pelan, "Hah? Ih, males deh. Romantis banget." Ucap Queen singut. "Lah, tadi katanya disuruh romantis? Sekarang udah romantis kok manyun?" Aku tertawa melihat ekspresi lucu wajah Queen. Aku bahagia dengan situasi saat ini. Sangat bahagia.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

(Bukan) Istri Pengganti

read
48.8K
bc

Rujuk

read
904.3K
bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
50.5K
bc

The Ensnared by Love

read
103.6K
bc

Dua Cincin CEO

read
231.2K
bc

Sacred Lotus [Indonesia]

read
49.8K
bc

Dependencia

read
185.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook