Aku sedang membalik telur dadar dengan sepatula saat Ian mendekat dan melingkarkan tangan ke pinggangku. Kepalanya mendekat ke pipiku, mengecup pelan. "Jangan seperti ini, Ian, aku akan segera pergi." Ian menyentak napas. "Apa kamu pikir aku akan melepasmu? Jangan mimpi, Can!" Aku mematikan kompor lalu memukuli tubuhnya sekuat tenaga. "Aku nggak butuh ijinmu! Orang jahat sepertimu ...." Entah mengapa, ada perasaan bersalah telah mengatainya jahat. Walaupun Ian terlibat, tapi Aldriansyah-lah biang keladi dari semua ini. Dan biar bagaimanapun, Ian sekarang suamiku. Haruskah meninggalkan Ian lalu berlari pada Mas Aswin? Menatap wajah sendu Ian, membuat hati ini tak tega, tapi perbuatannya ... aku menggeleng sebal. Sungguh tak bisa dimaafkan. Memisahkan kami, dan ... surat itu .... “Kamu