Chapter 2 - Eros dan Lili

1595 Words
Aeros Swinton, remaja laki-laki yang berusia 17 tahun itu memang memiliki sifat pendiam. Orang-orang di sekitarnya sering memanggilnya Eros. Sebagai murid baru, Eros cenderung tak banyak bersosialisasi. Ia hanya akan menerima teman yang mau mendekatinya lebih dulu. Ia tak pilih-pilih teman, sama sekali tidak, hanya saja ia seolah memiliki insting tentang bagaimana sifat dan sikap orang-orang di sekitarnya. Dan ia akan langsung menghindar jika first impression terhadap orang itu sudah buruk. Sifat pendiam-nya justru sering di salah pahami orang-orang dan berfikir kalau Eros adalah anak sombong dan dingin, apalagi Eros adalah siswa pintar dan tampan. Maka dari itu di kelas, Eros hanya berteman dengan Beni si partner sebangkunya. Eros mendudukkan bok*ngnya di bangku nomor 2 dari belakang. Lebih tepatnya di kursi yang berada di bagian samping dinding. Meski Eros adalah salah satu anak pintar, nyatanya dia sangat tak suka jika di suruh duduk di bagian paling depan, di depan menurutnya sangat mengganggu akan sering di pandangi dan di perhatian, ia tak suka. Maka dari itu ia lebih prefer untuk berada di kursi belakang saja. Eros mengeluarkan sebuah buku bersampul merah dari dalam tas, itu sebuah buku terjemahan yang sudah ia baca hampir setengahnya. Jadi ia berniat melanjutkan. Ia memposisikan diri senyaman mungkin, dan kembali memasang satu earbuds yang tadi sempat ia lepas. Lalu ia mulai membaca buku, hingga ia larut ke dalam bacaan. Dan tanpa sadar teman-teman sekelasnya sudah mulai berdatangan. Begitupun Beni yang baru saja tiba. "Ros, PR matematik udah?" Tanya Beni to the point, tepat setelah ia duduk di kursi samping Eros. Bahkan tanpa lebih dulu menurunkan tas punggungnya. Eros menutup bukunya, ia belum selesai membaca tapi ia sudah tak ingin membaca lagi sekarang, karena suasana pun sudah mulai tak kondusif. "Ros." Beni kembali mengulang memanggil teman sebangkunya itu, karena si pendiam sama sekali tak mengeluarkan sepatah kata pun. Eros pun mengangguk menjawab pertanyaan Beni yang sebelumnya sempat ia jawab di dalam hati. "Pinjem Ros." Beni pria berambut sedikit keriting itu menyatukan kedua tangannya seraya memasang wajah semelas mungkin agar Eros mau mengasihani nya. Eros lagi-lagi mengabaikan Beni, dan malah asyik dengan kegiatannya sendiri yakni menyimpan earbuds ke dalam kotaknya kembali. Eros sudah hafal dengan perangai temannya ini, setiap pagi pasti akan berkata meminjam buku. "Ros tau kan Bu nana galak banget pas hamil gini. Gue nggak mau kena amuk singmil." Beni terus berusaha keras agar mendapat belas kasihan Eros. Mengingat kalau ia tak mengerjakan tugas, pasti singmil 'singa hamil' itu akan memberinya hukuman maut serta ceramah se-panjang jalan tol terhadapnya. Eros tau apa yang Beni lakukan adalah kebiasaan buruk yang seharusnya di ubah. Tapi Eros sendiri tak pernah bisa menolak, bukan karena ia takut nanti tak punya teman atau apa. Ia hanya kasian terhadap Beni, padahal bisa saja ia menolak mentah-mentah. Dan kali ini juga tak berubah. Eros masih melakukan kebiasaannya meminjamkan bukunya untuk di salin PR-nya oleh Beni. Eros mengeluarkan buku matematika dari dalam tas dan langsung memberikannya kepada Beni tanpa mengucap sepatah katapun. Beni sendiri sudah cengar-cengir di tempatnya karena kesenangan. "Makasih banget-banget Eros. Nanti siang gue bawain roti sama teh pucuk dari kantin. Okay." Ucap Beni sambil menunjukan deretan giginya kepada Eros. Eros sendiri hanya bisa menggelengkan kepalanya sambil tersenyum tipis terhadap Beni yang sudah nampak tergesa-gesa menyalin tugas. "Gilak sih, denger-denger si Lili berulah lagi tadi pagi." Percakapan dua teman lelaki yang duduk di bangku belakangnya, tanpa sadar mencuri perhatian Eros. Dua laki-laki itu Rio dan Aden, salah satu dari cowok-cowok blangsatan yang ada di sekolah. Eros hanya sebatas mengenal mereka, tidak akrab atau apapun mungkin bisa di bilang sekedar teman sekelas dan orang yang memanfaatkan kepintarannya. Karena setelah Beni menyalin tugasnya, Rio dan Aden akan mengantri menyalin jawaban yang Beni tulis. "Eh serius? Wah Lili bener-bener joss." Sahut Aden penuh semangat. Eros mulai menajamkan pendengarannya karena penasaran. Eits, bukannya ia betul-betul berniat menguping, hanya saja suara Rio dan Aden memang bisa dibilang cukup keras. Jadi ya mau bagaimana lagi, Eros hanya memanfaatkan kesempatan. "Kapan ya gue di jadiin pacar sama Lili." Ucap Rio seraya menatap ke atas, seoalah melihat bayangan dirinya seumpama bisa berpacaran dengan Lili. Plakk.. Pukulan pelan Aden pada bahu Rio membuat bayangan perhaluan Rio buyar seketika. "Heleh, nanti di tinggalin nanges." Cibir Aden sarkas. "Ya gimana ya, Den. Pengen juga gue tuh liat cowok-cowok lain pada di pacarin." Rio bersungguh-sungguh mengatakannya, ia ingin bisa berpacaran dengan Lili. Tapi ... "Makanya jadi cowok yang kalem boss. Lili aja ogah jadiin buaya kayak elo gini pacar." Pedas sekali ucapan Aden ini, sampai membuat Rio memberenggut kesal. "Mana ada, pacaran aja baru dua puluh kali doang." Rio jelas tak terima dikatai seperti itu oleh temannya itu. "Doang, mata lo. Banyak itu gobs." Aden sendiri sudah lumayan menahan kesal loh mendengar tipuan zonk Rio. Tapi mau bagaimana lagi, Rio memang tak pernah sadar jika sudah menjadi Playboy kelas teri. "Iya-iya banyak, makanya gue penasaran gaya pacaran buaya betina bening semriwing dan semlohai kayak Lili." Aden hanya bisa berdecak dan menatap Rio tak mengerti. "Hilih." "Tapi Den__" Belum sempat Rio melanjutkan ucapannya, Aden sudah lebih dulu membungkam bibir Rio dengan satu tangannya, tepat ketika Aden melihat mahkluk yang duduk di depannya sepertinya tengah menguping pembicaraan mereka berdua. Terlihat dari kepalanya yang makin lama makin mundur sampai melewati batas mejanya. Dan orang yang Aden maksud adalah Eros, murid baru yang sangat pendiam. "Ros." Panggil Aden membuat orang yang merasa terpanggil menolehkan kepalanya pelan. "Iya," “Lo__” "Kampret tangan lo bau tai. Habis cebok kan lo ngaku. Arhh gilak, kebiasaan lo tuh nggak pernah berubah, masih nggak mau cuci tangan habis cebok." Pekik Rio keras-keras karena tak terima mulut sexy-nya di bekap tangan kotor Aden. Ia bahkan tak perduli sebagian penghuni kelas mulai menatapi mereka. "Hust, bisa diem nggak lo anjink. Gitu aja heboh." Ucap Aden tanpa melihat ke arah Rio yang mencak-mencak di tempatnya. "Mata lo __" Lagi-lagi Aden memutus ucapan Rio sepihak, sambil menyodorkan tangan kirinya yang tadi sempat di buat untuk membekap mulut Rio. "Diem, gue bekep lagi lo nanti." "Sialan! Argh." Mau tak mau Rio pun berhenti mengoceh karena tak ingin mendapat tempelan tangan bau tai Aden. Aden tak perduli dengan wajah kesal Rio, dia malah lebih memfokuskan pandangannya pada Eros yang sedari tadi hanya diam melihat pertengkaran menggemaskan antara Aden dan Rio. "Ehm, jadi lupa kan gue mau ngomong apa sama lo Ros ..." Eros sendiri tak acuh pada Aden, dan lagi-lagi hanya diam saja. Aden menggebrak meja pelan dengan wajah binar, sepertinya dia sudah mengingat apa yang akan dia katakan pada Eros. "Ah iya, gue liat-liat kayaknya lo mau ikut ngerumpi bareng kita nih? lo penasaran kan sama Lili." Dua alis Aden naik turun menjelaskan kalau dia tengah menggoda Eros. "Enggak." Eros hanya menjawab sekilas, ia hampir memutar kepalanya lagi ke depan, hendak mengabaikan Aden, tapi tidak jadi setelah Aden lagi-lagi menggodanya. "Oh kirain lo kepincut sama pesona buaya betina Lili. Haha." Aden tertawa keras, merasa hebat bisa menggoda anak pendiam macan Eros. Rio yang awalnya diam saja karena masih kesal pada Aden pun ikut terbawa suasana melihat ekspresi Eros si anak pendiam yang berubah risih. "Eh beneran Ros? Haha, nggak papa kali Ros suka sama Lili, asal siapin mental aja saat di putusin." Eros tak suka dengan pembahasan ini, tapi ia tak berkata apa-apa membalas ucapan dua kunyuk di belakangnya. "Kalo gue liat-liat, lo masuk nih Ros jadi korban selanjutnya si Lili. Ganteng, kalem, good boy abies." Timpal Aden yang berubah sedikit serius, telunjuk dan ibu jarinya saja sampai di tempelkan di dagu saking seringnya. "Lo serius nggak tertarik sama Lili?" Aden memajukan badannya menunggu jawab Eros dengan rasa penasaran yang menggebu. Tapi ternyata tebakan Aden salah kaprah saat Eros memilih menggelengkan kepala. "Enggak." Lagi-lagi jawaban Eros benar-benar singkat padat dan jelas. "Gimana mau tertarik, pernah liat aja dia belom Den." Celutuk Beni tiba-tiba, yang sepertinya sudah selesai menyalin tugas Eros. Beni memutar tubuhnya ke samping dengan kepala menghadap belakang. "Lah iya juga ya. Makanya sekali-kali keluar kelas kek Ron, jan bertelor mulu di sini." Rio membenarkan ucapan Beni, karena selama hampir dua bulan ini ia belum pernah sekalipun melihat Eros keluar kelas saat jam-jam sekolah, ke kamar mandi saja tidak pernah, Rio sampai ngeri kalau Eros terkena kencing batu karena saking seringnya menahan kencing. "Mana mau dia mah, mungkin gue udah selametan tujuh hari tujuh malem, kalau bocah ini mau di ajak sekedar ke kantin." Benar, Beni bahkan sudah jengah mengajak Eros keluar kelas atau jalan-jalan di sekitar kelas. Eros hanya akan keluar di waktu jam olah raga, selebihnya keputusan Eros tidak akan bisa di ganggu gugat. "Mubazir banger wajah elo tuh Ros, ganteng-ganteng di umpetin, kalo jadi gue mah udah tebar pesona kemana-mana." Sahut Rio jujur dari dalam hati. Wajah pas-pasan seperti ini saja Rio sudah sering tepe-tepe apalagi kalau good looking, makin menjadi udah. Tuhan emang adil bukan. "Tapi ada baiknya deng lo kayak gitu. Jadi saingan cari cewek nggak berat-berat amat haha." Aden tertawa renyah bersamaan dengan Rio di sampingnya. "Gimana Ros, lo nggak tersinggung? Tersinggung dikit kek, terus buktiin sama dua kunyuk ini kalo lo bisa keluar kelas." Beni mencoba mengompori meski hasilnya nihil, Eros lagi-lagi tak goyah. "Enggak, Ben." Se-kalem itu Eros bersuara. "Udah jangan di paksa, nanti beneran keluar kandang di terkam cewek-cewek nanti." Aden ngeri sendiri membayangkan cowok pendiam nan kalem macam Eros menjadi rebutan cewek bar-bar di luar sana. "Lili lewat, Lili lewat." Teriakan salah satu teman sekelas mereka yang tadi duduk-duduk di depan pintu pun langsung menghebohkan se-isi kelas, terutama pada pejantan yang sekarang langsung berdiri dari tempatnya dan berbondong-bondong mengintip dari jendela. Tapi tidak untuk Eros. Pria itu malah duduk diam tak bergerak, padahal tempatnya sendiri berada tepat di samping jendela. 'Lili?'
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD