Bab 4 | Kesalahan Edward

1451 Words
Edward memicu badanku, ia mengangkat badannya setengah berdiri. Badannya yang kekar bermandikan keringat, membuatku semakin tidak berdaya. Aku memejamkan mata, menggigit bibir bawahku, di tambah Edward sesekali mengulum bagian sensitif ku. Edward selalu bisa membuatku tidak berdaya, jangankan gerakanny, desis suaranya saja bisa membuatku tidak bisa berpaling. "Ward..." Aku melengkung, memeluk Edward agar memasukkannya lebih dalam, Edward tidak perduli, ia terus mempercepat gerakannya, tidak lama ia menyusul menghentikan gerakannya mengikutiku. Ia berteriak tertahan. Edward jatuh di atas badanku yang sama-sama bermandikan keringat. "Ah, aku kalah hari ini.." bisiknya di sela nafasnya yang memburu. Aku tersenyum sambil mengatur deru nafasku yang tersengal. "Terimakasih sayang.." aku berkata di pinggir daun telinganya. Edward mencium keningku seraya mengangguk kan kepala. Aku berharap akan terus ada keindahan yang tercipta antara aku dan Edward, walaupun aku sadar kalau tidak ada rumah tangga yang berjalan mulus tanpa halangan, akan ada kerikil yang mengusik tapi paling tidak, aku berharap aku tidak lagi terpuruk dalam lembah kegagalan rumah tanggaku. Aku tidur di lengan Edward, Edward memelukku, menepuk-nepuk pundakku yang lembab oleh keringat. "Kamu juga tidak boleh tampan," celetukku asal, mencubit dagu Edward gemas, Edward tersenyum, memejamkan matanya, "aku tidak mau kamu disukai wanita lain." Tutupku. Edward semakin kencang merengkuhku. Aku mendengar tawa kecil dari dadanya. "Kamu terlambat," jawab Edward datar, "Maksudmu?" Aku mengangkat kepala, dan menatap wajah Edward tidak mengerti. "Maksudku, kalau berharap seperti itu sudah terlambat. Karena aku memang sudah terlahir tampan." Jawaban usil Edward membuatku kesal. Aku memukul dada Romi yang masih tidak memakai apa-apa, "tapi tenang saja, kamu adalah wanita kedua setelah Mama yang ku cintai." Sambung Edward. Aku memejamkan mata, Edward mengusap rambutku lembut. Kami memejamkan mata menyembunyikan tubuh polos di bawah selimut. *** Aku duduk sesaat, mengumpulkan kekuatan untuk mengusir kantukku. Aku menyibakkan selimut putih yang menutupi hampir seluruh tubuhku, mengucek mataku menahan kantuk yang masih hinggap. Aku melirik jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, aku sudah ketiduran kurang lebih dua jam. Aku mengikat rambut dan mengenakan baju tidurku. Edward sudah tidak tidur di sampingku, di sampingku hanya ada seprei kucal sisa pertempuran tadi. Aku berjalan lunglai sambil melilitkan handuk ke bagian bawah badanku, lalu membuka pintu toilet berharap ada Edward di sana, namun aku tidak mendapati Edward. Aku memakai pakaian yang tercecer di lantai. Setelah memakai pakaian lengkap, aku berjalan keluar, aku juga harus memastikan Billy sudah tidur karena aku meninggalkannya dengan Fia tadi, aku keluar kamar, berjalan ke arah pintu kamar Billy yang tidak tertutup sempurna. Lampu ruang tengah sudah padam, itu berarti Bik Inah sudah tidur. Aku berjalan perlahan, lampu kamar Billy masih hidup sepertinya Fia masih bermain dengan Billy, sinar lampu dari kamar Billy membuat sinarnya tersisip di tengah pintu kamar yang dihadiahkan Edward itu. Aku membuka pintu itu perlahan, "Aduh, Mas. Pelan-pelan, sakit.." aku mendengar suara seorang wanita dari kamar Billy, aku membuka pintu perlahan, terlihat seorang lelaki mengenakan kaus berdiri dengan menggunakan dengkulnya, menghadap ke tembok. Sementara Fia duduk di hadapannya. Aku tidak langsung memanggil mereka, aku ingin mendengar lagi, apa yang akan dikatakan Fia dan lelaki di hadapannya itu. "Aw, aduh. Sakit Mas.." pekik Fia. Aku mengepalkan tangan, menahan sesak yang mendera dadaku, mereka berdua belum menyadari kehadiranku di bibir pintu. "Edward!" Aku memanggilnya dengan nada tinggi. Aku sangat tidak menyangka akan melihat suamiku malam hari berduaan dengan Fia di kamar Billy. Aku melihat Billy sudah tidur di box bayinya. Edward membalikkan badannya, sementara Fia langsung berdiri dan merapihkan pakaiannya. Aku melihat Edward memegangi kaki putih Fia tadi, Fia masih mengenakan pakaian yang sama, rambutnya kini terurai, sedikit berantakan. Aku berjalan cepat masuk kamar, dadaku sesak sekali mengingat kejadian tadi. Aku teringat kejadian yang ku alami bersama Romi dulu. Apa mungkin Edward setega itu denganku? Apa mungkin, Edward dan Fia akan melakukan hal yang sama seperti yang di lakukan Romi dulu? "Ra," panggil Edward menyusulku. Aku mengibaskan selimut, lalu bersembunyi di baliknya. Aku memiringkan badan, Edward naik ke atas tempat tidur, memegang pundakku yang tertutup selimut lembut. Aku menepis sentuhan Edward. "Ra, kaki Fia terkilir tadi.." Edward berusaha menjelaskan, aku masih diam, lagi-lagi aku menepis sentuhannya, "Fia kan baru di rumah ini, jadi dia tidak tau kalau ada anak tangga antara dapur dan ruang makan. Jadi saat dia ingin mengambil minum, ia jatuh.." Edward memohon, "aku tadi hanya berniat minum dan melihat Billy memastikan apakah dia sudah tidur atau belum, lalu aku melihat Fia jatuh.." Aku masih diam. Tidak menjawab. "Maafkan aku, Ra.." ucap Edward pelan, suaranya bergetar. Aku duduk, membalikkan badan ke arahnya, "Lalu, kenapa kalau Fia jatuh? Apa harus kamu yang memijit kakinya?" Tanyaku nyaris berteriak. Tangisku pecah, air mataku tidak bisa ku tahan. Ada banyak rasa yang ku rasakan sekarang. Apapun alasan Edward itu tidak pantas Edward lakukan sebagai seorang majikan. "Ya, ya, aku minta maaf, Ra.." Edward memelankan suaranya, "Coba kalau aku tidak bangun? Habis pijit, kamu ngapain dengan Fia? Hah?" Tanyaku sambil membulatkan mata ke Edward. "Aku tidak ada niat apapun, Ra. Sungguh!" Tegas Edward, "Aku fikir, kalau kaki Fia masih sakit, besok akan berbahaya kalau ia menggendong Billy.." Edward terus memberikan alasan. "Sudahlah, Ward. Harusnya aku percaya, kalau semua lelaki sama saja! Satu lagi, jangan bawa-bawa Billy dalam hal ini! Memang kamu saja yang gatal!" Aku membentak Edward. Edward menatapku memelas. Aku kembali menyembunyikan wajahku di dalam selimut, enggan menatap Edward yang terus memohon. Edward tidak berbicara lagi. Aku mengusap air mataku. Aku mengerti maksud Edward baik, tapi tetap Edward salah kali ini. Aku tidak ingin pernikahanku kandas untuk kedua kali karena hal yang sama. Aku memejamkan mata, membayangkan fisikku yang mungkin tidak bagus, mungkin itu yang membuat Romi dan saat ini Edward yang berpaling. Aku menangis sesenggukan dari dalam selimut. Wajar saja kalau Edward nantinya juga akan kembali berpaling. "Ra, sayang, sudahlah.. jangan menangis. Kalau mau pukul aku, ayo pukul, asal jangan menangis seperti ini, sayang.." bujuk Edward. Aku masih belum bisa mengendalikan perasaanku. Aku terbayang wajah Fia, aku juga teringat perkataan Romi saat aku mendapatkan nya berhubungan dengan Deffa. Apakah Edward juga menganggapmu sama seperti Romi? Apakah aku terlihat jelek dimatanya? Sampai ia tergoda dengan pesona Fia? Semua pertanyaan itu mendadak muncul, mengendalikan perasaanku yang hancur. Aku duduk, menepiskan selimut, dan memukul dada Edward berulang kali. Tidak puas dengan pukulan biasa, aku menarik bantal dan memukul kepalanya beberapa kali dengan tenaga yang ku punya Eddward pasrah dan diam. Tidak sampai di situ, aku menendang perut Edward beberapa kali. Edward meringis kesakitan. Aku menghentikan seranganku, Edward masih memegangi perutnya. Tidak pernah Edward melenguh seperti ini sebelumnya. "Sudahlah, kamu istirahat sana!" Bentakku, ada perasaan bersalah melihatnya menahan sakit. Beberapa saat, Edward masih memegangi perutnya. Ia terlihat sungguhan, tapi apa mungkin hanya dengan tenagaku Edward sampai merasakan sakit seperti itu? Edward tidur dengan posisi kedua tangan memegangi perutnya. Aku tidak tega melihatnya meringkuk memegangi perutnya. "Apa kamu sudah puas?" Tanya Edward, "aku masih kuat." Ucap Edward membelakanginya. Jawab Edward lirih. Aku menyembunyikan wajahku di balik telapak tangan, aku menangis kuat, menangis karena kesal dengan tingkah Edward dan menangis karena merasa bersalah. Edward bangun mendengar ku menangis. Edward menarikku dalam pelukannya, "Maafkan aku sayang, aku salah. Maaf...." Ucap Edward pelan. Dalam hatiku terdalam, memang aku percaya dengan Edward, tapi ada perasaan takut yang menghantui, aku takut kembali menyaksikan dan merasakan apa yang pernah aku alami sebelumnya dengan Romi. Edward mengusap kepalaku lembut. "Aku tidak mau membuatmu menangis. Aku sudah berjanji kepada diriku sendiri tidak akan membuatmu bersedih sayang.." pinta Edward. "Maafkan aku. Yakin saja, Fia sudah ku anggap adik. Aku tidak ada perasaan apa-apa dengannya.." Edward meyakinkan. "Lalu, bagaimana bila Fia yang menyukaimu?" Tanyaku dari dalam pelukan Edward, "Aku akan memintanya mencintai lelaki lain," jawab Edward enteng, "Tidak semudah itu, Ward." Jawabku saat membayangkan Fia bila menyukai Edward. "Sudahlah sayang, tidak usah mengandai-andai kejadian yang belum tentu akan terjadi. Aku sudah bilang berulang kali, aku hanya mencintaimu. Yakin saja. Aku tidak akan membuatmu kecewa, apalagi mengkhianati mu, itu tidak mungkin." Aku menghapus air mataku, Edward melepaskan pelukannya, aku duduk berhadapan dengan Edward. "Tunggu." Edward turun dari tempat tidur, ia membuka laci yang berada di samping tempat tidur. "Aku punya ini.." Edward mau meletakkan amplop putih dibatas kakiku yang terlipat. "Apa ini?" Tanyaku, aku membuka isi amplop itu. Dua buah tiket pesawat. "Kita akan bulan madu. Aku sudah mempersiapkan bulan madu kita, ke Osaka-Jepang." Jawab Edward, aku mengusap air mataku. Aku tersenyum melihatnya, Edward memang sudah tau, aku memang menyukai Osaka, dari cerita sejarah yang dimiliki dan beberapa keunikan Jepang lainnya. "Kita akan berlibur, agar bisa memberi Billy adik." Edward tersenyum. "Bulan depan?" Tanyaku, Edward mengangguk. Aku memeluk Edward kencang. Aku seakan melupakan kekesalan yang ku rasakan. Aku tidak sabar menunggu bulan depan. Edward ternyata masih ingat dengan keinginanku yang pernah aku ungkapkan saat masih kuliah, Saat itu Edward bertanya, ingin kemana bila nanti berbulan madu, aku menjawab mantap, "Osaka, Jepang." Dan, Edward mengabulkannya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD