Bab 3 | Gadis Manis

1797 Words
Mobil Edward sudah berhenti di halaman rumah Romi. Halaman dimana dulu aku sering berjalan atau sekedar berkebun di sini. Ini dulu adalah rumahku, di sini aku pernah merangkai kebahagiaan merangkai kehidupan . Aku melangkah masuk ke rumah Romi yang megah. Dulu rumah ini adalah tempat tinggalku, di rumah ini aku pernah merasakan kebahagiaan menjadi istri Romi, diperlakukan manis oleh lelaki yang kini lebih memilih wanita lain dari pada aku dan anaknya. Di sini juga aku pernah merasa menjadi wanita yang sempurna karena memiliki suami seperti Romi. Romi memperlakukan ku begitu istimewa bukan hanya pada awalnya, bahkan setelah ia menghianatiku, Romi masih memperlakukan ku istimewa hanya saja kelakuan Romi tidak sesuai dengan harapanku sebelumnya. Romi yang menyebabkan aku terombang-ambing dalam rasa menyesal yang mendalam karena sudah memilihnya sebagai suami. Aku menatap sekeliling, saat aku masih di sini, foto besar yang terpampang saat membuka pintu utama adalah foto pernikahan ku dengan Romi, namun kali ini berbeda, terpampang foto Romi dan Deffa yang begitu serasi. Cantik dan tampan, mereka berdua bak raja dan permaisuri. Terlihat senyum Romi memang berbeda seperti saat pesta resepsi pernikahan kami dulu. Senyum Romi di foto itu terlihat begitu bahagia dan alami. Romi menyambut kami dengan baik, terutama dengan Edward. Romi memeluk Edward dan mengucapkan terimakasih karena sudah mengunjungi mereka. Romi menceritakan bahwa Deffa terjatuh dari tangga karena ia menerima telepon saat turun tangga, ia menuruni tangga sambil memegang ponsel dan tidak berhati-hati. Aku menatap Romi, dasi yang awalnya tergantung kini sudah terlepas, begitu juga dengan kemejanya, kini dua kancing atas kemejanya sudah terlepas. "Bagaiamana keadaan Deffa, Rom?" Tanyaku, Romi memijat keningnya ia terlihat begitu kekalahan dan sedang ada sesuatu yang ia fikirkan "Ia harus bed rest dulu. Pertimbangan dokter tidak membawanya ke rumah sakit karena memang obat satu-satunya saat ini adalah istrahat total." Jelas Romi, aku tau, Romi memang bisa melakukan walaupun termasuk hanya sekedar memanggil dokter kandungan ke rumah. Suatu hal yang mungkin jarang bisa terjadi pada orang yang biasa saja. "Semoga tidak terjadi apa-apa, Bro." Ucap Edward menepuk pundak Romi beberapa kali. "Ya, semoga. Aku tadi sempat khawatir dengan kehamilannya," Jawab Romi menghela nafas, "Billy, dimana?" Tanya Romi ketika tidak mendapati anaknya di pelukanku. "Dengan Bik Inah di rumah.." jawabku, "Kalau kalian butuh pengasuh, aku punya kenalan agen baby sitter yang terpercaya.." tawar Romi, "Iya, kami..." "Tidak perlu. Kami sudah mendapatkan orang yang tepat." Edward memotong pembicaraanku. Aku mengerutkan alis, menatap ke arah Edward. Edward belum memberikan informasi apapun mengenai pengasuh yang menurutnya tepat untuk Billy. Edward tersenyum, menatapku dan mengangguk mengisyaratkan bahwa semua memang benar adanya, ia menang sudah mengantungi nama baby sitter untuk Billy. Aku mengangkat alis, berusaha mengerti maksud Edward. Semoga benar yang ia katakan, Edward memang sudah menemukan pengasuh yang tepat. "Oh ya, dari penyalur tenaga kerja juga?" Tanya Romi, "Bukan, dia sudah ku anggap seperti adik. Adik angkat ku tepatnya.." jelas Edward. Aku kembali menatapnya, Edward terlihat serius menjelaskan, lagi-lagi kali ini Edward belum menjelaskan apapun kepadaku, apalagi perihal adik angkatnya. Aku belum pernah mendengar kalau Edward memiliki adik angkat, apalagi yang akan ia pilih sebagai pengasuh. Aku mengangguk, mengimbangi, seolah aku sudah tau dan mengenal pengasuh yang di ceritakan Edward. Aku melirik ke arah Edward lagi, Edward kali ini berbicara masalah lain dengan Romi, tapi aku masih kepikiran dengan pilihannya tadi. "Ok, kami pamit dulu Rom. Kami tidak bisa lama-lama meninggalkan Billy di rumah.." Edward pamit, ia berdiri. Aku mengikutinya. "Semoga Deffa segera sehat." Ucapku menyambut uluran tangan Romi. "Amin," jawab Romi. Aku berjalan keluar rumah Romi, Edward membukakan pintu mobilnya untukku, aku masuk ke mobilnya. Di dalam mobil, Edward tetap diam seolah tidak ada yang perlu dibicarakan, sementara aku masih penasaran dengan apa yang ia katakan tadi. Padahal aku ingin dia membuka pembicaraan terlebih dahulu, memberi tahu ku bahwa ia lupa mengamatiku bahwa ia sudah memilih adik angkatnya untuk menjadi pengasuh Billy. "Siapa dia?" Aku tidak tahan, akhirnya aku bertanya. Edward memalingkan wajahnya sebentar ke arahku, lalu kembali menatap ke depan, "Siapa?" Ia balik bertanya, "Yang kamu pilih untuk mengasuh Billy.." jawabku, "Oo," bibir Edward membulat, "Fia.." jawab Edward singkat, aku menatap Edward bingung karena baru pertama kali mendengar nama itu. "Kenapa tidak memberi tahuku sebelumnya?" Aku berkata datar, "Aku berencana langsung menemuimu dengannya.." "Seperti apa orangnya?" Cecar ku. Karena ini menyangkut Billy, anakku. "Cantik." Jawab Edward singkat, aku langsung menatap Edward yang tersenyum iseng, "Haha, maaf maksudku dia tidak cukup cantik bila dibandingkan dengan istriku ini.." sambung Edward. Aku meremas tali tasku, geram. Dadaku panas ketika Edward memuji wanita lain, "Bukan itu maksudku, Ward!" Aku menyangkal kecemburuan ku. Tangan kiri Edward mengusap rambutku, "dia adik angkatku, anak panti asuhan di dekat rumah." Jelas Edward. Tangannya kali ini menggenggam tanganku yang masih mengepal kesal. "Dulu, setelah kecelakaan, setelah Papa dan Adik Perempuanku meninggal, aku selalu bermain ke panti asuhan itu." Edward memulai bercerita, "Kenapa?" Tanyaku penasaran, "Tidak ada, sekedar ingin mengusir rinduku kepada adik dan Papaku. Di sana aku bertemu Fia. Dia usianya di atas adikku, tapi sifat manjanya mirip adikku." Cerita Edward, tatapannya masih ia lempar ke depan, karena ia sedang mengendalikan mobil. "Manja?" Tanyaku penuh selidik, "Haha, itu kan dulu sayang, tidak perlu cemburu dengan Fia. Kalau aku mau dengannya, mungkin aku sudah dari dulu menikah dengannya.." tawa Edward pecah ketika mendengar pertanyaanku. Aku semakin terlihat kalau aku sedang cemburu. "Tunggu.. Fia.. Fia yang kamu maksud, yang waktu itu Mama sebut ingin dijodohkan denganmu itu kan?" Aku mengingat nama yang pernah Mamanya Edward sebutkan. Selain Clara, ada Fia. "Ya, benar." Edward membenarkan. Aku memukul tasku, tanganku mengepal kes. "Tuh kan!" Aku tidak bisa mengendalikan tingkah kekanakan ku kali ini. Dadaku sesak, ada rasa takut yang teramat saat ini. Mungkin karena aku pernah merasakan dihianati, jadi rasa takut kembali dihianati membuatmu semakin tak menentu. Aku takut Edward menjadi seperti Romi. Bagaimanapun Edward hanya lelaki biasa. "Tuh kan apa sih, Ra. Sudahlah, intinya Fia adalah orang baik, dia sudah terbiasa mengurus adik-adiknya di panti, jadi sudah terbiasa mengurus bayi.." ucap Edward kembali menggenggam tanganku menenangkan. Aku mengatur nafasku, Edward benar, mungkin Fia lah orang yang tepat untuk merawat Billy saat ini. Lagipula, aku sudah menikah, Edward sudah menjadi milikku. Tidak perlu aku merasa cemburu seperti ini. Aku menarik nafas dalam, lalu menghembuskan nya perlahan. "Tapi, kamu selamanya punyaku." Aku memperingati Edward, "Hahaa, iya lah, masa ya iya dong!" Tawa Edward pecah sambil bercanda. Aku tertawa mendengar candaannya. Sesampainya di rumah, aku dan Edward turun dari mobil. Edward membukakan pintu rumah. Aku melangkah masuk. Aku dapati ruangan rumah Edward yang besar di dominasi warna putih dan gold. "Mas.." Tiba-tiba seorang wanita berdiri di depan kami. Seorang wanita muda, berambut hitam lurus diikat, tingginya melebihi ku, nyaris menandingi Edward, wajahnya tirus, putih bersih. Matanya tidak terlalu sipit juga tidak terlalu besar, alis matanya hitam tersusun rapih, bulu matanya lentik alami. Tidak ada sentuhan make up di wajahnya. Aku menatap Edward, karena tatapan wanita muda itu ke arah Edward. Nyaris tak berkedip. Wanita itu tidak mengalihkan pandangannya sedetikpun dari suamiku. Ia terlihat begitu cantik alami. "Oh, Fia. Hai! Sudah sampai?" Edward membuka jasnya, aku membantunya membuka jas dan menyandangkabmn nya ke lengan kiriku. Sambil berjalan masuk, Edward membuka ikatan dasi di kerah kemejanya. "Oh, ya, kenalkan, ini Ara. Istriku." Ara menatap ke arahku, Fia menjulurkan tangannya ke arahku, aku menerima genggaman tangannya. "Mutiara, panggil saja Ara." Ucapku memperkenalkan diri. "Iya, mbak Ara.." sambut Fia. Tidak lama, Fia jaya menatapku sebentar sesaat saat berkenalan, setelah itu ia terus menatap ke arah Edward. Walaupun Edward tidak membalas, tapi aku menjadi khawatir. Ada perasaan aneh yang mengganjal di hatiku. Aku tidak mengerti apakah hanya perasaan cemburu, atau karena ada hal lain. Edward mengajakku duduk, begitu juga Fia. "Oke Fia, kamu di sini tugasnya menjaga Billy. Sudah bertemu belum?" Tanya Edward. Fia mengangguk, "Iya, sudah." Jawabnya singkat, ternyata Fia sudah bertemu Billy yang sedang bersama Bik Inah. "Aku dan Ara setiap pagi berangkat bekerja. Kami satu kantor. Jadi, kamu harus benar-benar memperhatikan Billy." Jelas Edward seraya memeluk pundakku. Fia mengangguk sejenak menatap pandangannya ke lengan Edward yang melingkar di pundak ku. Aku menatap tajam ke Fia yang tidak memalingkan pandangannya ke arah yang lain, ia menatap lurus ke arah Edward. Sementara Edward, terlihat begitu santai, seperti biasa saja. Aku sudah dikuasai perasaan tidak menentu. "Bik, Bibik.." panggil Edward. Bik Inah datang menggendong Billy, Billy terlihat bangun dan menggeliat, aku berdiri dan meraih Billy dari gendongan Bik Inah, aku menggendong Billy dan kembali duduk di samping Edward. "Hai, tampan Ayah. Sudah bangun ya.." Edward mencium kening Billy, meraih Billy dari gendongan Bik Inah. "Nah, ini dia. Billy. Dia bayi yang tenang, tapi kamu harus benar-benar memperhatikan nya. Aku akan memasang kamera pengawas di sudut ruangan, dan kamar Billy. Jadi nanti, aku dan Ara akan dengan mudah mengawasi Billy di rumah," jelas Edward. Edward menunjuk beberapa titik yang akan ia pasang kamera pengawas, selama ini memang beberapa kamera hanya terpasang di luar ruangan. Aku bersyukur karena Edward memperhatikan Billy sampai begitu detil. "Baik, Mas. Fia sudah terbiasa mengurus adik panti." Jawab Fia manis, tapi aku semakin khawatir dibuatnya. "Ehem.." aku berdeham, "Fia, kamarmu di samping kamar Bik Inah, tapi di kamar Billy ada karpet lembut yang bisa kamu gunakan saat menjaga Billy, untuk istirahat." Aku menambahi berusaha menyadarkan Fia untuk menyingkirkan tatapan matanya ke arah suamiku. "Baik, Mba. Terimakasih.." jawabnya tersenyum. Giginya rapih, dan lesung pipi di pipi kanannya membuat gadis itu semakin terlihat manis. Edward masih menciumi Billy yang masih tidur. "Sayang, ganti baju dulu.." aku mengusap rambut Edward, lalu meraih kepalanya dan mencium kening Billy. "Oh, iya." Jawab Edward, "kamu mau gendong Billy?" Tanya Edward. Fia mengangguk. Fia berdiri, aku memindahkan Billy ke Fia. Fia menerima Billy perlahan. "Nak, main dengan aunty Fia dulu ya, Ayah dan Mama mau ke kamar dulu.." pamit Edward mencium Billy yang kini sudah di gendongan Fia. "Titip Billy dulu ya, Mba mau ganti baju dulu.." pamitku "Baik, Mba.." Edward mencium pipiku tiba-tiba. Aku memegangi pipiku kaget, dia membalas perlakuan ku. Edward berbisik, "I love you," Aku melirik ke Fia yang membuang tatapan ke arah lain, aku hanya penasaran dengan respon Fia saat melihat Edward bertindak mesra kepadaku. Aku menggandeng lengan Edward dan berjalan masuk ke kamarnya. Sesampainya di kamar, Edward kembali menciumku, kali ini bibirku menjadi sasarannya. "Ward, tunggu.." aku menjauhi wajahnya yang awalnya berada sangat dekat denganku. "Ada apa?" Tanya Edward. Aku berjalan menuju ke depan lemari, aku membuka beberapa kancing baju, dan melepaskan bajuku. "Kenapa sih, kok Fia terus menatapmu?" Tanyaku penasaran, Aku meraih sebuah baju yang tergantung di lemari, "dari tadi aku perhatikan, dia terus menatapmu. Aku..." Edward meraih daguku, pembicaraanku terhenti. Ia melanjutkan ciumannya, aku memejamkan mata. Edward memundurkan wajahnya sejenak, "aku tidak perduli. Yang harus kamu ingat, aku mencintaimu, amat sangat mencintaimu..." Ucap Edward di sela nafasnya yang memburu. Aku menarik kepalanya, kembali menciumnya rakus. Edward mengurungkan niatku memakai baju, ia justru menanggalkan semuanya. Edward tidak bisa melewatkan waktu berdua memang. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD