Bab 2 | Cemburu

1951 Words
Aku mencium tangan Bunda dan Ayah. Sudah lama mereka menemaniku di Jakarta, saat ini saatnya mereka pulang kembali ke Kalimantan. Setelah mereka pulang nanti, aku juga harus pindah ke rumah Edward, karena setelah menikah aku memang belum pindah ke rumahnya. Aku masih di rumah yang disediakan Romi untukku selama proses perceraian selesai hingga aku menikah dengan Edward. Romi memang tidak melepas tanggung jawabnya atas Billy. Ia masih sangat memperhatikan aku dan Billy. "Jaga kesehatan ya, Bun." Ucapku, Bunda mengangguk tersenyum, aku kembali memeluk Bunda. Aku mungkin akan kembali bertemu Bunda dalam jangka waktu lama. Bunda dan ayah tidak bisa terlalu sering mengunjungi ku ke Jakarta. Mereka terlalu tua untuk bepergian jauh. "Kamu juga ya sayang, jaga kesehatan, cari pengasuh Billy yang benar-benar terpercaya, karena zaman sekarang sulit mencari orang yang serius." Pesan Bunda, Bunda sudah mengingatkan ini berulang kali. Aku mengangguk. Bunda dan Ayah menaiki mobil Edward, aku melambaikan tangan ke arah mereka, begitu juga dengan Bunda. Di pelukanku ada Billy yang masih tidur dengan bibir yang mengatur dan sesekali mengecap. Membuatnya terlihat begitu lucu. Selama ini yang membantuku merawat Billy adalah Bunda, jadi aku tidak terlalu khawatir meninggalkannya walaupun agak lama. Benar kata Bunda, aku harus memikirkan mencari pengasuh Billy, karena aku memilih untuk tetap bekerja. Aku tidak bisa mengandalkan Bik Inah, karena tugasnya sudah mengurus rumah. Aku juga tidak mungkin meminta cuti lagi dengan Edward, walauapun aku yakin Edward akan mengizinkan tapi aku tidak ingin menjadi bahan gosip karyawan Edward lagi. Aku harus menyesuaikan jadwal cutiku dengan karyawan lain. Baru akan membalikkan badan untuk masuk ke dalam rumah, tidak lama sebuah mobil yang ku kenal datang. Mobil BMW berwarna silver gelap itu memang mobil kesayangan Romi, aku sudah hafal dari bunyinya saja. Dari beberapa mobil Romi, hanya mobil ini yang selalu ia bawa. Romi datang tepat setelah mobil yang mengantarkan Bunda dan Ayah keluar gerbang. Aku yang masih berdiri di teras, menunggunya turun dari mobil. Romi pasti memiliki alasan mengunjungi ku pagi ini. Romi turun, ia mengenakan kemeja marun dengan celana dasar, lengan panjang kemeja itu sudah di gulung, sebuah dasi abu-abu masih tergantung di lehernya, saat ini memang masih jam kantor. Edward saja masih ada di kantor. Terlihat gaya Romi masih mengenakan pakaian yang biasa ia kenakan untuk ke kantor. "Hai, Ra." Sapa Romi, aku hanya tersenyum tidak menjawab sapaan lembutnya Aku melihat ke arah mobil Romi, mencari Deffa yang biasanya selalu mengikuti kemanapun Romi pergi. Tapi tidak ada siapa-siapa di belakang Romi. Tidak biasanya. Bisikku dalam hati. "Deffa di rumah, tidak ikut." Ucap Romi seakan mengerti apa yang ku maksud. "Oh," aku mengangguk mengerti, Romi memegang tangan Billy yang masih tidur di pelukanmu. Jari Romi digenggam oleh Billy, membuat Romi tersenyum. Senyum Romi masih sama, senyum yang bisa meluluhkan hati wanita, wanita selain aku tentunya karena aku sudah tidak percaya lagi dengan senyum manisnya. "Boleh aku menggendong Billy?" Tanya Romi, aku mengangguk. Aku menyerahkan Billy ke Romi perlahan, Romi menerima Billy dengan hati-hati. Romi terlihat begitu bahagia menggendong Billy, Billy masih tertidur di gendongannya, hanya sedikit menggeliat karena tidurnya terusik. Perutnya yang kenyang, akan membuatnya nyenyak. Hanya popok yang basah saja yang akan membangunkannya. "Masuk," aku mempersilahkan Romi masuk. Tidak ada pilihan lain, aku tidak mungkin membiarkan Romi yang sedang menggendong Billy berdiri di teras. Romi berjalan masuk mengikuti ku ke dalam rumah. Ia duduk di kursi ruang tamu, tatapannya masih ke arah Billy. Aku duduk tidak jauh dari mereka, tidak ingin merusak suasana kebersamaan nya dengan Billy. Bagaimanapun Billy adalah anaknya. Semenjak perceraian kami, Romi memang selalu datang, bersama Deffa mengunjungi ku dengan alasan menemui Billy. Tidak dengan hari ini. Hari ini juga tepat sekali ia datang setelah Ayah dan Bunda pulang, jadi di dalam rumah hanya ada aku, Romi dan Billy. "Rom, hari ini aku akan pindah ke rumah Edward." Ucapku menyampaikan niatku. Romi mengangguk singkat. Wajahnya biasa saja. Ia menatapku sekilas, lalu kembali memalingkan tatapannya ke arah Billy. Aku hanya memberitahu nya, aku tau ia pasti mengerti keadaanku sekarang istri Edward, itu adalah pilihan tepat yang harus aku ambil. Aku membiarkan Romi bersama Billy. Aku beranjak bangun, dan berjalan ke dapur untuk membuatkan Romi minum, tapi terdengar suara Billy menangis, Romi membangunkannya. Aku mengurungkan niat ke dapur, suara tangisan Billy membuatku tidak tenang. Aku kembali mendekati Billy "Rom, sini. Biar aku yang menggendong." Aku mendekati Billy yang masih merengek di gendongan Romi. Romi menatap wajahku, wajah kami kali ini begitu dekat karena posisiku yang ingin memindahkan Billy dari pelukan Romi ke gendonganku. Aku melihat Billy kembali tidur setelah aku usap keningnya, mendekat ke arahnya. Romi masih menggendong Billy, aku terus mengusap kening Billy lembut agar ia tertidur. Aku mengangkat tatapanku, ternyata Romi sedang menatapku lekat, tatapan kami bertemu beberapa detik, lalu aku menjauhkan wajahku, memalingkannya ke arah lain. Romi terlihat kikuk setelah kedapatan menatapku. Aku kembali duduk agak jauh darinya, berusaha tetap tenang, dan mengatur kondisi agar kembali normal. Aku benci keadaan seperti ini. Aku tidak mau Romi menyangka aku masih menyimpan rasa dengan nya. "Hai, Rom!" Edward tiba-tiba muncul dari balik pintu yang terbuka, aku terkejut karena Edward sudah datang. Entah dari kapan. Aku tidak mendengar suara mobilnya. Wajahku memerah, aku takut Edward melihat adegan tatap-tatapan aku tadi dengan Romi. Dadaku tidak menentu, aku sungguh takut Edward salah faham. "H-hai, Ward " jawab Romi terbata, wajah Romi masih memerah karena kejadian tadi. Aku berdiri menghampiri Edward, berusaha bersikap biasa saja. Aku hanya takut Edward marah karena salah faham. "Ward," aku mencium punggung tangan Edward, menyambutnya. Edward duduk di sampingku, lengannya di lingkarkan di pundakku. Terdengar ponsel Romi berdering mencairkan situasi. Aku berdiri dan membantu Romi menggendong Billy. Perlahan Romi menyerahkan Billy kepadaku. Setelah itu, Romi langsung mengangkat teleponnya. "Iya, halo?" Buka Romi, "Apa? Jatuh?" Tanya Romi. Romi berdiri dari duduknya. Wajahnya terlihat tegang, ia menyelesaikan teleponnya. Romi mematikan sambungan teleponnya cepat lalu kembali meletakkan ponselnya ke saku jas. "Deffa jatuh, terpeleset dari tangga." Ucapnya panik, meraih kunci mobil yang ia letakkan di atas meja ruang tamu. "Astaga.." aku dan Edward menanggapi bersamaan. "Kamu hati-hati, Rom. Jangan terlalu panik. Berbahaya mengendarai mobil dalam keadaan panik." Pesanku karena Romi terlihat sangat panik Romi mengangguk. Ia langsung berlari kecil meninggalkan kami. Aku dan Edward berdiri mengantarnya keluar rumah. Romi tidak lama, ia langsung melajukan mobilnya kencang. "Kasihan Deffa.." ucapku, Deffa sedang mengandung pasti saat ini keadaannya tidak baik. Aku berdoa dalam hati semoga kandungan Deffa baik-baik saja. "Hm, lain kali aku tidak akan membiarkanmu berdua saja dengan Romi di rumah." Celetuk Edward tiba-tiba, aku mendongak, menatap ke arahnya. "Tadi Romi terlihat begitu memperhatikanmu..," sambungnya. Sepertinya Edward melihat kejadian tadi, Romi menatapku, wajah kami begitu dekat. Wajah Edward terlihat di tekuk, baru kali ini aku melihat Edward cemburu. Aku benar-benar merasa bersalah, tidak seharusnya memang aku melakukan hal yang dapat membuat Edward sampai berfikiran seperti itu. Aku tersenyum, dan menjinjit mencium pipinya, aku berusaha meredupkan api cemburu Edward. "Suamiku semakin tampan bila cemburu.." ucapku menghibur. Edward mengatur nafas, aku tau rasa cintanya padaku yang besarlah yang membuat Edward merasa kesal karena menyaksikan adegan tatap menatap antara aku dan Romi tadi. "Apa kamu sudah tidak ada perasaan apa-apa lagi dengannya?" Tanya Edward penuh selidik Aku tertawa mendengar pertanyaan nya, "kenapa tertawa?" Tanya Edward mulai singut "Perasaan..., Hmm..," aku pura-pura berfikir, "Kenapa masih berfikir? Apa masih ada perasaanmu untuk Romi?" Tanya Edward terlihat kesal "Hm, rahasia dong.." jawabku sambil membalikkan badan menjauhi Edward dan masuk ke dalam rumah. Edward berjalan mengikutiku dengan wajah yang begitu marah. "Jadi? Masih? Iya?" Tanya Edward penasaran, Edward memegang pundak ku, menahan ku untuk berjalan. Aku sedikit terkejut melihat respon seriusnya. Memang benar kata orang, seseorang akan terlihat kekanak-kanakan apabila sedang jatuh cinta. Begitu yang dialami Edward akhir-akhir ini. Ia semakin kekanak-kanakan dibandingkan sebelum menikah. Aku anggap itu ungkapan cintanya kepadaku, aku menyukai sifat barunya. "Apaan sih!" Aku kembali membalikkan badan dan berjalan menjauhinya. Edward terdengar kesal. Aku mengulum senyum karena umpanku termakan. Edward sudah berhasil ku pancing. Aku suka dengan rasa cemburu Edward. *** Edward mengangkat beberapa koper turun dari mobil. Aku memang tidak banyak memiliki barang-barang, tapi Billy memiliki barang yang cukup membuat mobil minibus Edward penuh. Setelah itu Bik Inah datang dan membantu menurunkan barang-barang dari dalam mobil. Setelah membawa barang-barang masuk, Bik Inah menghampiri ku yang sedang menggendong Billy, "Bibi sudah cuci tangan, Neng. Hm, bibi boleh menggendong Billy?" Pinta Bik Inah menjulurkan tangannya semangat. Aku mengangguk. Aku menyerahkan Billy ke Bik Inah, Bik Inah terlihat bahagia saat menggendong Billy. Siapa yang tidak menyukai Billy, bayi putih dengan pipi tembam itu memang menggemaskan di mata siapapun yang melihat. Edward memeluk pundakku, "Bik, titip Billy dulu bisa ya?" Pesan Edward, aku menghentikan langkah menatap ke arahnya, tidak mengerti mengapa tiba-tiba Edward seperti berpamitan, "aku dan Ara mau menjenguk istri Papanya Billy. Tadi katanya habis jatuh.." ucap Edward melanjutkan omongannya. Aku mengerti, ternyata Edward masih mau menjenguk Deffa, walaupun ia sempat cemburu dengan Romi, tapi begitulah Edward. Ia tetap bersikap dewasa layaknya lelaki sejati. Itulah mengapa aku menyukai Edward, ia memiliki sifat yang baik dan bisa mengatur emosinya dengan baik. Bagaimanapun ia adalah pemenang nya. Pemenang tidak seharusnya cemburu dengan lawannya yang kalah. "Oh ya, Bik. Di dalam tas merah tadi, ada kantung ASI, tolong di letakkan di kulkas ya.." pesanku, "Bibik sudah tau, Neng. Bibi lihat Bundanya Neng Ara saat main ke rumah Neng Ara waktu itu.." Aku mengangguk tersenyum. Untunglah Bik Inah sempat mengunjungimu kemarin, mungkin saat itu Bunda sudah menjelaskan semua kepada Bik Inah. "Kita pergi dulu ya, Bik." Ucap Edward berpamitan. "Hati-hati den, Billy akan Bibi jaga dengan baik," jawab Bik Inah. Aku dan Edward naik ke dalam mobil. Aku melihat ke arah Edward yang duduk di sampingku. Ia semakin tampan dan gagah, aku semakin mencintai nya. Aku mengusap pipi Edward lembut, tangan kiri Edward memegang tanganku, sementara yang sebelahnya mengendalikan mobil. "Kamu tadi cemburu ya dengan Romi?" Tanyaku pelan, Edward langsung mengangguk tanpa basa-basi, "Aku sangat cemburu. Kalian tatap-tatapan seperti di sinetron." Jawabnya lugu, "siapa coba yang gak cemburu melihat istrinya romantis seperti itu dengan mantan suaminya.." "Tadi tidak sengaja, Ward. Lagi pula tidak usah cemburu, aku dan Romi sudah sama-sama memiliki kehidupan sendiri.." aku menghibur Edward. Edward tidak menjawab, ia masih menatap lurus ke depan dengan muka masih sedikit masam, "Aku harap kamu tidak makin cantik," celetuk Edward dengan wajahnya yang tidak bisa ia sembunyikan "Hah? Kenapa? Ih, jahat!" Aku memukul pundak Edward. "Aku tidak mau ada lelaki yang suka padamu. Baik Romi atau siapapun!" Jawab Edward seperti remaja yang sedang memperingati pacarnya. "Kalau aku jadi jelek, bukan hanya tidak ada yang suka, tapi kamu juga pasti akan berpaling!" Aku berbalik tidak terima. "Tidak. Itu tidak mungkin!" Sanggah Edward tegas. "Aku akan mencintaimu sampai gigimu ompong. Syaratnya cuma satu, hanya aku dan anak-anak kita yang menyukaimu, mencintai mu." Edward menanggapi serius. Jawabannya kali ini benar-benar membuat tawaku lepas. Aku mencium pipinya gemas. "Baiklah, Deal!" Edward tersenyum mendapat ciuman mendadak yang mendarat di pipinya. Semoga apa yang dikatakan Edward benar. Edward bisa menerimaku apa adanya. Karena aku trauma mengingat perkataan Romi dulu saat ku pergoki bersama Deffa. Romi menghina fisikku, dan membandingkan nya dengan Deffa. Membuatku merasa minder, dan merasa gagal menjadi seorang perempuan. Tapi semenjak bersama Edward, aku jadi lebih merasa di hargai layaknya seorang wanita dan istri ingin diperhatikan. Edward juga tidak menuntut ku macan-macam, ia akan protes bila tidak suka, dan akan mengatakan suka bila itu menurutnya cocok untukku. Semoga Edward bisa menjadi seperti ini selamanya, semoga kesetiaan dan cinta apa adanya yang ia miliki akan tetap bertahan hingga maut yang kelak akan memisahkan kami. "Aku mencintaimu, Ra. Sungguh.." ucap Edward pelan masih mengendalikan mobilnya. Tatapannya masih lurus ke depan. Aku mengangkat tubuhku sedikit, lalu kembali mencium pipi Edward mesra. "I love you more..." Jawabku. Aku juga mencintai nya, mungkin melebihi segalanya. Aku ingin bisa memberikan yang terbaik untuk Edward dan kehidupan nya. **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD