"Hiksss hiksss...."
Adiva menangis makin kencang. Tangan gadis itu memukul perutku dengan brutal.
"Aku janji akan menuruti perintah kakak, hiksss... jangan buang aku, Kak. Aku takut... hiksss...."
Aku memeluk tubuh Adiva dengan erat. Menelusupkan kepala Adiva di dadaku. Dapat aku rasakan tangan Adiva mencengkram erat punggungku. Badan gadis itu bergetar hebat.
"Kenapa dunia tidak pernah memihakku, hikss hikss... tau begini aku tidak akan mau ikut dengamu."
"Hust, jangan katakan itu!" tandasku tajam.
"Kenapa kalian semua jahat? Salah apa aku sama kalian. Kalau kebaikan kalian hanya palsu, lebih baik aku pergi," ucap Adiva ingin melepas rengkuhanku. Namun, aku menahannya.
"Kamu tidak boleh pergi!"
"Kenapa? Biar kakak bisa membuangku?"
"Aku tidak akan membuangmu atau pun menjualmu, tapi dengan satu syarat," ucapku mencoba memberi penawaran.
"Apa?"
"Hatimu adalah tawananku!" ucapku menangkup wajah Adiva.
Tatapan kami bersitubruk. Aku menyelami lebih dalam mata jernih Adiva. Indah nan mengagumkan.
Brukkk!
Adiva terkulai lemas di pelukanku. Aku kalang kabut. Ada apa dengan Adiva. Dengan cepat aku membopong tubuh Adiva. Membawanya ke salah satu kamar yang tadi sudah dibersihkan Si Mbok.
Wajah Adiva pucat pasi, tangannya terasa sangat dingin. Aku merogoh HP yang aku kantongi. Minta tolong anak buah papaku untuk mendatangkan dokter ke sini. Untuk kesekian kali aku bersyukur, dengan duit papaku, aku bisa memanggil siapa saja tanpa perlu repot.
Aku mengusap-usap telapak tangan Adiva supaya sedikit hangat. Perasaan aku tidak melakukan apa-apa. Lalu kenapa Adiva sampai pingsan seperti ini.
Selang beberapa lama, Dokter Fahri datang. Beliau kaget saat mendapati Adiva yang pucat pasi. Tatapannya menelisik ke arahku, membuatku menatap datar. Pasti Dokter Fahri berpikir macam-macam. Walau aku suka Adiva, otakku tidak secabul papaku.
"Sudahlah, Dokter periksa saja dia!" ucapku.
Dokter Fahri diam tanpa suara, tapi beliau tetap memeriksa Adiva. Tanganku menepis kasar tangan Dokter Fahri saat dokter itu mau menurunkan kaos atas Adiva.
"Jangan dibuka!" ucapku geram.
"Kenapa? Kan saya cuma periksa," ucap Dokter Fahri.
"Biasanya kalau periksa orang juga gak dibuka. Stetoskop kalau ditempelin di baju juga nembus organ," omelku.
Dokter Fahri terkekeh kecil sebelum memeriksa Adiva. Enak aja mau buka-buka baju Adiva.
"Gadis ini belum makan sejak pagi, sekalian mengalami shock berat. Memang kamu apakan dia?" jelas Dokter Fahri sekaligus menyelidikku.
"Shock berat?"
"Iya. Dia shock berat. Saya yakin kamu menekan atau mengancamnya."
"Tidak!" protes ku cepat.
"Ya sudah tungguin saja dia bangun. Ini saya resepkan vitamin, kamu bisa menebusnya di apotik," ucap Dokter Fahri.
Aku menerima resep yang diberikan Dokter Fahri. Setelahnya, Dokter itu melenggang pergi tanpa pamit. Ah sial, aku yakin Adiva begini juga gara-gara aku. Aku menekan dan mengancam Adiva, padahal aku tidak benar-benar membuang atau menjual nya.
Aku menyayangi Adiva, mana mungkin aku menjualnya. Juga, soal aku menawan hatinya, bukan hati dengan artian sesungguhnya. Pasti Adiva mengira organ hatinya yang akan aku ambil dan aku jual. Namun, bukan itu maksudku. Hati yang kumaksud adalah perasaan dia.
Aku mengelus lembut wajah Adiva. Sedikit demi sedikit, aku mendekatkan wajahku. Bibirku juga maju beberapa centi untuk mencium keningnya. Sial, belum sempat menempel, mata Adiva sudah terbuka.
"Kaka ngapain?" tanya Adiva takut.
"Aku sedang mencium bau busuk, saat aku cari, ternyata bau rambutmu," ucapku pura-pura mengendus rambut Adiva. Ah aku salah tingkah dengan gadis ingusan di depanku.
"Aku mau balik ke pondok, Kak. Aku janji gak akan buat salah lagi. Kalau aku salah, ambil saja hatiku."
"Tentu aku akan mengambil hatimu. Tapi nanti, saat waktunya telah tiba. Untuk sekarang, jangan pikirkan hati, ayo makan dulu!" ucapku. Adiva memalingkan wajahnya. Kan, tebakan ku benar. Hati yang dimaksud Adiva adalah organ dalam.
Aku menarik Adiva untuk duduk. Seseorang mengetuk pintu kamar yang langsung aku persilahkan masuk. Si Mbok datang dengan membawa makanan serta minuman.
"Ini, Den. Makanan kesukaan Aden. Silahkan dimakan!" ucap Si Mbok. Aku menerima nampan itu.
"Makasih ya, Mbok. Oh iya, malam ini aku dan Adiva menginap di sini," ucapku. Si Mbok seperti tersentak kaget.
"Nanti sama Pak Kris dimarahin loh, Den. Adeh tidur bareng sama perempuan, apalagi perempuannya masih kecil," ucap Si Mbok.
"Tenang, Mbok. Aku gak ngapa-ngapain. Aku juga akan ijin sama papa," jawabku. Si Mbok mengangguk meski ada raut kekhawatiran. Mbok pamit undur diri dan menutup pintu dengan pelan.
"Aku gak mau nginep di sini, Kak," ujar Adiva.
"Katanya kamu akan nurut sama semua omongan Kakak?" tanyaku menaikkan sebelah alisku.
"Eh, iya."
"Ayo makan. Biar hatimu sehat dan gak ada cacing-cacingnya. Jadi saat aku mengambilnya, keadaan hatimu baik," ujarku. Adiva menundukkan kepalanya. Tangan gadis itu mengusap matanya yang aku tau sedang menetes air mata.
Aku meraih piring berisi nasi, capcay, dan telur ceplok, aku satukan dengan piring satunya. Sepertinya makan berdua memang asik.
"Buka mulutnya, Kakak suapin!" ucapku. Adiva menurut.
Aku menyuapi Adiva yang lahap makan. Sepertinya benar kalau Adiva belum makan sejak tadi pagi.
"Apa stok beras di pondok habis?" tanyaku.
"Masih banyak."
"Kenapa gak makan?"
"Gak napsu."
"Aku gak mau tau. Mulai saat ini kamu harus makan teratur. Kalau sampai enggak, awas aja."
"Iya iya aku tau. Kakak akan mengambil hatiku suatu saat nanti agar hatiku sehat, kan? Gak usah diperjelas," jawab Adiva. Dari nada suaranya terdengar jelas sangat sewot.
Setelah makan, aku menyuruh Adiva mandi. Saat aku akan mencarikan baju ganti milik Azia yang beberapa ada di sini, Si Mbok menghampiriku dan memberikan papper bag yang katanya dari papaku. Ternyata papaku memang pengertian, papa membawakan baju ku serta baju Adiva. Pasti Dokter Fahri yang mengatakan kalau aku bersama perempuan kecil yang sudah bisa ditebak papaku kalau itu Adiva..
"Adiva, buka pintunya. Ini kakak bawakan baju," ucapku. Adiva membuka sebagian pintu dan menyembulkan kepalanya.
"Jangan ngintip!" ucap Adiva.
"Jangan terlalu percaya diri, nona!" jawabku memberikan papper bag. Aku segera mandi di kamar mandi lain juga.
Ah rasanya sangat menyenangkan sekaligus menegangkan bisa mengancam Adiva sampai dia pingsan. Sebenarnya aku kasihan dengan dirinya, tapi apalah daya dia yang sama sekali tidak peka. Maklum, dia tidak mengenal cinta dan pria selain aku.
Setelah mandi, aku kembali ke kamar. Di sana Adiva sudah rapi dengan baju bagus yang tadi dikirim papa. Adiva sangat cantik menggunakan baju itu. Tampak Adiva berdiri di depan meja rias sedang kesusahan menyisir rambutnya.
Langkahku mendekat ke arahnya. Tanganku menahan tangannya yang akan kembali menyisir. Kulihat rambutnya yang sedikit kusut.
"Biar aku sisirin!" ucapku merebut sisir. Adiva diam, ku artikan itu persetujuan.
Kusisir rambutnya dengan lembut nan pelan. Andai Adiva tidak setiap hari terjun ke panasnya terik matahari, aku yakin rambutnya akan sehalus rambut Azia.
Tanganku dengan lancang bukannya menyisir malah mengelus-elus. Sedikit modus kurasa tidak apa-apa. Tanganku menjalar ke tengkuknya. Membuat Adiva menggeliat geli.
Aku terkekeh pelan, biasanya aku akan mengatai papaku buaya bucin, lalu sekarang sebutan apa yang cocok untukku karena sudah bucin pada Adiva?.