7. Ada apa dengan Alfath

1026 Words
"Uhukkk uhukkk!" Adiva tersedak karena aku tahan kepalanya untuk terus meminum es ku. Karena kasihan, aku melepaskannya. Tampak Adiva menatapku dengan tatapan sengitnya. "Apa?" tanyaku datar. "Tidak apa-apa, aku permisi!" ucapnya. "Siapa yang membolehkanmu pergi?" "Apa maksud kakak?" "Aku masih ingin bicara!" tandasku. "Ya sudah bicara saja," jawab Adiva sewot. "Kenapa kamu menjauhiku?" tanyaku. Seketika Adiva diam. "Jelaskan, Adiva!" "Maaf." "Kau katakan alasannya, atau aku akan mencekikmu di sini sampai kau mengatakan alasannya?" ancam ku. Dapat aku lihat Adiva langsung membulatkan matanya. Oke, kalau dengan cara lembut Adiva tidak mau bicara. Tidak ada salahnya kan kalau aku pakai cara kasar?. "Cekik saja aku. Biar kalau aku mati, kakak masuk penjara!" ucapnya dengan berani. "Tidak takut." "Yaudah cekik saja sekarang!" Aku menarik tangan Adiva untuk aku seret pergi. Adiva berteriak memanggil-manggil gerobak. Dasar bodoh, mau sampai pita suaranya putus gerobaknya akan diam di tempat. Aku menyetop taxi yang kebetulan lewat. Aku memasukkan paksa Adiva ke sana. Tak lupa aku menghubungi sopirku untuk mengantar Azia pulang, juga anak buah papaku untuk membawa gerobak Adiva. "Kakak mau menculikku?" tanya Adiva dengan takut. "Iya, aku akan menculikmu. Mau aku jual ke luar negeri untuk diambil jantung, ginjal dan hatimu!" tandasku. Adiva diam. Tak kusangka tiba-tiba Adiva menangis terisak. Tangannya yang masih aku pegang, mencoba gadis itu lepaskan. "Hiksss hikss ... aku tidak mau .... " isak Adiva pilu. "Kenapa semua orang ingin membuangku hiksss ... kemarin pacarmu mengancam ku akan membuangku, sekarang kamu, besok siapa lagi?" teriak Adiva menggigit lenganku dengan kencang. "Awwww jangan digigit!" teriakku kesakitan. Sopir taxi langsung menatapku tajam seolah mengatakan jangan berisik. Aku mendengus kesal. "Jangan marah, Pak. Penumpang adalah raja, suka-suka saya dong mau berisik," ucapku. "Eh Mas, kalau Mas ngaku raja ya jangan naik taxi. Raja itu tunggangannya kuda," jawab Pak Sopir itu menyebalkan. Aku melengos. Benar juga apa kata bapak itu. Mana ada raja naik taxi. "Aku mau turun!" ucap Adiva. "Turun ke mana? Ke jalan? Nanti kalau udah sampai juga kita turun." Aku menjawab datar. Sungguh hari ini aku sangat kesal. Pertama Adiva menerima minum dari pria asing, kedua mendengar kenyataannya bahwa Azia mengancam Adiva, dan ketiga pak sopir yang menyebalkan. "Kita mau ke mana? Jangan jual aku, Kak." Adiva menangis terisak-isak. "Kalau kamu diam, aku tidak akan menjualmu." Seketika Adiva menahan tangisannya. Karena aku tidak tega, aku merengkuhnya dalam dekapan ku. Aku mengelus punggung ringkih gadis itu dengan lembut. Dapat aku rasakan kalau Adiva menggigit dadaku. Aku ingin berteriak, tapi aku tahan. Mungkin Adiva tengah menahan tangisannya. Tidak apa sekarang Adiva mengigit dadaku, suatu saat pasti akan dielus-elus, eh. Selang lima belas menit, aku sampai di sebuah villa kecil pinggir kota. Ini Villa hadiah dari papaku saat aku ulang tahun ke lima tahun. Dulu aku tidak tau apa itu villa, tapi saat sudah besar aku pun heran, kenapa waktu kecil papaku menghadiahi aku villa. Kenapa tidak mobil-mobilan saja. "Ayo turun!" ajakku menarik Adiva. Dengan takut-takut, Adiva melihat sekeliling. "Di mana?" "Di villa ku," jawabku memaksa Adiva turun. Aku membayar tarif taksi sekalian membayar ganti rugi karena kuping pak sopir yang merasa panas karena teriakanku. "Kakak!" panggil Adiva meremas baju belakangku. "Aku tidak akan menjualmu. Jangan terus kokak-kakak kokak-kakak!" sentakku kesal. ***** Aku tidak tau ini di mana. Kak Alfath membawaku di tempat sunyi, asri, tapi terpencil. Aku sangat takut tatkala tadi kak Alfath menyeret ku dalam taksi. Untuk kali ini, aku baru melihat sisi kak Alfath saat emosi. Biasanya kak Alfath akan sabar, lemah lembut, dan kalem. Namun untuk kali ini, sudah tak terhitung berapa kali kak Alfath menggunakan nada tinggi dan membentak ku. Kenapa kak Alfath harus peduli padaku yang diberi minum orang asing? Bukankah harusnya senang kalau aku ada yang menolong karena sedang kehausan. Sungguh aku sangat takut pergi berdua seperti ini. Lantaran, aku mengingat nona cantik yang akan membuangku. Apalagi kak Alfath juga sempat mengancamku. "Den, kok ke sini gak bilang-bilang? Maaf belum mbok bersihin Villanya," ucap seorang ibu-ibu berusia senja menghampiri kami. "Gak apa-apa, mbok. Aku cuma nginep sebentar di sini. Oh iya, kenalin ini Adiva," ucap Kak Alfath mengenalkanku. Aku menyalami ibu-ibu yang dipanggil mbok itu dengan kikuk. "Ya sudah masuk sana, Den. Nanti mbok bawain makanan." "Makasih ya, Mbok." Kak Alfath menyeretku lagi untuk masuk ke Villa. Villa ini sangat luas dengan pemandangan yang indah. Apa orang kaya selalu mendapat tempat-tempat seindah ini. "Duduk!" titah Kak Alfath mendudukkan ku dengan paksa di kursi empuk. Aku meringis sebentar karena tekanan tangannya yang kuat di pundakku. "Sekarang kakak mau menanyakan beberapa pertanyaan. Kamu harus jawab sejujur-jujurnya karena kalau kamu gak jujur, resikonya aku jual langsung ke luar negeri." Kak Alfath mengancamku dengan tatapan tajamnya. "Kalau aku jawab jujur. Kak Alfath akan mengembalikanku ke pondok, kan?" "Tergantung." Egois. Sejak kapan kak Alfath seegois ini. Kak Alfath sudah seperti raja tega yang siap mendzolimi ku. "Oke, pertanyaan pertama. Kenapa kamu menerima minuman dari pria asing?" tanya Kak Alfath yang membuatku membeo. Jadi, minuman tadi masih dipermasalahkan?. "Jawab, Adiva!" desis Kak Alfath menendang pot kecil yang ada di bawah ku. Aku meringis ngeri. "Aku haus," jawabku akhirnya. "Kamu suka sama orang itu?" "Hah?" aku balik bertanya. "Jawab! Kamu suka sama cowok tadi apa enggak?" "Ya enggak lah. Kami baru bertemu satu kali," serobotku yang jadi ikut ngegas. "Gak ada niatan suka, kan?" "Kalau sekarang enggak. Entah kalau nanti," jawabku asal. "Tidak boleh!" teriak Kak Alfath yang membuatku langsung tutup kuping. "Ingat, Adiva. Kamu masih kecil, masih piyik, gak usah sok-sokan suka sama cowok. Kalau sakit hati kamu yang rugi. Sayang, masih muda udah sakit hati," omel Kak Alfath berjalan mondar-mandir. "Kalau kamu suka sama cowok tadi, aku gak akan segan-segan membawamu pergi jauh dari kota ini. Aku akan membawamu ke daerah terpencil yang gak akan ketemu orang. Biar kamu gak suka sama orang lain," tandas kak Alfath lagi. Air mataku meremang. Apa artinya kak Alfath akan benar-benar membuangku? Isak tangis tidak bisa aku tahan. Aku menutup wajahku dengan tangan. Menangis kencang karena ketakutan. "Jangan pura-pura nangis, Adiva. Itu akibatnya kalau kamu berani suka sama cowok lain!" "Hiksss ... kak Alfath jahat... hiksss hiksss... " Isakku makin kencang. "Semesta, bila aku harus dibuang, bunuh saja aku sekalian."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD